Senin, 21 November 2011

Dakwah BIL QOLAM

MENUMBUHKAN SEMANGAT DAKWAH BIL-QOLAM
DI KALANGAN UMAT ISLAM

Istilah dakwah bil qolam mungkin tidak sepopuler dengan istilah dakwah bi lisan. Padahal keduanya mempunyai esensi yang sama, yaitu menyeru (berdakwah) umat manusia menuju kebaikan.
Secara istilah, dakwah bil qolam berasal dari dua suku kata, dakwah, artinya ajakan dan qolam, artinya pena atau tulisan. Kata dakwah itu sendiri berasal dari da’a - yad’u - da’watan, artinya seruan, ajakan atau panggilan.  Secara terminoligis dakwah adalah menyampaikan seruan Islam, mengajak dan memanggil umat manusia agar menerima dan mempercayai keyakinan dan pandangan hidup Islam. Sebagaimana firman Allah swt :
“serulah (manusia) kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (qs. An-nahl : 125).
Adapun kata qolam merujuk kepada firman Allah swt surat al-qolam ayat 1 : “nun, perhatikanlah al-qolam dan apa yang dituliskanny.”. Qolam dalam ayat tersebut diterjemahkan sebagai pena (sebuah alat untuk menulis). Jadi, dakwah bil qolam maksudnya dakwah dengan menggunakan pena, atau tulisan melalui buku, artikel, buletin dan sebagainya. Karena melalui tulisan, dakwah bil qolam ini sering diidentikan dengan dakwah bil kitabah (dakwah melalui tulisan). Perbedaannya untuk yang pertama menunjukan subjek, senjata, atau alat. Adapun yang kedua menunjukan kepada objek, hasil atau produk gagasan.

Peran Strategis Media Informasi
Di era informasi seperti sekarang ini, media massa baik cetak maupun elektronik (internet) mempunyai kedudukan yang sangat penting. Selain sebagai media informasi yang menyuguhkan berbagai informasi dan berita-berita aktual, kehadirannya juga merupakan alat yang strategis untuk membentuk opini publik (public opinion) yang mempengaruhi dan mengendalikan pikiran, sikap dan perilaku manusia. Karena hampir ratusan atau bahkan ribuan orang setiap harinya berinteraksi dengan media massa.
Karena begitu strategisnya, media massa dijadikan sebagai sumber baru kekuasaan karena informasi di tangan banyak orang (the new source of power is information in the hand of many), dan siapa yang menguasai media massa, dialah pengendali dan penguasa dunia. Jalan pikiran dan sikap warga dunia bisa dikendalikannya melalui pembentukan opini publik.
Dalam kenyataan sekarang, arus informasi dunia dikuasai dan dikendalikan oleh the order (orang di luar Islam) yang memandang Islam sebagai musuh besar yang harus dilawan dan dihancurkan. Mereka melakukan “penjajahan” informasi melalui perang pemikiran dan budaya (ghazwul fikri dan tsaqofi), yakni mensosialisasikan nilai-nilai, pemikiran, dan budaya mereka ke dunia Islam, agar pola pikir dan gaya hidup umat Islam cenderung lebih berkiblat ke barat daripada taat pada aturan Islam. Hasilnya, paham-paham seperti materialisme, sekularisme, dan hedonisme telah banyak merasuki pola pikir dan tatanan kehidupan umat Islam saat ini.
Di satu pihak, umat Islam tidak memiliki ghiroh (semangat) untuk menjadikan media massa sebagai sarana strategis dalam memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai Islam. Akibatnya, umat Islam hanya menjadi konsumen dan rebutan media massa lain yang tak jarang membawa informasi yang menyesatkan.
Realitas mengatakan, dari sekian banyak ulama Islam, sedikit sekali yang bergelut dalam dunia dakwah bil qolam. Kebanyakan dari mereka piawai melakukan dakwah dengan cara yang bilisan seperti, ceramah, tabligh, dan khutbah. Namun, tidak piawai menuangkannya dalam sebuah bentuk tulisan  terlebih lagi berusaha untuk mempublikasikannya dalam media massa.
Padahal, kalau melihat sejarah peradaban Islam, banyak ulama salaf yang mengabadikan dan menyebarluaskan pandangan-pandangan keIslamannya melalui tulisan (dakwah bil qolam). Mereka telah melahirkan sejumlah “kitab kuning” yang sampai saat ini masih digunakan sebagai buku teks kaum santri di pondok pesantren.
Sebagaimana kita ketahui, kemampuan menulis menjadikan seorang imam as-syafi’i bisa mewariskan ilmunya melalui kitab al-um, imam al-asqolani dengan kitabnya al-itqon, imam al-zamakhsary dengan kitab tafsir al-kasysyafnya, begitu juga dengan imam al-ghazali dengan kitabnya ihya ulumuddin, dan masih banyak lagi.
Dari kalangan ulama kontemporer, sebut saja misalnya yusuf qardhawi, muhammad abduh, jamaludin al-afgani. Mereka telah menggelorakan semangat pembaharuan dan kebangkitan Islam melalui dakwah bil qolam. Mereka mengetahui dan menyadari bahwa dakwah bil qolam merupakan sunnah yang harus diikuti dan dilestarikan.  Sebagaimana dicontohkan oleh nabi muhammad saw ketika beliau menulis surat yang berisi ajakan masuk Islam kepada kaisar persia.
Karena perannya sangat penting dan strategis, dakwah bil qolam semestinya menjadi perhatian serius umat Islam saat ini. Para ulama, muballig, ustad harus mampu menuangkan pandangan-pandangan keIslamannya dalam bentuk tulisan, baik dalam buku, koran atau media internet. Hal ini bisa dilakukan tanpa meninggalkan dakwah melalui format lama seperti khutbah, tabligh, ceramah dan dakwah bil hal.
Dakwah melalui tulisan mempunyai keunggulan dibandingkan dakwah dengan bentuk lain. Sebagai ilustrasi, ketika seorang muballig mengadakan pengajian di lapangan terbuka, maka yang dapat mendengarkan “hanya” sekitar 10 ribu orang. Tetapi, jika materi ceramahnya itu ditungankan dalam bentuk tulisan yang dipublikasin dalam media massa, maka materi tersebut dapat dibaca oleh seluruh umat yang ada di pelosok negeri ini, yang jumlahnya berlipat-lipat dari yang hadir di lapangan tadi.
Keunggulan lainnya, sebuah tulisan tidak akan punah dan lekang dari laju zaman dan waktu. Bahkan dengan tulisan, seseorang akan dikenang jasanya, diamalkan filsafahnya, yang semua itu akan menjadi amal jariah yang tidak pahalanya akan terus mengalir meskipun penulisnya sudah meninggal dunia.

Bagaimana memulai dakwah dengan cara tulisan?
Memulai kegiatan dakwah dengan tulisan, adalah dengan cara memulai menulis materi dakwah dalam bentuk naskah. Naskah adalah produk dari kegiatan menulis. Kegiatan menulis itu sendiri, biasanya diawali karena adanya ide atau pikiran. Suatu ide atau pikiran akan muncul karena adanya kegiatan membaca. ”Membaca” dalam arti luas tentunya, bukan ”membaca” teks saja, tetapi ”membaca” (mengamati) lingkungan sekitar.
Membaca dan menulis adalah kegiatan yang saling mendukung satu sama lainnya, ibarat dua sisi keping mata uang logam. Sehingga, untuk dapat menumbuhkan hasrat untuk menulis, harus diawali dengan menumbuhkan semangat membaca. Karena, tanpa adanya kegiatan membaca, ide atau pikiran yang akan dituangkan dalam tulisan pun tidak akan muncul.
Berikut ini adalah tips menumbuhkan semangat menulis materi dakwah yang bersumber dari berbagai tulisan.
Pertama, tulis apa yang kita ingat, baik yang pernah kita sampaikan dalam ceramah, ataupun yang kita ingat dari apa yang pernah kita baca. Jangan takut salah menulis. Bermutu ataupun tidak hasil tulisan tersebut, yang penting ”menulis” dulu, makin sering menulis, Insya Allah, tulisan kita akan berkembang menuju perubahan yang lebih baik. Karena,  banyak para penulis besar yang lahir dari pengalaman menulis secara otodidak bukan dari belajar ”ilmu menulis”.
Kedua, tulislah materi dakwah dengan gaya bahasa yang kita miliki. Kalau kebetulan kita seorang penyuluh agama atau muballigh yang sering berceramah dengan sedikit humor, maka tulislah materi ceramah tersebut sesuai gaya ceramah kita. Inilah yang dalam bahasa penulisan, diistilahkan dengan gaya penyampaian. Gaya penyampaian ini, antara penulis yang satu dengan yang lainnya tidak sama, karena tidak ada satu pun gaya penyampaian yang baku.
Ketiga, sebarkan  tulisan kita kepada orang-orang dekat dan dalam bentuk naskah yang paling sederhana terlebih dahulu. Seperti, naskah teks khutbah atau buletin dakwah sederhana yang di fotocopy dan disebarkan secara terbatas. Insya Allah, dibaca atau tidak naskah tersebut oleh orang yang kita beri, kita telah mendapat poin lebih (pahala) atas usaha dakwah yang kita lakukan. Lambat laun, usaha kita tentu saja akan berhasil, dengan syarat tetap istiqomah.
Sebagai penutup dari tulisan ini, marilah kita memulai menumbuhkan semangat dakwah bil qolam dalam diri kita masing-masing, terlebih lagi bagi seorang Penyuluh Agama Islam. Begitu strategisnya peran media massa, harus kita jadikan motivasi untuk siap menuangkan materi dakwah kita dalam bentuk tulisan, agar umat Islam, tidak selamanya menjadi konsumen, tetapi harus menjadi produsen media informasi. Wallahu a’lam. http://asepnurdin-bahagia.blogspot.com/2009/12/artikel-menumbuhkan-semangat-dakwah-bil.html

Minggu, 20 November 2011

Dakwah Bil Hikmah

PENDAHULUAN



            Islam sebagai al-Din Allah merupakan Manhaj al-Bayan atau Way of Life, acuan dan kerangka tata nilai kehidupan. Oleh karena itu ketika komunitas muslim berfungsi sebagai sebuah komunitas yang ditegakkan di atas sendi-sendi ,moral Iman, Islam dan Taqawa dapat direalisasikan secara utuh dan padu karena dia merupakan suatu komunitas yang tidak esklusif karena bertindak sebagai” al-Umma al-Wasalam”, yaitu sebagai teladan ti tengah arus kehidupan yang serba kompleks, penuh dengan dinamika perubahan, tantangan dan pilihan-pilihan yang terkadang sangat dilematis.

            Masuknya berbagai ajaran atau pemahaman yang tidak relevan dengan nilai-nilai agama, yang cenderung membuat agama menjadi tidak berdaya dan yang lebih lagi ketika agama tidak lagi dijadikan sebagai pedoman hidup dalam berbagai bidang. Tentu saja keadaan seperti ini dapat berpengaruh apabila pemeluk agama gagal untuk memberikan suatu peradaban alternatif yang benar dan dituntut oleh setiap perubahan sosial yang terjadi.

            Melihat penomena di atas sudah barang tentu kita khususnya umat Islam dilanda keperhatian yang dapat merusak moral keimanan sehingga mau tidak mau harus dicari solusi yang terbaik yang dikehendaki oleh Islam yaitu melaksanakan dakwah secara efektif dan efisien serta berkesinambungan. Karena Islam adalah agama dakwah yang selalu mendorong umatnya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah. Maka maju mundurnya umat Islam sangat tergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukannya. Dakwah Islam adalah tugas yang suci yang dibebankan kepada setiap Muslim dimana saja ia berada, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunah.

Oleh karena itu agar dakwah dapat mencapai sasaran strategi jangka panjang, tentunya diperlukan suatu sistem manajerial komunikasi baik dalam penataan perkataan maupun perbuatan yang dalam banyak hal sangat relevan dengan nilai-nilai keislaman, dengan kondisi yang seperti itu maka para Da’i harus mempunyai pemahaman yang mendalam bukan hanya menganggap bahwa dakwah dalam frame “ Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, yakni hanya sekedar menyampaikan saja melainkan harus memenuhi beberapa persyaratan.









PEMBAHASAN



A. Pengertian Metode

            Kata metode berasal dari bahasa Yunani” Methodos” yang berarti cara atau jalan. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia kata metode mengandung arti” Cara yang teratur dan berpikir secara baik-baik untuk  mencapai maksud dalam ilmu pengetahuan”. Dalam hal ini Hendry Van Lear menjelaskan bahawa metode secara etimologi adalah jalan atau cara untuk melakukan atau membuat sesuatu dengan  sistem dan melalui prosedur untuk memperoleh atau mencapai tujuan yang dimaksud. Jadi metode adalah salah satu sarana atau media yang sangat penting untuk menyembatani antara pemikiran yang dimiliki oleh subjek untuk diberikan kepada objek dalam upaya mencapai tujuan yang telah dtetapkan. Dalam ilmu komunikasi metode dakwah disebut dengan “ The Methode in Message”. Sehingga kejelian dan kebijaksanaan juru dakwah dalam memilih dan memakai metode dakwah sangat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan dalam menerapkan ajaran Islam dalam masyarakat. Dalam menyampaikan pesan dakwah, metode sangatlah penting peranannnya. Fikhr al-Din al-Razi (544-606) dalam tafsirannya menyebutkan bahwa QS. An-Nahl 125 menjelaskan perintah Allah SWT kepada Nabi  Muhamad SAW untuk menyeruh manusia kepada Islam dengan salah satu dari tiga cara yakni dengan Hikmah, Mauu’ Izhah al-Hasanah, dan Mujaddalah bil al-Thariq al-Hasan. Ketiga metode itu disesuaikan dengan kemampuan intelektual masyarakat yang dihadapi, akan tetapi secara prinsip semua metode dapat digunakan kepada semua masyarakat. Berikut ini pembahasan tentang metode dakwah bil Hikmah dan bil Hall:



Metode Dakwah Bil Hikmah

A. Pengertian Metode Dakwah Bil Hikmah

            Hikmah secara Bahasa berasal dari dari Bahasa Arab yakni     ,             ,      ,



( H, K, M) jama’nya yakni Hikmah yakni ungkapan yang mengandung kebenaran dan mendalam. Mana dalam bahasa Indonesia diartikan dengan kata bijaksana, sedangkan kata bijaksana dalam bahasa Indonesia mengandung arti:

-         Memperbaiki (membuat lebih baik) dan terhindar dari kerusakan

-         Pandai dan kuat ingatannya

-         Selalu mempuanyai akal budi (pengalaman dan pengetahuan) arif dan tajam pikirannya.

Muhamad Abduh berpendapat bahwa hikmah adalah pengetahuan rahasia dan faedah dalam tiap-tiap hal. Orang yang memiliki hikmah disebut al-Hakim.

Hikmah menurut Prof. DR. Toha Yahya Umar, MA adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan berpikir, berusaha, menyusun, dan mengatur dengan cara yang sesuai dengan keadaan zaman dengan tidak bertentangan dengan larangan agama.

Sedangkan menurut Imam Abdullah bin Ahmad Mahmud an-Nasafi, hikmah adalah:





Artinya: Dakwah bil Hikmah adalah dakwah yang menggunakan perkataan yang benar, dan pasti yaitu dall yang menjelaska kebenaran dan menghilangkan keraguan.

Menurut Syekh Zamakhsyari dalam kitabnya” al-Kasyaf” al-Hikmah adalah perkataan yang pasti dan benar. Hikmah adalah dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan atau kesamaran. Selanjutnya Zamarksyari mengatakan hikmah juga diartikan sebagai al-Qur’an  yakni ajaklah mereka (manusia)  mengikuti kitab yang memuat hikmah.

Dari beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa al-Hikmah adalah merupakan kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengna kondisi objektif mad’u. Oleh karena itu, al-Hikmah sebagai sebuah sistem yang menyatukan antara kemampuan teiritis dan praktis dalam berdakwah.

Kata hikmah dengan segala bentuknya dalam al-Qur’an berjumlah 208 kali tersebar dalam beberapa surat. Kata hikmah dalam bentuk Shighat Masdar dijumpai sebanyak 20 kali dan tersebar dalam beberapa ayat dan surat. Kata hikmah ini dalam pemakaiannya sering digandengkan dengan kata kitab Injil, Taurat, sehingga dapat dipahami bahwa kata hikmah itu sebanding dengan Kitab Injil, Taurat atau suatu pelajaran yang datang dari Allah SWT. Sebagaiman firman Allah SWT dalam SQ al-Nahl ayat 125:                                                                                                                                                                                                                       

                 

Artinya:. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.



Beberapa Ulama berbeda penafsiran mengenai kata hikmah yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Diantara mereka ada yang menafsirkan hikmah sebagai kenabian dan ada pula al-Qur’an serta adanya pemahaman terhadapnya.

 Macam-macam Hikmah

            Hikmah terbagi kepada dua macam yakni:

a.       Hikmah Teoritis

Yakni mengamati ini suatu perkara dan mengetahui adanya hubungan

sebab akibatnya secara moral, perintah, takdir dan syara’. Hikmah teoritis ini merujuk kepada ilmu pengetahuan. Sedangkan hikmah praktis merujuk kepada perbuatan yang adil dan perbuatan yang benar. Allah SWT telah memberikan dua jenis hikmah ini kepada para Nabi-Nya dan para Rasul-Nya dan kepada hamba-hamba yang shaleh yang dikehendaki-Nya.  Sebagaimana firman Allah SWT:

                                                                                                                                       

Artinya: "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku Hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh. (QS. As-Syuaraa’:83)



b.      Hikmah Praktis

Yakni memiliki sesuatu pada tempatnya. Hikmah ini terbagi kepada tiga macam yakni:

- Memiliki mata hati yang antara lain meliputi kekuatan persepsi,    intelegensi, ilmu dan kearifan.

-  Mengetahui keadilan ancaman Allah SWT, kepastian janji-janji-Nya serta keadilan hukum-hukum yang bersifat syar’i dan hukum yang berlaku kepada seluruh makhluk-Nya.

- Memberi hak kepada sesuatu dalam arti: jangan melampaui batas, buru-buru dan menunda waktu. Hikamh sangat memperhatiakan ke tiga petunjuk diatas yakni dengan cara memberikan hak kepada setiap perkara, yakni hak dari Allah SWT dengan syari’at dan takdir-Nya. Jika melampaui batas, menunda-nunda batas waktu berarti kita menyalahi dan melanggar hikmah. Inilah yang disebut dengan ketetapan umum tentang hokum sebab akibat yang berdasarkan kepada syari’at dan takdir.



Dakwah Bil Hikmah

            Dakwah bil Hikmah mempunyai posisi yang sangat penting yaitu dapat menentukan sukses atau tidaknya dakwah tersebut. Hikmah adalah bekal seorang Da’i  munuju kesuksesan. Tidak semua orang mampu meraih hikmah, sebab Allah SWT hanya memberikannya kepada orang yang layak

mendapatkannya. Barang siapa yang mendapatkannya  maka dia telah memperoleh karunia yang besar dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT:                                                                                                                                                          



Artinya:  Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.(QS. Al-Baqarah: 269)

Ayat tersebut mengisyaratkan betapa pentingnya menjadikan hikmah sebagai sifat dan bagian yang menyatu dalam metode dakwah dan betapa perlunya dakwah, mengikuti langkah-langkah yang mengandung hikmah. Ayat tersebut seolah-olah menunjukkan metode dakwah praktis kepada juru dakwah yang mengandung arti mengajak manusia kepada jalan yang benar dan mengajak manusia untuk menerima dan mengikuti petunjuk agama dan aqidah yang benar.

Hikmah dalam pandangan ilmuan bila dikaitkan dengan tafsiran surat an-Nahl ayat 125 sebagai kerangka dasar metode dakwah yang sangat banyak sekali diantaranya:

a.       Menurut al-Razi hikmah diartikan sebagai dall-dalil yang pasti.

b.      Menurut la-Thabari diartikan sebagai wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhamad SAW.

c.       Sedangkan  Syayyid Qutb (966H/1558M) mengemukakan bahwa dakwah bil hikmah adalah memperhatikan keadaan serta tingkat kesadaran penerima dakwah, memperhatikan kadar materi dakwah yang disampaikan kepada audiens, sehingga mereka tidak dibebani dengan materi dakwah tersebut.

Jadi metode dakwah bil hikmah adalah suatu cara yang digunakan dalam upaya membawa orang lain kepada ajaran islam yakni dengan menggunakan argumentasi yang pasti, bahasa yang menyentuh hati dengan pendekatan ilmu dan akal. Sehingga dakwah dengan metode ini dapat diterima oleh para ilmuwan, cendikiawan dan intelektual. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Abdul al-Wahab Kahili, bahwa metode dakwah bil hikmah merupakan pengetahuan yang paling tinggi dan mengungkapkan bahwa metode ini juga bersifat filosof yang dapat menundukkan akal dan tidak ada yang dapat melebihi kedudukan terhadapnya.

Kamis, 17 November 2011

Filsafat


Pembanhasan
Filsafat adalah
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.  
Biografi Al-Kindi
Al-kindi yang dikenal sebagai filosuf  muslim keturunan Arab pertama, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Yakub ibn al-Shabbah ibn Imran ibn Muhammad ibn al-Asy’as ibn Qais al-Kindi. Ia populer dengan sebutan Al-Kindi, yaitu dinisbatkan kepada Kindah, yakni suatu kabilah terkemuka pra-islam yang merupakan cabang dari Bani Kahlan yang menetap di Yaman.[1]

Ia lahir di Kufah sekitar 185 H (801 M- wafat: 873),  dari keluarga kaya dan terhormat Memperhatikan tahun lahirnya, dapat diketahui bahwa Al-Kindi hidup pada masa keemasan kekuasaan Bani ‘Abbas. Pada masa kecilnya, Al-Kindi sempat merasakan masa pemerintahan khalifah  Harun Al-Rasyid yang terkenal sangat memperhatikan dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan bagi kaum Muslim. Pada masa pemerintahannya, Baghdad menjadi pusat perdagangan sekaligus pusat ilmu pengetahuan. A-Rasyid mendirikan semacam akademi atau lembaga, tempat  pertemuan para ilmuwan  yang disebut Bayt Al-Hikmah (balai ilmu pengetahuan).
Al-Rasyid wafat pada tahun 193 H (809 M) ketika Al-Kindi masih berumur 9 tahun. Sepeninggal Al-Rasyid, putranya, Al-Amin menggantikannya sebagai Khalifah, tetapi pada masanya tidak tercatat ada usaha-usaha untuk mengembangkan lebih lanjut ilmu pengetahuan yang telah dirintis dengan mengembangkan usaha susah payah ayahnya. Al-Amin wafat pada tahun 198 H (813 M), kemudian  digantikan  oleh saudaranya  Al-Makmun. Pada masa pemerintahan Al-Makmun (198-228 H) perkembangan ilmu pengetahuan amat pesat.
 Fungsi Bayt Al-Hikmah lebih ditingkatkan, sehingga pada masanya berhasil dipertemukan antara  ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu asing, khususnya dari Yunani. Pada masa ini juga dilakukan penerjemahan besar-besaran kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslim sangat pesat karena memperoleh kesempatan untuk mengembangkan diri. Dan pada waktu inilah Al-Kindi muncul sebagai salah seorang tokoh yang mendapat kepercayaan untuk menerjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab, bahkan ia memberi komentar terhadap pikiran-pikiran pada filosof Yunani.[2]
Mustafa Abdurraziq juga menjunjung al-kindi sebagai ahli falsafat islam yang pertama karena tiga hal:
  1. Al-kindi  mula-mula membagi falsafat dalam 3 ilmu, yaitu ilmu ketuhanan, ilmu pasti, dan ilmu alam, ketiga-tiganya adalah merupakan dasar falsafat islam.
  2. Bahwa al-kindilah yang mula-mula membuka jalan ke arah falsafat islam dengan mempertemukan dua pendapat yang berbeda antara plato dan aristoteles, sehingga dengan demikian itu bertemu pulalah agama dengan falsafat.
  3. Bahwa al-kindi adalah seorang arab islam yang mula-mula merintis membuka ilmu falsafat ini, sehingga ilmu itu tersiar diantara orang arab dan dalam kalangan islam.[3]
Definisi filsafat al-kindi
Al-kindi menyajikan banyak definisi filsafat tanpa menyatakan bahwa definisi mana yang menjadi miliknya. Yang disajikan adalah definisi-definisi dari filsafat terdahulu, itu pun tanpa menegaskan dari siapa diperolehnya. Mungkin dengan menyebut berbagai macam definisi itu dimaksudkan bahwa pengertian yang sebenarnya tercakup dalam semua definisi yang ada, tidak hanya pada salah satunya. Hal ini berarti bagi al-kindi, bahwa untuk memperoleh pengertian lengkap tentang apa filsafat itu harus memperhatikan semua unsur yang terdapat dalam semua definisi tentang filsafat. Definisi-definisi al-kindi sebagai berikut.[4]
  1. Filsafat sendiri terdiri dari gabungan dua kata, philo, sahabat dan Sophia, kebijaksanaan. Filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan. Definisi ini berdasar atas etimologi yunani dari kata-kata itu.
  2. Filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Definisi ini merupakan definisi fungsional, yaitu meninjau filsafat dari segi tingkah laku manusia.
  3. Filsafat adalah latihan untuk mati. Yang dimaksud dengan mati adalah bercerainya jiwa dari badan. Atau mematikan hawa nafsu adalah mencapai keutamaan. Oleh karenanya, banyak orang bijak terdahulu yang mengatakan bahwa kenikmatan adalah suatu kejahatan. Definisi ini juga merupakan definisi fungsional, yang bertitik tolak pada segi tingkah laku manusia pula.
Dari beberapa definisi yang amat beragam diatas, tampaknya al-kindi menjatuhkan pilihannya pada definisi terakhir dengan menambahkan suatu cita filsafat, yaitu sebagai upaya mengamalkan nilai keutamaan. Menurut al-kindi, filosof adalah orang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengamalkan kebenaran yang diperolehnya yaitu orang yang hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Dengan demikian, filsafat yang sebenarnya bukan hanya pengetahuan tentang kebenaran, tetapi di samping itu juga merupakan aktualisasi atau pengamalan dari kebenaran itu. Filosof yang sejati adalah yang mampu memperoleh kebijaksanaan dan mengamalkan kebijaksanaan itu. Hal yang disebut terakhir menunjukkan bahwa konsep al-kindi tentang filsafat merupakan perpaduan antara konsep Socrates dan aliran stoa. Tujuan terakhir adalah dalam hubungannya dengan moralita.[5]

Al-kindi menegaskan juga bahwa filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat yang berupaya mengetahui kebenaran yang pertama, kausa dari pada semua kebenaran, yaitu filsafat pertama. Filosof yang sempurna dan sejati adalah yang memiliki pengetahuan tentang yang paling utama ini. Pengetahuan tentang kausa (‘illat) lebih utama dari pengetahuan tentang akibat (ma’lul, effect). Orang akan mengetahui tentang ralitas secara sempurna jika mengetahui pula yang menjadi kausanya.[6]
Epistemologi Al-Kindi
Al-kindi menyebutkan adanya tiga macam pengetahuan manusia, yaitu: a). pengetahuan inderawi, b). pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang disebut pengetahuan rasional, dan c). pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan yang disebut pengetahuan isyraqi dan iluminatif.
  1. Pengetahuan inderawi
Pengetahuan inderawi terjadi secara langsung ketika orang mengamati terhadap obyek-obyek material, kemudian dalam proses tanpa tenggang waktu dan tanpa berupaya berpindah ke imajinasi (musyawwirah), diteruskan ke tempat penampungannya yang disebut hafizhah (recollection). Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini tidak tetap, karena obyek yang diamati pun tidak tetap, selalu dalam keadaan menjadi, berubah setiap saat, bergerak, berlebih-berkurang kuantitasnya, dan berubah-ubah pula kualitasnya. Pengetahuan inderawi ini tidak memberi gambaran tentang hakikat sesuatu realitas. Pengetahuan inderawi selalu berwatak dan bersifat parsial (juz’iy). Pengetahuan inderawi amat dekat kepada penginderaannya, tetapi amat jauh dari pemberian gambaran tentang alam pada hakikatnya.[7]
  1. Pengetahuan rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal bersifat universal, tidak parsial, dan bersifat immaterial. Obyek pengetahuan rasional bukan individu, tetapi genus dan spesies. Orang mengamati manusia sebagai yang berbadan tegak dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit putih atau berwarna, yang semua ini akan menghasilkan pengetahuan inderawi. Tetapi orang yang mengamati manusia, menyelidiki hakikatnya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa manusia ialah makhluk berpikir (ratinal animal= hayawan nathiq), telah memperoleh pengetahuan rasional yang abstrak universal, mencakup semua individu manusia. Manusia yang telah ditajrid (dipisahkan) dari yang inderawi tidak mempunyai gambar yang terlukis dalam perasaan.

Al-kindi memperingatkan agar orang tidak mengacaukan metoda yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan, karena setiap ilmu mempunyai metodanya sendiri yang sesuai dengan wataknya. Watak ilmulah yang mennetukan metodanya. Adalah suatu kesalahan jika kita menggunakan suatu metoda suatu ilmu untuk mendekati ilmu lain yang mempunyai metodanya sendiri. Adalah suatu kesalahan jika kita menggunakan metoda ilmu alam untuk matematika, atau menggunakan metoda ilmu alam untuk metafisika.
  1. Pengetahuan Isyraqi
Al-kindi mengatakan bahwa pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki tentang hakikat-hakikat. Pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tentang genus dan spesies. Banyak filosof yang membatasi jalan memperoleh pengetahuan pada dua macam jalan ini. Al-kindi, sebagaimana halnya banyak filosof isyraqi, mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan isyraqi (iluminasi), yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi. Puncak dari jalan ini ialah yang diperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umat manusia. Para Nabi memperoleh pengetahuan yang berasal dari wahyu Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semata-mata. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.

Filsafat dan Agama Menurut Al-Kindi
Agama yang bersumber dari wahyu Ilahi mengandung kebenaran, dan kebenaran ini dituangkan untuk manusia. Filsafat juga mengandung kebenaran, kebenarannya didasarkan pada pencarian nalar manusia. Dengan demikian ujung dari keduanya ialah “kebenaran”. Filsafat mencari kebenaran dan agama membawa kebenaran. Namun demikian kebenaran agama tidak akan dirasakan kecuali oleh orang yang berakal. Oleh sebab itu kebenaran agama harus digali  agar lebih jelas. Penggalinya ini dilakukan dengan menggunakan nalar filsafat. Bagi al-kindi kebenaran yang dibawa oleh agama lebih positif dan lebih meyakinkan daripada kebenaran filsafat, walaupun ia juga harus memakai filsafat untuk lebih memperjelasnya, tetapi pekerjaan itu hanyalah pekerjaan membuka selubung barang yang telah ada.[8]

Metafisika Al-kindi
Alam ini merupakan juz’iat (particulars) yang segalanya itu terdapat materi hakiki yang disebut kulliat (universal). Dalam istilah filsafat hakikat yang juz’iat itu biasa disebut dengan aniah dan hakikat yang kulliat disebut mahiah. Mahiah terdiri dari genus dan species.[9]

Ketuhanan Menurut Al-Kindi
Sebagaimana halnya dengan filosof-filosof Yunani dan filosof-filosof islam lainnya, Al-Kindi, selain dari filosof adalah juga ahli ilmu pengetahuan. Pengetahuan ia bagi ke dalam dua bagian:
  1. Pengetahuan Ilahi (Divine science),  sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an: yaitu pengetahuan lansung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini ialah keyakinan.
  2. Pengetahuan manusiawi (human science) atau falsafat. Dasarnya ialah pemikiran (ratio-reason)
Argumen-argumen yang dibawa Al-Qur’an lebih meyakinkan daripada argument-argumen yang ditimbulkan falsafat. Tetapi falsafat dan Al-Qur’an tak bertentangan, kebenaran yang diberitakan wahyu tidak bertentangan dengan kebenaran yang dibawa falsafat. Mempelajari falsafat dan berfalsafat tidak dilarang, karena teologi adalah bagian dari falsafat, dan umat islam diwajibkan belajar  teologi. Adapun mengenai ketuhanan, bagi Al-Kindi, Tuhan adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. Wujud-Nya tidak  berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya. Tuhan adalah Maha esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada dzat lain yang menyamai-Nya dalam segala aspek. Ia tidak dilahirkan dan tidak pula melahirkan.

Sesuai dengan faham yang ada di dalam Islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah Pencipta dan bukan penggerak pertama sebagaimana pendapat Aristoteles. Alam bagi Al-Kindi bukan kekal  dizaman lampau (qadim) tetapi mempunyai permulaan. Pendapat Al-Kindi yang demikian menunjukkan betapa kuatnya pengaruh ilmu kalam pada waktu itu. Dalam hal membuktikan adanya Tuhan, Al-Kindi mengemukakan dalil empiris, yaitu: 1. dalil baharu alam, 2. dalil keragaman dan kesatuan, dan 3. dalil pengendalian alam.[10]

Jiwa Menurut Al-kindi
Adapun tentang jiwa, menurut Al-Kindi, tidak tersusun, tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi roh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan roh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, Illahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri. Argumen  yang dikemukakan Al-Kindi tentang kelainan roh dari badan ialah keadaan badan mempunyai hawa nafsu (carnal desire) dan sifat pemarah (passion). Roh menentang keinginan hawa nafsu dan passion. Sudah jelas hawa yang melarang tidak sama, tetapi berlainan dari yang dilarang. Roh bersifat kekal  dan tidak hancur dengan hancurnya badan. Dia tidak hancur, karena substansinya berasal dari substansi Tuhan.[11]
Jiwa mempunyai tiga daya:
  1. Daya bernafsu (appetitive)
  2. Daya pemarah (irascible)
  3. Dan daya berpikir (cognitive faculty)
Daya berpikir itu disebut akal. Menurut Al-Kindi ada tiga macam akal:
  1. Akal yang  bersifat  potensial
  2. Akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual
  3. Dan akal yang telah mencapai tingkat  kedua dari aktualitas, yang dalam bahasa arab disebut:
Akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Dan oleh Karena itu bagi Al-Kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud diluar roh manusia, dan bernama:العقل الذي بالعقل أبد (akal yang selamanya dalam aktualitas). Akal ini, karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal bersifat potensial dalam roh manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini:
  1. Ia merupakan akal pertama
  2. Ia selamanya dalam aktualitas
  3. Ia merupakan species dan genus
  4. Ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir
  5. Ia tidak sama dengan akal potensial tetapi lain dari padanya.
Bagi Al-Kindi manusia disebut menjadi (‘akil) jika ia telah mengetahui universal, yaitu jika ia telah memperoleh akal yang diluar itu. Akal pertama ini bagi Al-Kindi, mengandung arti banyak, karena dia adalah universal. Dalam limpahan dari Yang  Mahasatu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak (اوّل متكثّر).

Moral Menurut Al-Kindi
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa seorang filosof wajib menempuh hidup susila. Hikmah sejati membawa serta pengetahuan serta pelaksanaan keutamaan. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia (stoa). Tabiat manusia baik, tetapi ia digoda oleh nafsu. Konflik itu dihapuskan oleh pengetahuan (paradoks Socrates). Manusia harus menjauhkan diri dari keserakahan. Milik memberatkan jiwa.
 Socrates dipuji sebagai contoh zahid (asket). Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama (tijarat bi al-din) untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam Negara.  Ia merasa diri korban kelaliman Negara seperti Socrates. Dalam kesesakan jiwa, filsafat menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmah dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk meningkatkan  tata Negara. Sebagai filosof, Al-Kindi prihatin, kalau-kalau syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu dalam akhlak dia mengutamakan kaedah stoa dan Socrates.

Kenabian Menurut Al-Kindi

Tentang kenabian bagi Al-Kindi adalah satu derajat pengetahuan yang tertinggi bagi manusia. Hanya nabi yang bisa mencapai pengetahuan yang sempurna tentang alam ghaib dan ketuhanan  melalui wahyu. Kesanggupan untuk mengetahui seluk-beluk alam ghaib yang sempurna  seperti itu tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia biasa. Keterbatasan pengetahuan manusia terhadap soal-soal hakikat dan alam ghaib disebabkan keterbatasan keleluasaan akalnya atas jasad. Oleh karena itu pengetahuan yang dicapai oleh manusia masih sedikit sekali dan hal ini masih belum sepenuhnya pula dapat diyakini kebenarannya. Berlainan dengan wahyu yang disampaikan Tuhan kepada nabi, ia lebih positif dan kebenarannya dapat diyakini sepenuhnya. Jadi kenabian lebih tinggi dari derajat para filosof.[12]
Al-Farabi: Maha Guru Kedua (Digelar Aristoteles kedua)
Nama sebenarnya Abu Nasr Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Tarkhan Ibnu Uzlaq Al-Farabi. Beliau lahir pada tahun 874 M (260 H) di Transoxia yang terletak dalam Wilayah Wasij di Turki dan meninggal pada tahun 339H/ 950 M. Bapaknya merupakan seorang anggota tentara yang miskin tetapi semua itu tidak menghalanginya untuk mendapat pendidikan di Baghdad. Beliau telah mempelajari bahasa Arab di bawah pimpinan Ali Abu Bakr Muhammad ibn al-Sariy.
Selepas beberapa waktu, beliau berpindah ke Damsyik sebelum meneruskan perjalanannya ke Halab. Semasa di sana, beliau telah berkhidmat di istana Saif al-Daulah dengan gaji empat dirham sehari. Hal ini menyebabkan dia hidup dalam keadaan yang serba kekurangan. Al-Farabi terdidik dengan sifat qanaah menjadikan beliau seorang yang amat sederhana, tidak gila akan harta dan cinta akan dunia. Beliau lebih menumpukan perhatian untuk mencari ilmu daripada mendapatkan kekayaan duniawi. Sebab itulah Al-Farabi hidup dalam keadaan yang miskin hingga beliau menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 950 M (339 H).
Walaupun Al-Farabi merupakan seorang yang zuhud tetapi beliau bukan seorang ahli sufi. Beliau merupakan seorang ilmuwan yang cukup terkenal pada zamannya. Dia berkemampuan menguasai berbagai bahasa. Selain itu, dia juga merupakan seorang pemusik yang handal. Lagu yang dihasilkan meninggalkan kesan secara langsung kepada pendengarnya. Selain mempunyai kemampuan untuk bermain musik, beliau juga telah mencipta satu jenis alat musik yang dikenali sebagai gambus.
Kemampuan Al-Farabi bukan sekadar itu, malah beliau juga memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam dalam bidang pengobatan, sains, matematik, dan sejarah. Namun, keterampilannya sebagai seorang ilmuwan yang ulung, lebih dalam di bidang falsafah. Bahkan kehebatannya dalam bidang ini mengatasi ahli falsafah Islam yang lain seperti Al-Kindi dan Ibnu Rusyd.
Al-Farabi banyak mengkaji mengenai falsafah dan teori Socrates, Plato, dan Aristotle dalam usahanya untuk menghasilkan teori serta konsep mengenai kebahagiaan. Maka tidak heranlah, Al-Farabi dikenali sebagai orang yang paling memahami falsafah Aristoteles. Dia juga merupakan seorang yang mengawali menulis mengenai ilmu logik Yunani secara teratur dalam bahasa Arab. Meskipun pemikiran falsafahnya banyak dipengaruhi oleh falsafah Yunani tetapi beliau menentang pendapat Plato yang menganjurkan konsep pemisahan dalam kehidupan manusia.
Menurut Al-Farabi, seorang ahli falsafah tidak seharusnya memisahkan dirinya daripada sains dan politik. Sebaliknya perlu menguasai kedua-duanya untuk menjadi seorang ahli falsafah yang sempurna. Tanpa sains, seorang ahli falsafah tidak mempunyai cukup peralatan untuk diekspolitasikan untuk kepentingan orang lain. Justru, seorang ahli falsafah yang tulen tidak akan menemukan pandangan yang begitu berbeda di antaranya dengan pemerintah yang tertinggi, karena keduanya merupakan komponen yang saling melengkapi. Dalam hal ini beliau memprogramkan agar diwujudkan sebuah negara yang baik dan tenteram yang dipimpin oleh ahli falsafah.
Pandangan falsafahnya yang kritikal telah meletakkannya sejajar dengan ahli falsafah Yunani yang lain. Dalam kalangan ahli falsafah Islam, beliau juga dikenali sebagai Aristoteles kedua. Bagi Al-Farabi, ilmu segala-galanya dan para ilmuwan harus diletakkan pada kedudukan yang tertinggi dalam pemerintahan sebuah negara. Pandangan Al-Farabi ini sebenarnya mempunyai persamaan dengan falsafah dan ajaran Confucius yang meletakkan golongan ilmuwan pada tingkat hirarki yang tertinggi di dalam sistem sosial sebuah negara.
Di samping itu, Al-Farabi juga mengemukakan banyak pandangan yang mendahului zamannya. Antaranya beliau menyatakan bahawa keadilan itu merupakan sifat semula jadi manusia, manakala pertarungan yang berlaku antara manusia merupakan gejala sifat semula jadi tersebut.n Pemikiran, ide, dan pandangan Al-Farabi mengenai falsafah politik terkandung dalam karyanya yang berjudul “Madinah al-Fadhilah“. Pembicaraan mengenai ilmu falsafah zaman Yunani dan falsafah Plato serta Aristoteles telah disentuhnya dalam karya ” Ihsa’ al-Ulum” dan “Kitab al-Jam“.
Sebagai seeorang ilmuwan, Al-Farabi turut memperlihatkan kecenderungannya menghasilkan beberapa kajian dalam bidang pengobatan. Walaupun kajiannya dalam bidang ini tidak menjadikannya masyhur tetapi pandangannya telah memberikan sumbangan yang cukup bermakna terhadap perkembangan ilmu pengobatan di zamannya.
Salah satu pandangannya yang menarik ialah mengenai betapa jantung adalah lebih penting berbanding otak dalam kehidupan manusia. Ini disebabkan jantung memberikan kehangatan kepada tubuh sedangkan otak hanya menyelaraskan kehangatan itu menurut keperluan anggota tubuh badan. Sesungguhnya Al-Farabi merupakan seorang tokoh falsafah yang serba bisa. Banyak dari pemikirannya masih relevan dengan perkembangan dan kehidupan manusia hari ini. Sementara itu, pemikirannya mengenai politik dan negara banyak dikaji serta dibicarakan di tingkat universitas bagi orang mencari penyelesaian dan sintesis terhadap segala kemelut yang berlaku pada hari ini.

Al- Farabi. [13]
Nama lengkap al-Fârâbî adalah Abû Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhân ibn Uzlagh al-Fârâbî, dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abû Nashr. Ia adalah wakil terkemuka kedua dari mazhab filosof-ilmuwan peripatetik (masysyâ’î) muslim setelah al-Kindî (801-873 M). Ia dikenal dengan laqab (gelar) al-mu’allim al-tsânî (guru kedua) dengan mengalamatkan gelar al-mu’allim al-awwal kepada Aristoteles.
Dalam diri al-Fârâbî terdapat unsur dan kultur Turki. Karena itulah ia dan keluarganya dianggap sebagai orang Turki. Ayahnya adalah seorang panglima Turki menurut satu versi riwayat, walaupun terdapat juga sumber-sumber atau versi lain yang menyebutkan bahwa ayahnya adalah keturunan bangsawan Persia. Ia dilahirkan di kota Wasîj tahun 257/890 salah satu distrik Fârab (diucapkan Bârab dalam dialek asilnya) salah satu wilayah di sekitar Sungai Sîrdâriyâ provinsi Transoxiana. Islam masuk ke daerah ini pada masa Dinasti Samâniyyah setelah Nûh ibn Azâd menyerang kota Isbijab tahun 225 (839 atau 840) sekitar 30 tahun sebelum kelahiran al-Fârâbî. Kemungkinan besar kakek al-Fârâbî baru menjadi mu`allaf pada saat itu.
Pendidikan dasar al-Fârâbî adalah pendidikan keagamaan dan bahasa, ia mempelajari fiqih, hadis dan tafsir Alquran, bahasa Arab, bahasa Turki dan bahasa Persia. Para sejarawan masih meragukan apakah ia juga belajar bahasa-bahasa yang lain selain bahasa itu. Karena ia disebut-sebut banyak menguasai bahasa. Ibnu Khalikân, misalnya, menyatakan bahwa al-Fârâbî menguasai 70 bahasa atau mengenal hampir setiap bahasa.
Untuk menuntut ilmu, Al-Fârâbî melakukan perjalanan ke pusat-pusat peradaban Islam yang paling populer pada masa itu yaitu Baghdâd dan Harrân. Menurut ‘Abd al-Rahmân Badawî, kemungkinan besar al-Fârâbî terlebih dahulu belajar di berbagai madrasah di Harrân sebelum ke Baghdad. Namun menurut Albîr Nashrî Nâdir, setelah di Fârâb, al-Fârâbî pergi ke Baghdâd dulu baru kemudian pergi ke Harrân lalu kembali lagi ke Baghdad.
Harrân pada saat itu merupakan pewaris peradaban Yunani akibat migrasinya madrasah Iskandariyah ke Harrân setelah madrasah itu berada di Antokia selama kurang lebih 140 tahun. Di Harrân ia belajar dengan Yuhannâ ibn Haylân seorang pakar kristen terkemuka di bidang logika ketika itu. Kemudian al-Fârâbî pindah ke Baghdâd bersama para pimpinan madrasah Harrân dan kemudian belajar di halaqah Abû Bisyr al-Matâ (Mattius) ibn Yûnus yang merupakan sentral studi logika. Abû Bisyr adalah orang yang memiliki kedalaman pemahaman tentang filsafat Aristoteles. Kalau versi Albîr diterima, maka al-Fârâbî terlebih dulu belajar logika kepada Abû Bisyr Mattâ di Baghdâd, baru kemudian ia belajar logika kepada Yuhannâ ibn Haylân.
Ketika Situasi politik Baghdâd memburuk, di mana terjadi pertikaian politik dan konflik-konflik sektarian, sehingga memaksa Khalifah al-Muttaqî, para wazîr dan pengawalnya pindah ke luar kota pada tahun 330H/942 M. Al-Fârâbî lalu pindah ke kota Damaskus yang lebih tenang pada akhir tahun yang sama. Di sini ia berkenalan dengan Sayf al-Dawlah al-Hamdânî, sultan Dinasti Hamdân di Halab (Aleppo). Sultan nampaknya sangat terkesan dengan kepakaran dan intelektualitas al-Fârâbî, lalu diajaknya ke Aleppo dan diberinya kedudukan yang baik. Menurut Madjid Fakhry, sebelum ke Aleppo al-Fârâbî terlebih dahulu ke Mesir. Tak lama kemudian al-Fârâbî pindah ke Damaskus hingga wafatnya pada tahun 339/950 M dalam usia 80 tahun.

Filsafat Al- Farabi
Filsafat Al-farabi mempunyai corak dan tujuan yang berbeda, ia mengambil ajaran-ajaran filosof terdahulu, membangun kembali dalam mentuk yang sesuai degan limgkungan kebudayaan dan menyusunya sedemikian sistematis dan selaras, al-farabi adalah orang yang logis baik dalam pemikiran, pernyataan, argumentasi, diskusi,keterangan, dan penalaranya. Filsafatnya mungkin bertumpu pada beberapa perkiraan yang keliru dan mungkin juga berisi beberapa hipotesisyang di tolak oleh ilmu pengetahuan moderen, tetapi ia mempunyai peran penting dan pengaruh yang besar di bidang pemikiran masa-masa sesudahnya.

Corak dan unsur-unsur filsafat Al-Farabi.
  1. Logika
Dalam bukunya Ihsa’al ‘Ulum (Katalog IlmuPengetahuan) al-Farabi mengatakan bahwa logika pada umumnya memberikan kaidah‑kaidah yang kalau diikuti bisa meluruskan pikiran dan membimbing manusia pada jalan yang tepat menuju kebenaran dan menjauhkan diri dari terjebak ke dalam jurang kesalahan. Logika, menurut hematnya, membantu kita dalam membedakan yang benar dari yang salah dan menunjukkan cara berpikir yang benar atau membantu kita dalam membimbing orang lain ke arah itu.
Menurut al-Farabi, logika bukanlah barang hiasan yang tidak perlu, seperti yang sering dikatakan, karena logika tidak pernah akan bisa digantikan dengan bakat alamiah. Selanjutnya al-Farabi membandingkan hubungan antara logika dan “ma’qlat” (entitas-entitas spiritual) dengan tata bahasa dan kata-kata. Namun ada juga perbedaannya, karena sementara tatabahasa hanya berhubungan dengan kata-kata, logika berhubungan dengan “makna”.
 Logika dikaitkan dengan kata-kata hanya sejauh kata-kata itu merupakan perwujudan daripada makna. Selain itu, sementara tata bahasa memberi perhatian pada kaidah-kaidah bahasa yang berbeda-beda, seperti perbedaan bangsa dan ras, logika menaruh perhatian pada pikiran manusia yang selalu sama di mana saja mereka berada. Al-Farabi sangat menekankan aspek-aspek praktis dari logika dan aplikasinya, memberi petunjuk bahwa ma’qulat perlu diuji melalui kaidah-kaidah logika, seperti halnya dimensi, volume dan massa, perlu diuji dengan ukuran.
Sumbangan Al-Farabi di bidang logika ada dua:                        
1. Ia telah berhasil secara tepat dan jelas menerangkan logika Aristoteles kepada bangsa yang berbahasa Arap.
2. Ia meletakkan landasan bagi lima landasan penalaran dengan menampakkan sifat demontratifnya bila hal ini membawa kepastian; dialiktik, bila hal ini membawa kepada kesamaan keyakinan lewat niat baik. Sofistik bila hal ini kesaman dalam keyakinan yang buruk atau kesalahan. Retorik pada keyakinan kemungkinan. Puitis membawa kepada imajinasi.
Kesatuan Filsafat
Al farabi berkeyakinan bahwa hakikatnya filsafat merupakan satu kesatuan karna itu para filosof besar harus menyetujui bahwa satu-satunya tujuan adalah kebenaran. Sebagai ahli filsafat dan sejarah ia menyadari sepenuhnya bahaya kelompok filsafat jika terlalu semangat, karena adanya kelompok yang terlalu semangat ini di penggaruhi oleh fanatisme di antara para pengikut filosof-filosof kelompok besar.
Kebenaranagama dan kebenaran filsafat secara nyata adalah satu meskipun meskipun secara formal berbeda. Dengan pemikirean ini tidak di ragukan lagi bahwa Al farabi orang pertama yang telah membangun filsafat di atas dasar kesesuaian.

Sekilas tentang Pemikiran Filsafatnya
Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujūd (disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujūd (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan sebagai “Tuhan yang berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al-Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal); al-‘Āqil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).

Sistematika teori emanasi al-Farabi adalah sebagai berikut:
1. Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I) ini berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya adalah Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
2. Wujud II itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II → al-Kawākib (bintang-bintang).
3. Wujud III itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III → Saturnus.
4. Wujud IV itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV → Jupiter.
5. Wujud V itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V → Mars.
6. Wujud VI itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI → Matahari.
7. Wujud VII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal VII → Venus.
8. Wujud VIII itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII → Mercury.
9. Wujud IX itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX → Bulan.
10. Wujud X itu berpikir tentang Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan materi pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air, dan tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql al-fa’āl (akal aktif) yang biasanya disebut Jibril yang berperan sebagai wāhib al-suwar (pemberi bentuk, form).

Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke dalam dua kategori: 1) esensinya tidak berfisik (baik yang tidak menempati fisik [yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet] maupun yang menempati fisik [yaitu jiwa, bentuk, dan materi]). 2) esensinya berfisik (yaitu benda-benda langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat, yaitu: api, udara, air, dan tanah).

Pemikiran al-Farabi yang lain adalah tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi, sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan berdimensi.

Jiwa manusia, menurut al-Farabi, memiliki 3 daya: 1) daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghādiyah, nutrition), memelihara (murabbiyah, preservation), dan berkembang biak (muwallidah, reproduction); 2) daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa: merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination); dan 3) daya berpikir (al-quwwah al-nāthiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql ‘amalī) dan akal teoretis (‘aql nazharī). Dan al-‘aql al-nazharī terbagi pada 3 tingkatan: 1) al-‘aql al-hayūlānī (akal potensial, material intellect) yang mempunyai “potensi berpikir” dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk (māhiyah) dari materinya; 2) al-‘aql bi al-fi’l (akal aktual, actual intellect) yang dapat melepaskan arti-arti (māhiyah) dari materinya dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual), bukan lagi dalam bentuk potensial; 3) al-‘aql al-mustafād (akal pemerolehan, acquired intellect) yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada materinya karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati materi. Al-‘aql al-mustafād bisa berkomunikasi dengan akal ke-10 (Jibril) dan mampu menangkap pengetahuan yang dipancarkan oleh “akal aktif” (‘aql fa’āl). Dan ‘aql fa’āl menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal potensial naik menjadi akal aktual, juga bisa mengangkat akal aktual naik menjadi akal mustafad. Hubungan antara ‘aql fa’āl dan ‘aql mustafād ibarat mata dan matahari.

Pemikiran al-Farabi yang lain adalah di bidang sosial-politik. Karyanya yang terkenal adalah berjudul Ārā` Ahl al-Madīnah al-Fādhilah (Opini Penduduk tentang Negara Utama). Menurut al-Farabi, politik diperlukan sebagai mediasi yang bisa mengantarkan manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat. Untuk mencapai kesempurnaan, manusia tidak bisa hidup sendiri, melainkan harus bekerjasama. Hubungan kerjasama setiap individu inilah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya masyarakat. Menurut al-Farabi, seorang pemimpin harus memiliki karakter umum, seperti: 1) kecerdasan; 2) ingatan yang kuat; 3) murah hati; 4) sederhana; 5) cinta keadilan; 6) cinta kejujuran; 7) tegar, berani; dan fasih bicara.

Di samping karakter umum, al-Farabi juga berpendapat bahwa seorang penguasa (pemimpin negara) harus memiliki daya profetik (kenabian) yang sampai pada tingkatan ‘aql mustafād agar mampu menangkap sinat pengetahuan yang dipancarkan oleh akal ke-10 (jibril). Oleh karena itu, ketika seorang pemimpin yang mencapai tingkatan itu sulit ditemukan atau tidak ada (yaitu seorang nabi), maka bisa diganti oleh seorang filosof, karena dia juga mampu sampai pada tingkatan ‘aql mustafād. Namun jika kriteria filosof juga belum ditemukan, maka negara bisa dipimpin secara kolektif dalam bentuk semacam presidium. Di antara orang-orang yang memiliki karakter pemimpin itu, kemudian dipilih satu orang yang memiliki kearifan tertinggi, lalu yang lain dipilih berdasarkan keahlian pengetahuan yang spesifik dan berbeda-beda, seperti: ahli pemerintahan, ahli strategi perang, ahli ekonomi, ahli bicara (orator) dan komunikasi (komunikator), dan sebagainya. Lawan dari al-madīnah al-fādhilah (negara utama) adalah al-madīnah al-fāsidah (negara korup/rusak) yang ditandai dengan ciri-ciri: kebodohan (jahl), kebobrokan (fisq), gonjang-ganjing (tabaddul), dan sesat/rugi (khusr).


Pemikiran al-Farabi yang lain lagi adalah soal teori kenabian yang sekaligus ditujukan untuk merespon pendapat Ibnu al-Rāwandi (w. ± 910 M ) yang lebih tegas penolakannya terhadap kenabian, dan al-Razi (w. 925 M) yang kritik dan penolakannya pada kenabian masih kontroversi dan diragukan (baca kembali tulisan saya tentang teori kenabian menurut al-Razi). Menurut al-Farabi, nabi dan filosof sama-sama mampu berkomunikasi dengan ‘aql fa’āl (akal ke-10) yang tidak lain adalah Jibril, karena keduanya sampai pada tingkat ‘aql mustafād. Hanya keduanya memiliki perbedaan: nabi mampu berkomunikasi dengan akal ke-10 tanpa melalui latihan khusus karena mendapat limpahan dari Tuhan berupa kekuatan atau daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di dalamnya ada daya imaginasi luar biasa, berupa al-hads (semacam insight khusus). Sementara filosof harus melalui latihan yang serius dan cukup lama. Dengan demikian, nabi lebih tinggi tingkatannya daripada filosof. Dan bisa juga dikatakan bahwa setiap nabi pasti seorang filosof, tetapi setiap filosof belum tentu seorang nabi. 

Demikian sekilas soal al-Farabi, semoga kita juga menjadi umat Islam yang bisa berpikir kritis dan cerdas. Semoga kita juga senantiasa berpandangan positif tentang filsafat karena sebenarnya para filosof adalah orang-orang bijak yang hidup sederhana dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencari kebenaran dan menebarkan cinta-kasih pada sesama. Semoga…!!!




[1] . Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam, Jakarta: gaya media pratama, cet.III, 2002, hal. 15
[2] . Dr. H.A. Mustafa, Filsafat Islam, Bandung: pustaka setia, cet. II, desember 2004, hal. 100

[3].  Prof.Dr.H. Abu Bakar Aceh, sejarah filsafat islam, sala\; cv. Ramadani, cet.I, 1970, hal. 47
[4] . Dr. H.A. Mustafa, Filsafat Islam, Bandung: pustaka setia, cet. II, desember 2004, hal. 102-103

[5] . ibid, hal 104

[6] . Ibid.
[7]  Ibid, hal. 104-105

[8]. Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, 1991, hal. 30
[9] . Ibid , hal 31
[10] . Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam, hal.20
[11] . Harun Nasution, Falsafat dan  mistisisme  dalam islam, hal 11
[12]. Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, 1991, hal. 33-34
[13] . http://rahmadialtanbuwiblog.blogspot.com/2009/01/al-farabi.html  (diakses hari senin, 10 oktober 2011, jam 19:27)