Selasa, 14 Juni 2011

ASPEK EPISTIMOLOGI DAKWAH



ASPEK EPISTIMOLOGI DAKWAH
a.       Pengertiandan  epistimologi
Secara etimologi istilah epistimologi berasal dari yunani yakni episteme dan logos. Episteme yang berarti pengetahuan atau kebenaran segagkan logos diartikan sebagai pikiran, kata, teori. Dalam kamus bahasa Indonesia epistimologi di artikan suatu cabang filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan.( filsaraf pengetahuan atau teori pengetahuan.
Secara terminology definisi epistimologi banyak diformulasikan oleh para ahli:
-          Sudarsomo menyebutkan epistimologi adalah suatu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan kebenarang pengetahuan ( uji validitas)
-          Gerald O`colling dan Edward G Farrugia mengatakan bahwa epistimologi adalah teori mengenai ilmu pengetahuan dan cabang filsafat yang menyelidiki pengetahuan manusia, hakikatnya, sumbernya, kriterianya, kemungkinan-kemungkinanya serta keterbatasan-keterbatasanya.
Epistimologi juga dapat di lihat dari beberapa pengertian:
  1. Secara umum epistimologi adalah cabang dari filsafat yang membicarakan tenteng hakekat ilmu.
  2. Secara kusus epistimologi adalam membahas tentang ilmu pengetahuan.
  3. Secara keilmuan epistimologi memiliki kedudukan yang sungguh jauh mendasar yakni menurut landasan dari cabang dalam filsafat( apa kajian ilmu itu, berapa jauh tingkat kebenaranya yang di ciptakan dll),
istilah lain yang memiliki kesamaan dengan epistimologi:
  1. Kriteriologi yaitu cabang filsafat yang membicarakan ukuran besar atau tudaknya pengetahuan.
  2. Kritik pengetahuan ilmu yang membahas tentang pengetahuan yang keritis.
  3. Gneosiologi yaitu cabag ilmu filsafat yang membahas tentang pengetahuan yang sifatnya illahiyah(gnosis) atau dengan kata lain gnosiologi(hubungan dengan tuhan yang maha Esa)
  4. Logika matrial yaitu pembahasan logis dari segi isinya sedangkan logika formal lebih menekankan dari segi bentuknya.
B. Objek kajian Epistimologi dalwah.
a. Objek formal ( Realisme) pandangnya alam mempunyai gambaran apa yang ada dalam alam nyata.
Menurut Rasjidi penganut agama perlu memelajari Realisme di karenakan:
-          Untuk menjelaskan kesulitan-kesulitan yeng terdapat dalam pikiran.
-          Untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan yang positif.
  1. Ojek matrial (idialisme) beraggapan untuk mendapatkan kebenaran yang sesuaikenyataan adalah mustahil.
C. Konsep Epistimologi ilmu dakwah.
Untuk membanguan Epistimologi ilmu dakwah dapat dilakukan rancangan Muhammad Abid al- jabiri ada 3 metode untuk mendapat kan kebenaran:
  1. Epistimologi Bayani. Mempunyai arti penjelasan, pernyataan, ketetapan. Yang artinya bersumber dari nash, ijma, dan ijtihad. Epistimologi bayan merupakan filosofis atau struktur yang menetapkan teks ( wahyu) sebagai kebenaran mutlak.
  2. Epistimologi Irfani. Yang berarti al-ma1rifah, al-ilmi, al-hikmah.yang berpangkal pada Zauq, qaul, atau intuisi yang merupakan perluasan dari pandangan ilmunisasi yang berakar pada tradisai Hermes.
  3. Epistimologi burbani. Secara etimologi burbani adalah Argumentasi yang jelas. Sedangkan istilah bebarti aktivitas intelektual untuk mendapatkan suatu kebenaran proposisi.

Adapun urutan teoritiknya:
  1. Sumber ilmu dakwah, secara garis besar ( Al-Quran dan Al- Sunnah).
  2. metode dan prosedur ilmu dakwah(ijtibadiyah, istinbatiyah, qiyas dan abstraksi).
  3. Pendekatan ( Approach) ilmu dakwah yakin bahasa, filolofis, psikologi, sosiologi, antrogologi etik dll.
  4. Keranggak teoritik ilmu dakwah.
  5. Tipe Argumentasi ilmu dakwah.
  6. Tolak ukur valitnya ilmu dakwah.
  7. Sarana ilmu dakwah.
  8. Perinsip-perinsip ilmu dakwah.
  9. Ilmu-ilmu Bantu dalam ilmu dakwah.
  10. Alat dalam memperoleh ilmu dakwah
a.       Empirisme
Term empiris berasal dari Yunani, artinya pengalaman. Menurut aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indrawi. Pada dasarnya, empiris ini memiliki empat kelemahan, yaitu indra terbatas, indra dapat menipu, obyek dapat menipu, dan lemahnya indra dan obyek sekaligus.
b.      Rasionalisme 
Secara singkat, aliran ini mengatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Bagi aliran ini, kekeliruan pada   empirisme disebakan karena kelemahan alat indera tadi dapat dikoreksi jika akal digunakan.
c.       Positivisme 
Aliran ini berpendapat bahwa indera sangat penting dalam pengetahuan, akan tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan di perkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan diukur lewat eksperimen.
d.      Intuisionisme
Dengan menyadari keterbatasan indera, maka aliran ini mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia yaitu intuisi. Ini adalah evolusi yang sangat tinggi, pengembangan kemampuan ini memerlukan suatu usaha.
Adapun alat untuk memperoleh ilmu dakwah adalah indra, rasio, atau akal dan wahyu (al-Qur’an dan hadits).
Dengan demikian, maka jelas sekali bahwa ilmu dakwah sesungguhnya mempunyai struktur keilmuan yang jelas dan konkrit sebagaimana halnya ilmu-ilmu lain
.           Khusus pada dataran irfani, episitimologi ini tidak begitu banyak berperan dalam ilmu dakwah karena lebih banyak berkutat pada tradisi metafisis murni sedangkan ilmu dakwah itu sebagian besar penampakan tradisi empiriknya. Oleh karena itu, khusus pada wilayah irfani, ilmu dakwah lebih dekat pada bentuk atau sisi pendekatan yang digunakan irfani, yakni psiko-gnosis, intuitif atau zauq (qalb) khususnya pada penelitian lapangan yang berkenaan dengan psikologi ummat, psiko-analisis misalnya.
Dengan demikian, maka berdasarkan sumber pengetahuan, jelas sekali imu dakwah lebih dekat dengan nuansa pengetahuan bayani dan burhani dalam aplikasi keilmuannya baik itu sebagai pure science (ilmu murni) maupun  applied science (ilmu terapan).

D. Strategi Dakwah dalam Tradisi Keilmuan : Pertautan Visi dan Aksi

Menurut Jurgen Habermas, dakwah merupakan media transformasi teori emansipatoris. Artinya, sejauh mana dakwah mampu membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan (mundigkeit) berpikir dan bertindak. Baginya, masyarakat yang reflektif (cerdas) adalah yang berhasil melakukan “komunikasi” yang baik dan memusatkan dengan sesama interaksinya.
Secara dekonstruksi-konstruktif dalam arkeologi pengetahuannya, Michael Foucault memberi pengertian hakikat dakwah sebagai pengetahuan pembicaraan tentang strategi. Strategi disini mempunyai pengertian bahwa dakwah itu tidak hanya dipahami sebagai transformasi nilai yang kadang terkesan sebagai pengandaian struktural atas-bawah (antara da’i dan yang didakwahi) saja dalam penyampaiannya, padahal pengandaian hubungan itu seharusnya fungsional.
Secara epistomologis, salah satu persoalan yang penting yang dihadapi dalam dakwah Islam adalah bagaimana syarat-syarat suatu metode yang paling tepat untuk melakukan pemaknaan terhadap al-Qur‘an  dan hadis, sebagai jiwa Islam dalam wacana kontemporer.
Salah satu syarat yang dimaksud dari pernyataan diatas adalah kondisi apa yang harus di bangun dan semestinya ada dalam perangkat dakwah, dan mengapa kondisi  tersebut mesti dibangun?
Pada dasarnya, kemandirian moralitas sebagai dimensi moral keagamaan adalah salah satu syarat yang dimaksud itu. Ia mempunyai peranan penting dalam aplikasi dakwah di masyarakat.

E. Al-Qur’an dan Sunnah sebagai Sumber Dakwah dan Ilmu Dakwah
Dari segi bahasa, terdapat berbagai pendapat para ahli mengenai pengertian al-Qur’an. Sebagian berpendapat, penulisan lafal al-Qur’an dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-qur’an:    )
Sebagaimana Al-Zajjaj, al-Lihyani berpendapat bahwa lafal al-Qur’an ditulis dengan huruf hamzah  ditengahnya berdasarkan pola kata ghufran dan merupakan pecahan (musytaq) dari akar kata qara-a yang bermakna tala. Lafal al-Qur’an digunakan untuk memahami sesuatu yang dibaca, yakni obyek dalam bentuk masdar.
Dari segi istilah, para ahli memberikan definisi al-Qur’an sebagai berikut :
Menurut Manna al-Qathan, al-Qur’an adalah kalammullah yang di turunkan kepada Muhammad SAW dan membacanya adalah ibadah. Dari segi isi al-Qur’an adalah kelammullah atau firman Allah. Dengan sifat ini, ucapan Rasulullah, malaikat, jin, dan sebagainya tidak dapat disebutkan al-Qur’an . Kalammullah mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang tak mungkin dapat ditandingi oleh perkataan lainnya.
Dari segi turunnya, al-Qur’an disampaikan melalui malaikat Jibril yang di terpercaya
(al-ruhul al-amin).
            Dari segi pembawanya, al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW bin Abdullah, seorang rasul yang dikenal bergelar al-Amin (terperceaya). Ini berarti bahwa wahyu Tuhan yang di sampaikan kepada nabi lainnya tidak dapat disebut al-Qur’an.
            Ia diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW kurang lebih selama 23 tahun dalam dua fase, yaitu 13 tahun pada fase sebelum beliau hijrah ke Madinah (Makkiyah) dan 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke Madaniyyah .
Diantara fungsi al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1.      Bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran ajarannya.
2.      Petunjuk aqidah dan kepercyaan yang harus dianut oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
3.      Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual dan kolektif.
4.      Petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia.

ASPEK EPISTIMOLOGI DAKWAH



a.       Pengertiandan  epistimologi
Secara etimologi istilah epistimologi berasal dari yunani yakni episteme dan logos. Episteme yang berarti pengetahuan atau kebenaran segagkan logos diartikan sebagai pikiran, kata, teori. Dalam kamus bahasa Indonesia epistimologi di artikan suatu cabang filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan.( filsaraf pengetahuan atau teori pengetahuan.
Secara terminology definisi epistimologi banyak diformulasikan oleh para ahli:
-          Sudarsomo menyebutkan epistimologi adalah suatu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan kebenarang pengetahuan ( uji validitas)
-          Gerald O`colling dan Edward G Farrugia mengatakan bahwa epistimologi adalah teori mengenai ilmu pengetahuan dan cabang filsafat yang menyelidiki pengetahuan manusia, hakikatnya, sumbernya, kriterianya, kemungkinan-kemungkinanya serta keterbatasan-keterbatasanya.
Epistimologi juga dapat di lihat dari beberapa pengertian:
  1. Secara umum epistimologi adalah cabang dari filsafat yang membicarakan tenteng hakekat ilmu.
  2. Secara kusus epistimologi adalam membahas tentang ilmu pengetahuan.
  3. Secara keilmuan epistimologi memiliki kedudukan yang sungguh jauh mendasar yakni menurut landasan dari cabang dalam filsafat( apa kajian ilmu itu, berapa jauh tingkat kebenaranya yang di ciptakan dll),
istilah lain yang memiliki kesamaan dengan epistimologi:
  1. Kriteriologi yaitu cabang filsafat yang membicarakan ukuran besar atau tudaknya pengetahuan.
  2. Kritik pengetahuan ilmu yang membahas tentang pengetahuan yang keritis.
  3. Gneosiologi yaitu cabag ilmu filsafat yang membahas tentang pengetahuan yang sifatnya illahiyah(gnosis) atau dengan kata lain gnosiologi(hubungan dengan tuhan yang maha Esa)
  4. Logika matrial yaitu pembahasan logis dari segi isinya sedangkan logika formal lebih menekankan dari segi bentuknya.
B. Objek kajian Epistimologi dalwah.
a. Objek formal ( Realisme) pandangnya alam mempunyai gambaran apa yang ada dalam alam nyata.
Menurut Rasjidi penganut agama perlu memelajari Realisme di karenakan:
-          Untuk menjelaskan kesulitan-kesulitan yeng terdapat dalam pikiran.
-          Untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan yang positif.
  1. Ojek matrial (idialisme) beraggapan untuk mendapatkan kebenaran yang sesuaikenyataan adalah mustahil.
C. Konsep Epistimologi ilmu dakwah.
Untuk membanguan Epistimologi ilmu dakwah dapat dilakukan rancangan Muhammad Abid al- jabiri ada 3 metode untuk mendapat kan kebenaran:
  1. Epistimologi Bayani. Mempunyai arti penjelasan, pernyataan, ketetapan. Yang artinya bersumber dari nash, ijma, dan ijtihad. Epistimologi bayan merupakan filosofis atau struktur yang menetapkan teks ( wahyu) sebagai kebenaran mutlak.
  2. Epistimologi Irfani. Yang berarti al-ma1rifah, al-ilmi, al-hikmah.yang berpangkal pada Zauq, qaul, atau intuisi yang merupakan perluasan dari pandangan ilmunisasi yang berakar pada tradisai Hermes.
  3. Epistimologi burbani. Secara etimologi burbani adalah Argumentasi yang jelas. Sedangkan istilah bebarti aktivitas intelektual untuk mendapatkan suatu kebenaran proposisi.

Adapun urutan teoritiknya:
  1. Sumber ilmu dakwah, secara garis besar ( Al-Quran dan Al- Sunnah).
  2. metode dan prosedur ilmu dakwah(ijtibadiyah, istinbatiyah, qiyas dan abstraksi).
  3. Pendekatan ( Approach) ilmu dakwah yakin bahasa, filolofis, psikologi, sosiologi, antrogologi etik dll.
  4. Keranggak teoritik ilmu dakwah.
  5. Tipe Argumentasi ilmu dakwah.
  6. Tolak ukur valitnya ilmu dakwah.
  7. Sarana ilmu dakwah.
  8. Perinsip-perinsip ilmu dakwah.
  9. Ilmu-ilmu Bantu dalam ilmu dakwah.
  10. Alat dalam memperoleh ilmu dakwah
a.       Empirisme
Term empiris berasal dari Yunani, artinya pengalaman. Menurut aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indrawi. Pada dasarnya, empiris ini memiliki empat kelemahan, yaitu indra terbatas, indra dapat menipu, obyek dapat menipu, dan lemahnya indra dan obyek sekaligus.
b.      Rasionalisme 
Secara singkat, aliran ini mengatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Bagi aliran ini, kekeliruan pada   empirisme disebakan karena kelemahan alat indera tadi dapat dikoreksi jika akal digunakan.
c.       Positivisme 
Aliran ini berpendapat bahwa indera sangat penting dalam pengetahuan, akan tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan di perkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan diukur lewat eksperimen.
d.      Intuisionisme
Dengan menyadari keterbatasan indera, maka aliran ini mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia yaitu intuisi. Ini adalah evolusi yang sangat tinggi, pengembangan kemampuan ini memerlukan suatu usaha.
Adapun alat untuk memperoleh ilmu dakwah adalah indra, rasio, atau akal dan wahyu (al-Qur’an dan hadits).
Dengan demikian, maka jelas sekali bahwa ilmu dakwah sesungguhnya mempunyai struktur keilmuan yang jelas dan konkrit sebagaimana halnya ilmu-ilmu lain
.           Khusus pada dataran irfani, episitimologi ini tidak begitu banyak berperan dalam ilmu dakwah karena lebih banyak berkutat pada tradisi metafisis murni sedangkan ilmu dakwah itu sebagian besar penampakan tradisi empiriknya. Oleh karena itu, khusus pada wilayah irfani, ilmu dakwah lebih dekat pada bentuk atau sisi pendekatan yang digunakan irfani, yakni psiko-gnosis, intuitif atau zauq (qalb) khususnya pada penelitian lapangan yang berkenaan dengan psikologi ummat, psiko-analisis misalnya.
Dengan demikian, maka berdasarkan sumber pengetahuan, jelas sekali imu dakwah lebih dekat dengan nuansa pengetahuan bayani dan burhani dalam aplikasi keilmuannya baik itu sebagai pure science (ilmu murni) maupun  applied science (ilmu terapan).

D. Strategi Dakwah dalam Tradisi Keilmuan : Pertautan Visi dan Aksi

Menurut Jurgen Habermas, dakwah merupakan media transformasi teori emansipatoris. Artinya, sejauh mana dakwah mampu membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan (mundigkeit) berpikir dan bertindak. Baginya, masyarakat yang reflektif (cerdas) adalah yang berhasil melakukan “komunikasi” yang baik dan memusatkan dengan sesama interaksinya.
Secara dekonstruksi-konstruktif dalam arkeologi pengetahuannya, Michael Foucault memberi pengertian hakikat dakwah sebagai pengetahuan pembicaraan tentang strategi. Strategi disini mempunyai pengertian bahwa dakwah itu tidak hanya dipahami sebagai transformasi nilai yang kadang terkesan sebagai pengandaian struktural atas-bawah (antara da’i dan yang didakwahi) saja dalam penyampaiannya, padahal pengandaian hubungan itu seharusnya fungsional.
Secara epistomologis, salah satu persoalan yang penting yang dihadapi dalam dakwah Islam adalah bagaimana syarat-syarat suatu metode yang paling tepat untuk melakukan pemaknaan terhadap al-Qur‘an  dan hadis, sebagai jiwa Islam dalam wacana kontemporer.
Salah satu syarat yang dimaksud dari pernyataan diatas adalah kondisi apa yang harus di bangun dan semestinya ada dalam perangkat dakwah, dan mengapa kondisi  tersebut mesti dibangun?
Pada dasarnya, kemandirian moralitas sebagai dimensi moral keagamaan adalah salah satu syarat yang dimaksud itu. Ia mempunyai peranan penting dalam aplikasi dakwah di masyarakat.

E. Al-Qur’an dan Sunnah sebagai Sumber Dakwah dan Ilmu Dakwah
Dari segi bahasa, terdapat berbagai pendapat para ahli mengenai pengertian al-Qur’an. Sebagian berpendapat, penulisan lafal al-Qur’an dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-qur’an:    )
Sebagaimana Al-Zajjaj, al-Lihyani berpendapat bahwa lafal al-Qur’an ditulis dengan huruf hamzah  ditengahnya berdasarkan pola kata ghufran dan merupakan pecahan (musytaq) dari akar kata qara-a yang bermakna tala. Lafal al-Qur’an digunakan untuk memahami sesuatu yang dibaca, yakni obyek dalam bentuk masdar.
Dari segi istilah, para ahli memberikan definisi al-Qur’an sebagai berikut :
Menurut Manna al-Qathan, al-Qur’an adalah kalammullah yang di turunkan kepada Muhammad SAW dan membacanya adalah ibadah. Dari segi isi al-Qur’an adalah kelammullah atau firman Allah. Dengan sifat ini, ucapan Rasulullah, malaikat, jin, dan sebagainya tidak dapat disebutkan al-Qur’an . Kalammullah mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang tak mungkin dapat ditandingi oleh perkataan lainnya.
Dari segi turunnya, al-Qur’an disampaikan melalui malaikat Jibril yang di terpercaya
(al-ruhul al-amin).
            Dari segi pembawanya, al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW bin Abdullah, seorang rasul yang dikenal bergelar al-Amin (terperceaya). Ini berarti bahwa wahyu Tuhan yang di sampaikan kepada nabi lainnya tidak dapat disebut al-Qur’an.
            Ia diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW kurang lebih selama 23 tahun dalam dua fase, yaitu 13 tahun pada fase sebelum beliau hijrah ke Madinah (Makkiyah) dan 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke Madaniyyah .
Diantara fungsi al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1.      Bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran ajarannya.
2.      Petunjuk aqidah dan kepercyaan yang harus dianut oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
3.      Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual dan kolektif.
4.      Petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia.

ASPEK EPISTIMOLOGI DAKWAH



ASPEK EPISTIMOLOGI DAKWAH
a.       Pengertiandan  epistimologi
Secara etimologi istilah epistimologi berasal dari yunani yakni episteme dan logos. Episteme yang berarti pengetahuan atau kebenaran segagkan logos diartikan sebagai pikiran, kata, teori. Dalam kamus bahasa Indonesia epistimologi di artikan suatu cabang filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan.( filsaraf pengetahuan atau teori pengetahuan.
Secara terminology definisi epistimologi banyak diformulasikan oleh para ahli:
-          Sudarsomo menyebutkan epistimologi adalah suatu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan kebenarang pengetahuan ( uji validitas)
-          Gerald O`colling dan Edward G Farrugia mengatakan bahwa epistimologi adalah teori mengenai ilmu pengetahuan dan cabang filsafat yang menyelidiki pengetahuan manusia, hakikatnya, sumbernya, kriterianya, kemungkinan-kemungkinanya serta keterbatasan-keterbatasanya.
Epistimologi juga dapat di lihat dari beberapa pengertian:
  1. Secara umum epistimologi adalah cabang dari filsafat yang membicarakan tenteng hakekat ilmu.
  2. Secara kusus epistimologi adalam membahas tentang ilmu pengetahuan.
  3. Secara keilmuan epistimologi memiliki kedudukan yang sungguh jauh mendasar yakni menurut landasan dari cabang dalam filsafat( apa kajian ilmu itu, berapa jauh tingkat kebenaranya yang di ciptakan dll),
istilah lain yang memiliki kesamaan dengan epistimologi:
  1. Kriteriologi yaitu cabang filsafat yang membicarakan ukuran besar atau tudaknya pengetahuan.
  2. Kritik pengetahuan ilmu yang membahas tentang pengetahuan yang keritis.
  3. Gneosiologi yaitu cabag ilmu filsafat yang membahas tentang pengetahuan yang sifatnya illahiyah(gnosis) atau dengan kata lain gnosiologi(hubungan dengan tuhan yang maha Esa)
  4. Logika matrial yaitu pembahasan logis dari segi isinya sedangkan logika formal lebih menekankan dari segi bentuknya.
B. Objek kajian Epistimologi dalwah.
a. Objek formal ( Realisme) pandangnya alam mempunyai gambaran apa yang ada dalam alam nyata.
Menurut Rasjidi penganut agama perlu memelajari Realisme di karenakan:
-          Untuk menjelaskan kesulitan-kesulitan yeng terdapat dalam pikiran.
-          Untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan yang positif.
  1. Ojek matrial (idialisme) beraggapan untuk mendapatkan kebenaran yang sesuaikenyataan adalah mustahil.
C. Konsep Epistimologi ilmu dakwah.
Untuk membanguan Epistimologi ilmu dakwah dapat dilakukan rancangan Muhammad Abid al- jabiri ada 3 metode untuk mendapat kan kebenaran:
  1. Epistimologi Bayani. Mempunyai arti penjelasan, pernyataan, ketetapan. Yang artinya bersumber dari nash, ijma, dan ijtihad. Epistimologi bayan merupakan filosofis atau struktur yang menetapkan teks ( wahyu) sebagai kebenaran mutlak.
  2. Epistimologi Irfani. Yang berarti al-ma1rifah, al-ilmi, al-hikmah.yang berpangkal pada Zauq, qaul, atau intuisi yang merupakan perluasan dari pandangan ilmunisasi yang berakar pada tradisai Hermes.
  3. Epistimologi burbani. Secara etimologi burbani adalah Argumentasi yang jelas. Sedangkan istilah bebarti aktivitas intelektual untuk mendapatkan suatu kebenaran proposisi.

Adapun urutan teoritiknya:
  1. Sumber ilmu dakwah, secara garis besar ( Al-Quran dan Al- Sunnah).
  2. metode dan prosedur ilmu dakwah(ijtibadiyah, istinbatiyah, qiyas dan abstraksi).
  3. Pendekatan ( Approach) ilmu dakwah yakin bahasa, filolofis, psikologi, sosiologi, antrogologi etik dll.
  4. Keranggak teoritik ilmu dakwah.
  5. Tipe Argumentasi ilmu dakwah.
  6. Tolak ukur valitnya ilmu dakwah.
  7. Sarana ilmu dakwah.
  8. Perinsip-perinsip ilmu dakwah.
  9. Ilmu-ilmu Bantu dalam ilmu dakwah.
  10. Alat dalam memperoleh ilmu dakwah
a.       Empirisme
Term empiris berasal dari Yunani, artinya pengalaman. Menurut aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indrawi. Pada dasarnya, empiris ini memiliki empat kelemahan, yaitu indra terbatas, indra dapat menipu, obyek dapat menipu, dan lemahnya indra dan obyek sekaligus.
b.      Rasionalisme 
Secara singkat, aliran ini mengatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Bagi aliran ini, kekeliruan pada   empirisme disebakan karena kelemahan alat indera tadi dapat dikoreksi jika akal digunakan.
c.       Positivisme 
Aliran ini berpendapat bahwa indera sangat penting dalam pengetahuan, akan tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan di perkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan diukur lewat eksperimen.
d.      Intuisionisme
Dengan menyadari keterbatasan indera, maka aliran ini mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia yaitu intuisi. Ini adalah evolusi yang sangat tinggi, pengembangan kemampuan ini memerlukan suatu usaha.
Adapun alat untuk memperoleh ilmu dakwah adalah indra, rasio, atau akal dan wahyu (al-Qur’an dan hadits).
Dengan demikian, maka jelas sekali bahwa ilmu dakwah sesungguhnya mempunyai struktur keilmuan yang jelas dan konkrit sebagaimana halnya ilmu-ilmu lain
.           Khusus pada dataran irfani, episitimologi ini tidak begitu banyak berperan dalam ilmu dakwah karena lebih banyak berkutat pada tradisi metafisis murni sedangkan ilmu dakwah itu sebagian besar penampakan tradisi empiriknya. Oleh karena itu, khusus pada wilayah irfani, ilmu dakwah lebih dekat pada bentuk atau sisi pendekatan yang digunakan irfani, yakni psiko-gnosis, intuitif atau zauq (qalb) khususnya pada penelitian lapangan yang berkenaan dengan psikologi ummat, psiko-analisis misalnya.
Dengan demikian, maka berdasarkan sumber pengetahuan, jelas sekali imu dakwah lebih dekat dengan nuansa pengetahuan bayani dan burhani dalam aplikasi keilmuannya baik itu sebagai pure science (ilmu murni) maupun  applied science (ilmu terapan).

D. Strategi Dakwah dalam Tradisi Keilmuan : Pertautan Visi dan Aksi

Menurut Jurgen Habermas, dakwah merupakan media transformasi teori emansipatoris. Artinya, sejauh mana dakwah mampu membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan (mundigkeit) berpikir dan bertindak. Baginya, masyarakat yang reflektif (cerdas) adalah yang berhasil melakukan “komunikasi” yang baik dan memusatkan dengan sesama interaksinya.
Secara dekonstruksi-konstruktif dalam arkeologi pengetahuannya, Michael Foucault memberi pengertian hakikat dakwah sebagai pengetahuan pembicaraan tentang strategi. Strategi disini mempunyai pengertian bahwa dakwah itu tidak hanya dipahami sebagai transformasi nilai yang kadang terkesan sebagai pengandaian struktural atas-bawah (antara da’i dan yang didakwahi) saja dalam penyampaiannya, padahal pengandaian hubungan itu seharusnya fungsional.
Secara epistomologis, salah satu persoalan yang penting yang dihadapi dalam dakwah Islam adalah bagaimana syarat-syarat suatu metode yang paling tepat untuk melakukan pemaknaan terhadap al-Qur‘an  dan hadis, sebagai jiwa Islam dalam wacana kontemporer.
Salah satu syarat yang dimaksud dari pernyataan diatas adalah kondisi apa yang harus di bangun dan semestinya ada dalam perangkat dakwah, dan mengapa kondisi  tersebut mesti dibangun?
Pada dasarnya, kemandirian moralitas sebagai dimensi moral keagamaan adalah salah satu syarat yang dimaksud itu. Ia mempunyai peranan penting dalam aplikasi dakwah di masyarakat.

E. Al-Qur’an dan Sunnah sebagai Sumber Dakwah dan Ilmu Dakwah
Dari segi bahasa, terdapat berbagai pendapat para ahli mengenai pengertian al-Qur’an. Sebagian berpendapat, penulisan lafal al-Qur’an dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-qur’an:    )
Sebagaimana Al-Zajjaj, al-Lihyani berpendapat bahwa lafal al-Qur’an ditulis dengan huruf hamzah  ditengahnya berdasarkan pola kata ghufran dan merupakan pecahan (musytaq) dari akar kata qara-a yang bermakna tala. Lafal al-Qur’an digunakan untuk memahami sesuatu yang dibaca, yakni obyek dalam bentuk masdar.
Dari segi istilah, para ahli memberikan definisi al-Qur’an sebagai berikut :
Menurut Manna al-Qathan, al-Qur’an adalah kalammullah yang di turunkan kepada Muhammad SAW dan membacanya adalah ibadah. Dari segi isi al-Qur’an adalah kelammullah atau firman Allah. Dengan sifat ini, ucapan Rasulullah, malaikat, jin, dan sebagainya tidak dapat disebutkan al-Qur’an . Kalammullah mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang tak mungkin dapat ditandingi oleh perkataan lainnya.
Dari segi turunnya, al-Qur’an disampaikan melalui malaikat Jibril yang di terpercaya
(al-ruhul al-amin).
            Dari segi pembawanya, al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW bin Abdullah, seorang rasul yang dikenal bergelar al-Amin (terperceaya). Ini berarti bahwa wahyu Tuhan yang di sampaikan kepada nabi lainnya tidak dapat disebut al-Qur’an.
            Ia diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW kurang lebih selama 23 tahun dalam dua fase, yaitu 13 tahun pada fase sebelum beliau hijrah ke Madinah (Makkiyah) dan 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke Madaniyyah .
Diantara fungsi al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1.      Bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran ajarannya.
2.      Petunjuk aqidah dan kepercyaan yang harus dianut oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
3.      Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual dan kolektif.
4.      Petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia.

SEJARAH PERKEMBANGAN MADRASAH DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Agama islam adalah agama yang diturunkan terahir oleh Allah kepada mabi muhammad Saw, mulai saat itu ajaran islam pun di kenalkan di dalam masyarakat, selain itu Madrasah adalah salah satu jenis tempat pendidikan yang ada di Indonesia, adapun sistem pendidikan dalam madrasah adalah mengombinasikan antara pendidikan agama dan pendidikan mon agama. Madrasah muncul pada pertengahan abad ke 20 yang tujuan utamanya ingin mengembangkan pendidikan islam, dan menyebar luaskan ajaran-ajaran islam.
Pendidikan madrasah untuk saat ini sudah banyak mengalami kemajuan, sehingga terbentuk seperti sekolah-sekolah modern adapun bentuk-bentuk atau tingkatan-tigkatanya adalah madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah dan Aliyah, dan dengan penbagian-pembagian tingkatan tersebut di yakini mampu mempermudah santri atau pelajar-pelajar yang belajar dimadrasah.
Kemunculan madrasah dipandang menjadi salah satu indikator penting bagi perkembangan positif kemajuan prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas pendidikan, sebagaimana terlihat pada fenomena madrasah yang sedemikian maju saat itu, adalah cerminan dari keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural yang mampu mengendalikan tingkah laku manusia, sehingga manusia berbuat sebagaimana fitrahnya.


I.     Pembahasan
A.    Pengertian Madrasah
Kata madrasah diambil dari akar kata darasa yang berarti belajar. Madrasah adalah isim makan dari kata ini sehingga berarti tempat untuk belajar. Istilah madrasah sering diidentikkan dengan istilah sekolah atau semacam bentuk perguruan yang dijalankan oleh sekelompok atau institusi umat Islam (Zaki Badawi, 1980:229).
Kata “Madrasah” berasal dari bahasa Arab sebagai keterangan tempat (dzaraf), dari akar kata : “Darasa, Yadrusu, Darsan, dan Madrasatan”. Yang mempunyai arti “Tempat belajar para pelajar” atau diartikan “jalan” (Thariq), misalnya : diartikan : “ini jalan kenikmatan”. Sedangkan kata “Midras” diartikan “buku yang dipelajari” atau “tempat belajar”.[1]
 Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran.[2]
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
B.     Sejarah singkat munculmaya madrasah
Secara umum madrasah juga sama dengan sekolah-sekolah lain, yaitu lembaga pendidikan yang menggunakan sistem klasikal dan kelas dengan segala fasilitasnya seperti kursi, meja dan papan tulis, kecuali aspek tradisi dan kurikulum yang dilaksanakan. Meskipun sekarang posisi madrasah secara yuridis sama terutama dalam aspek kurikulum tetapi madrasah secara umum masih mempertahankan ciri khasnya sebagai sekolah yang berciri khas Islam.
Madrasah sebagai salah satu bentuk kelembagaan pendidikan Islam memiliki sejarah yang sangat panjang. Ada beberapa pendapat mengenai nunculnya madrasah diantaranya Syalabi (1987: 43) Madrasah pertama kali dirikan pada tahun 459 H oleh Nizam al-Mulk di Baghdad. Hasan Abd ‘Al (1988; 210) Madrasah telah lebih awal berdiri pada abad keempat Hijriyah di Naisabur. Munculnya pendidikan madrasah pada awalnya selain dilatarbelakangi oleh motivasi agama dan motivasi ekonomi, juga motivasi politik. Sebab itu kelembagaan madrasah merupakan formalisasi yang dilakukan pemerintah terhadap sistem pendidikan informil yang telah ada sebelumnya, sisi lain ialah adanya ketentuan-ketentuan yang lebih jelas yang berkaitan dengan komponen-komponen pendidikan dan keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan madrasah.
Dengan demikian keberadaan madrasah pada waktu itu merupakan tonggak baru dalam penyelenggaraan pendidikan Islam yang banyak memberikan kontribusi terhadap perkembangan dunia pendidikan pada masa-masa berikutnya, termasuk perkembangan pendidikan di dunia Barat. Abd Ghani Abud mengatakan “pendirian universitas-universitas di Barat adalah sebagai hasil inspirasi dan pengaruh madrasah (Nidzamiyah)”.[3] George Makdisi juga membuktikan, bahwa tradisi akademik Barat secara historis mengambil banyak keuntungan dari tradisi madrasah.
Di Indonesia, madrasah merupakan fenomena moderen yang dimulai sekitar awal abad ke-20. Tidak ada kejelasan hubungan madrasah abad ke 11-12 di timur tengah dengan munculnya madrasah di Indonesia pada awal abad ke-20. Sejarah pertumbuhan madrasah di Indonesia, jika dikembalikan pada situasi awal abad ke-20, dianggap sebagai memiliki latar belakang sejarahnya sendiri, walaupun sangat dimungkinkan ia merupakan konsekuensi dari pengaruh intensif pembaharuan pendidikan Islam di timur tengah masa moderen.(Simanjuntak (1972: 24).
 Bahwa masuknya agama Islam tidak mengubah hakekat pengajaran agama yang formil, yang berubah ialah isi agama yang dipelajari, bahasa yang menjadi wahana bagi pelajaran agama itu, serta latar belakang pelajar-pelajar, jadi masih tetap menganut pola hindu. Sejalan dengan itu Karel Steenbrink (1994) mengindikasikan bahwa pendidikan Islam berevolusi dari pesantren, madrasah dan kemudian sekolah, sebab itu madrasah di Indonesia dianggap sebagai perkembangan lanjut atau pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren dan surau.
Kemunculan madrasah dipandang menjadi salah satu indikator penting bagi perkembangan positif kemajuan prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas pendidikan, sebagaimana terlihat pada fenomena madrasah yang sedemikian maju saat itu, adalah cerminan dari keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural.[4]
Oleh sebab itu madrasah telah menjadi salah satu wujud entitas budaya bangsa Indonesia yang telah menjalani proses sosialisasi yang relatif intensif, dan dalam waktu yang cukup panjang itu telah memainkan peran tersendiri dalam panggung pembentukan peradaban bangsa.
Sebelum terbentuk sistem madrasah, pada awalnya proses pendidikan dan pengajaran dilaksanakan di masjid dan pesantren. Setelah terbuka dan semakin kuatnya proses pembentukan “Intellectual Webs” (jaringan intelektual) di kalangan umat Islam dengan Haramain sebagai sumber tempat yang “asli”, nuansa mistik yang kental di pondok pesantren lambat laun semakin berkurang dan bergerak ke arah proses ortodoksi, atau oleh pengamat peradapan di Indonesia menyebut adanya proses bergerak dari Islam yang bercorak mistik menuju ke Islam Sunni (Malik Fadjar, 1998: 22).
 Disisi lain juga terjadi proses perubahan isi pembelajaran di dalam format-format pembelajaranya. Persentuan “global” dengan pusat Islam di Haramain memungkinkan para pelaku pendidikan Islam melihat sistim pembelajaran yang lebih terprogram. Maka tumbuh dan berkembanglah pola pembelajaran pelajaran Islam yang dikelola denggan sistim “Madrasi”. Sebagaimana dimaklumi bahwa sistim madrasah pertama kali didirikan dan diperkenalkan di dunia Islam adalah madrasah Nidzamiyah di baghdad yang didirikan oleh perdana mentri Nidzamul Mulk seorang penguasa Bani saljuk pada abad II yang salah seorang gurunya adalah Imam Ghazali (ensiklopedia Islam; 3:1994).
 Kemudian sistem madrasah ini berkembang ke berbagai kota di negeri Islam antara lain di Kairo (Mesir) berdiri perguruan al-Azhar, di Spayol berdiri perguruan Cordoba dan di India berdiri madrasah Deoban. Dari sini dapat diketahui bahwa madrasah yang kita temukan di Indonesia bukanlah suatu yang indigenius (pribumi) dalam peta dunia pendidikan di Indonesia, dan juga sebagaimana yang ditunjukkan oleh kata “madrasah” itu sendiri yang berasal dari bahasa Arab, secara harfiah kata ini setara maknanya dengan “sekolah”. Berbeda dengan pesantren, yang oleh para peneliti/ilmuwan dipandang sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki watak indigenius (A.Malik Fadjar, 1998:20).
Dilihat dari pengelolaannya, pendidikan sistem madrasah ini memungkinkan cara pembelajaran secra klasikal. Hal ini berbeda dengan cara yang berkembang di pondok pesantren yang lebih bersifat individual seperti yang terdapat pada sistem sorogan dan wetonan. Pengelolaan sistem madrasi juga memungkinkan adanya pengelompokan pelajaran-pelajaran tentang pengetahuan Islam yang penyampaiannya dilakukan secara bertingkat-tingkat. Pengelompokan ini sekaligus memperhitungkan rentang waktu yang dubutuhkan. Sehingga secara tehnis, sistem madrasi berusaha mengorganisasikan kegiatan kependidikannya dengan sistem kelas-kelas berjenjang dengan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pelajaran yang sudah dipolakan.
Format madrasah dari waktu ke waktu semakin jelas sosoknya, sementara isi dan visi keIslaman terus mengalami perubahan, seiring dengan semakin kuatnya kontak dengan dunia luar terutama dengan negara-negara Islam dan juga dipengaruhi oleh kolonialisasi di nusantara ini yang berabad-abad lamanya.

C.    Perkembangan Madrasah di Indonesia
a.      Masa Penjajahan
Pada masa pemerintah kolonial Belanda Madrasah memulai proses pertumbuhannya atas dasar semangat pembaharuan dikalangan umat Islam. Pertumbuhan Madrasah sekaligus menunjukkan adanya pola respon umat Islam yang lebih progresif, tidak semata- mata bersifat defensif, terhadap pendidikan Hindia Belanda kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam pada dasarnya bersifat menekan karena kekhawatiran akan timbulnya militansi kaum muslimin terpelajar. Dalam banyak kasus sering terjadi guru-guru agama dipersalahkan ketika menghadapi gerakan kristenisasi dengan alasan ketertiban dan keamanan. [5]
Madrasah pada masa Hindia Belanda mulai tumbuh meskipun memperoleh pengakuan yang setengah-setengah dari pemerintah Belanda. Tetapi pada umumnya madrasah- madrasah itu, baik di Minangkabau, Jawa dan Kalimantan, berdiri semata-mata karena kreasi tokoh dan organisasi tertentu tanpa dukungan dan legitimasi dari pemerintah. [6]
 Kebijakan yang kurang menguntungkan terhadap pendidikan Islam masih berlanjut pada masa penjajahan Jepang, meskipun terdapat beberapa modifikasi. Berbeda dengan pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Jepang membiarkan dibukanya kembali madrasah-madrasah yang pernah ditutup pada masa sebelumnya. Namun demikian, pemerintah Jepang tetap mewaspadai bahwa madrasah-madrasah itu memiliki potensi perlawanan yang membahayakan bagi pendidikan Jepang di Indonesia. Perkembangan Madrasah pada masa orde lama sejak awal kemerdekaan sangat terkait dengan peran Departemen Agama yang resmi berdiri pada tanggal 13 Januari 1946, dalam perkembangan selanjutnya Departemen Agama menyeragamkan nama, jenis dan tingkatan madrasah sebagaimana yang ada sekarang. Madrasah ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama 30% sebagaimana pelajaran dasar dan pelajaran umum 70%. Kedua, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama Islam murni yang disebut dengan Madrasah Diniyah. [7]

Dalam Undang- undang No. 4 tahun 1950 Jo No. 12 tahun 1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah dalam pasal2 ditegaskan bahwa Undang-undang ini tidak berlaku untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah-sekolah agama. Dan dalam pasal 20 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan agama di sekolah bukan masa pelajaran wajib dan bergantung pada persetujuan orang tua siswa. Dengan rekomendasi ini, madrasah tetap berada di luar sistem
pendidikan nasional, tetapi sudah merupakan langkah pengakuan akan eksistensi madrasah dalam kerangka pendidikan nasional.[8]

b.      Madrasah Pada Masa Orde Lama.
Memasuki awal orde lama, pemerintah membentuk departemen agama yang resmi berdiri pada Tanggal 3 Januari 1946. Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan pendidikan islam di Indonesia. Orientasi usaha departemen agama dalam bidang pendidikan islam bertumpu pada aspirasi umat islam agar pendidikan agama diajarkan di sekolah-sekolah. Disamping Pada pengembangan madrasah itu sendiri.
 Salah satu perkembangan madrasah yang cukup menonjol pada masa orde lama ialah: Didirikan dan dikembangkannya pendidikan guru agama dan pendidikan hakim islam negri. madrasah ini menandai perkembangan yang sangat penting di mana madrasah dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga professional keagamaan, disamping mempersiapkan tenaga-tenaga yang siap mengembangkan madrasah.
Pada Tanggal 3 Desember 1960 keluar ketetapan MPRS no II/MPRS/1960 tentanng “garis-garis besar pola pembangunan nasional semesta berencana, tahapan pertama tahun 1961-1969” ketetapan ini menyebutkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai di sekolah rakyat sampai universitas-universitas negri,dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta, apabila wali murid atau murid dewasa menyatakan keberatannya. Namun demikian, dalam kaitannya dengan madrasah ketetapan ini telah memberi perhatian meskipun tidak terlalu berarti, dengan merekomondasikan agar madrasah hendaknya berdiri sendiri sebagai badan otonom dibawah pengawasan departemen pendidikan dan kebbudayaan.[9]
c.       Masa Orde Baru
Pada masa orde baru pemerintah mulai memikirkan kemungkinan mengintegrasikan madrasah ke dalam pendidikan nasional. Berdasarkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tiga dimensi, yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1975, Nomor 037/4 1975 dan Nomor 36 tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah ditetapkan bahwa standar pendidikan madrasah sama dengan sekolah umum, ijazahnya mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum dan lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas dan siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Lulusan Madrasah Aliyah dapat melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi umum dan agama.
 Pemerintah orde baru melakukan langkah konkrit berupa penyusunan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional. Dalam konteks ini, penegasan definitif tentang madrasah diberikan melalui keputusan-keputusan yang lebih operasional dan dimasukkan dalam kategori pendidikan sekolah tanpa menghilangkan karakter keagamaannya. Melalui upaya ini dapat dikatakan bahwa Madrasah berkembang secara terpadu dalam sistem
pendidikan nasional. [10] Pada masa orde baru ini madrasah mulai dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat mulai dari masyarakat kelas rendah sampai masyarakat menengah keatas.
            Sedangkan pertumbuhan jenjangnya menjadi 5 (jenjang) pendidikan yang secara berturut-turut sebagai
berikut :
1)   Raudatul Atfal (Bustanul Atfal).
Raudatul Atfal atau Bustanul Atfal terdiri dari 3 tingkat :
1.      Tingkat A untuk anak umur 3-4 tahun
2.      Tingkat B untuk anak umur 4-5 tahun
3.      Tingkat C untuk anak umur 5-6 tahun
2) Madrasah Ibtidaiyah.
Madrasah Ibtidaiyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran rendah serta menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.
3) Madrasah Tsanawiyah
Madrasah Tsanawiyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran tingkat menengah pertama dan menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum.
4) Madrasah Aliyah.
Madrasah Aliyah ialah lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan dan pengajaran tingkat menengah keatas dan menjadikan mata pelajaran agama Islam. Sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Dewasa ini Madrasah Aliyah memiliki jurusan-jurusan : Ilmu Agama, Fisika, Biologi, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Budaya.
5) Madrasah Diniyah
Madrasah Diniyah ialah lembaga pendidikan dan pelajaran agama Islam, yang berfungsi terutama untuk memenuhi hasrat orang tua agar anak-anaknya lebih banyak mendapat pendidikan agama Islam. Madrasah Diniyah ini terdiri 3 tingkat :
1.      Madrasah Diniyah Awaliyah ialah Madrasah Diniyah tingkat permulaan dengan kelas 4 dengan jam belajar sebanyak 18 jam pelajaran dan seminggu.
2.      Madrasah Diniyah Wusta ialah Madrasah Diniyah tingkat pertama dengan masa belajar 2 (dua) tahun dari kelas I sampai kelas II dengan jam belajar sebanyak 18 jam pelajaran dalam seminggu.
3.      Madrasah Diniyah Ula ialah Madrasah Diniyah tingkat menengah atas dengan masa belajar 2 tahun dari kelas I sampai kelas II dengan jumlah jam pelajaran 18 jam pelajaran dalam seminggu.

d.      Masa Sekarang
Era globalisasi dewasa ini dan dimasa datang sedang dan akan mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia umumnya, atau pendidikan Islam, termasuk pesantren dan Madrasah khususnya. Argumen panjang lebar tak perlu dikemukakan lagi, bahwa masyarakat muslim tidak bisa menghindari diri dari proses globalisasi tersebut, apalagi jika ingin berjaya ditengah perkembangan dunia yang kian kompetitif di masa kini dan abad 21.[11]

Globalisasi yang berlangsung dan melanda masyarakat muslim Indonesia sekarang ini menampilkan sumber dan watak yang berbeda. Proses globalisasi dewasa ini tidak bersumber dari Timur Tengah, melainkan dari barat, yang terus memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat dunia umumnya. Dominasi dan hegemoni politik barat dalam segi-segi tertentu mungkin saja telah “merosot”, khususnya sejak terakhirnya perang dunia kedua, dan “perang dingin”. Belum lama ini, tetapi hegemoniekonomi dan sains-teknologi barat tetap belum tergoyahkan. Meski muncul beberapa kekuatan ekonomi baru, seperti Jepang dan Korea Selatan, tetapi “kultur” hegemoni ekonomi dan sains teknologinya tetap sarat dengan nilai-nilai Barat.

Melihat begitu derasnya pengaruh barat yang mengarah pada hegemoni terhadap masyarakat muslim dalam segala aspek kehidupannya, maka madrasah harus segera berbenah diri. Madrasah sebagai institusi pendidikan yang konsen dan inten dalam usaha transformasi nilai- nilai Islam harus dapat menampilkan perannya sebagai counter terhadap imperialisme kultural (cultur imperialism) yang sedang gencar-gencarnya menyerbu dunia timur (masyarakat muslim) khususnya di Indonesia.
D.    Sistem Pendidikan dan Pengajaran Di Madrasah.
Sistem pengajaran yang digunakan di madrasah adalah perpaduan antara sistem pada pondok pesantren dengan sistem yang berlaku di sekolah-sekolah modern. Penilaian untuk kenaikan tingkat ditentukan dengan penguasaan terhadap sejumlah bidang pengajaran.tertentu.
Pada perkembangan selanjutnya sistem pondok mulai ditinggal, dan berdirilah madrasah-madrasah yang mengikuti sistem yang sama dengan sekolah-sekolah modern. Namun demikian pada tahap awal madrasah tersebut masih bersifat diniyah, di mana mata pelajaran hanya agama dengan penggunaan kitab-kitab bahasa arab. Sebagai pengaruh dari ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan bangsa Indonesia, sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam kurikulum madrasah. Buku-buku pelajaran agama mulai disusun khusus sesuai dengan tingkatan madrasah, sebagai halnya buku-buku pengetahuan umum yang belaku di sekolah-sekolah umum. Bahkan kemudian timbullah madrasah-madrasah yang mengikuti sistem perjenjangan dalam bentuk sekolah-sekolah modern, seperti Madrasah Ibtidaiyah untuk tingkat dasar, Madrasah Tsanawiyah untuk tingkat menengah pertama, dan adapula Kuliah Muallimin (pendidikan guru) yang disebut normal Islam.[12]
Melalui Kementerian Agama, madrasah perlu menentukan kriteria madrasah. Kriteria yang ditetapkan oleh Menteri Agama untuk madrasah-madrasah yang berada di dalam wewenangnya adalah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok, paling sedikit enam jam seminggu. Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan  bahwa pada dasarnya sistem pendidikan dan pengajaran di madrasah merupakan perpaduan antara sistem yang berlaku di pondok pesantren dengan sistem yang berlaku di sekolah-sekolah modern.
Perbedaan system belajar di madrasah dan sekolahan modern
1.      Pelajaran
Materi-materi pelajaran yang di sampaikan dalam pendidikan madrasah adalah kombinasi antara pelajaran-pelajaran agama islam namun pendidikan agama lebih dominan, sedangkan untuk sekolah modern lebik bersifat ke pelajaran umum.
2.      Tempat tinggal
Dalam tempat tiggal ini maksudnya tempat tinggal siswa atau pelajar, sekolah madrasah biasanya menyediakan Asrama yang ada biasanya di sediakan di sekitar madrasa, sedangkan untuk sekolah modern siswanya pulangke rumah masing-masing.
3.         Sumber dana
Sumber dana di sini maksudnya sumber dana yang membantu berdirinya madrasah itu sendiri, biasanya dana yang di dapat madrasah sangat terbatas biasanya dari Departemen Agama, sedangkan sekolahan umum tidak terbatas misalnya Pendidikan Nasional, sumbangan takterikat.
E.     Pembinaan dan Pengembangan Madrasah
Sejak timbulnya madrasah dan menjadikannya sebagai lembaga pendidikan yang mandiri, tanpa bimbingan dan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, madrasah dan pesantren mulai mendapatkan perhatian dan pembinaan dari pemerintah RI. UUD 1945 mengamanatkan, agar mengusahakan terbentuknya suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang bersifat nasional yang diatur undang-undang.[13]
Untuk melaksanakan amanat tersebut, BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) sebagai Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat pada masa itu, merumuskan pokok-pokok usaha pendidikan dan pengajaran yang terdiri dari 10 pasal. Pada pasal 5 (b) sebagaimana dikutip oleh Hasbullah, menetapkan bahwa “madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah suatu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat akar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaknya juga mendapat perhatian dan bantuan materil dari pemerintah.[14]
Dalam hal ini wewenang pembinaan dan pemberian bantuan dan tuntunan tersebut diserahkan kepada Kementerian Agama. Tujuan pembinaan dan bantuan adalah agar madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam berkembang secara terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional, sebagaimana yang dikehendaki oleh UUD 1945. Oleh karena itu pembinaan dan pengembangan madrasah tersebut dilaksanakan dengan penuh kebijaksanaan dan dilaksanakan secara bertahap.
Selanjutnya dalam rangka meningkatkan madrasah sesuai dengan sasaran BPKNIP agar madrasah dapat bantuan materil dan bimbingan dari pemerintah, maka kementerian agama mengeluarkan peraturan Menteri Agama No. I tahun 1952. Menurut ketentuan ini, yang dinamakan madrasah ialah “tempat pendidikan yang telah diatur sebagai sekolah dan memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajarannya”. ( Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia , 2001),
Dalam upaya pemerintah untuk menyediakan guru-guru agama untuk sekolah dan guru-guru umum serta lembaga pendidikan lainnya pada tahun 1951 Kementerian Agama mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan sekolah Guru dan Hakim Agama Islam (SGHAI) di beberapa tempat. Berdirinya kedua jenis sekolah guru tersebut banyak manfaatnya bagi perkembangan dan pembinaan madrasah, karena kedua jenis sekolah guru ini, memberikan kesempatan bagi para alumni madrasah dengan persyaratan tertentu untuk memasukinya. Hal tersebut telah mendorong penyelenggaraan madrasah untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan pemerintah.[15]
Kedua jenis sekolah guru itu, kemudian namanya diubah menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) dan SGHA (Sekolah Guru dan Hakim Agama). PGA menyediakan calon guru agama untuk sekolah dasar dan madrasah tingkat Ibtidaiyah, sedangkan SGHA menyediakan calon-calon guru agama untuk tingkat sekolah menengah baik sekolah agama maupun sekolah umum, dan hakim pada Pengadilan Agama. Pada tahun 1957 SGHA disebut sebagai PGA dan untuk keperluan tenaga pendidikan hakim agama didirikan PHIN (Pendidikan Hakim Negeri). Pada masa itu banyak madrasah tingkat Tsanawiyah dan Aliyah berubah menjadi PGA. Dengan demikian, di samping PGA pertama (4 tahun), 9 buah PGA atas (2 tahun) dan 1 buah PHIN (3 tahun).[16]
Upaya pembinaan madrasah, menuju kesatuan sistem pendidikan nasional, semakin ditingkatkan. Usaha tersebut tidak hanya merupakan tugas dan wewenang Departemen Agama saja, tetapi merupakan tugas dan wewenang pemerintah secara keseluruhan bersama masyarakat. Pada tahun 1975, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Hal ini dilatar belakangi bahwa siswa-siswa madrasah sebagaimana halnya tiap-tiap warga negara Indonesia berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan pengajaran yang sama, sehingga lulusan madrasah, yang menghendaki melanjutkan atau pindah ke sekolah-sekolah umum dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Dalam rangka merealisasikan SKB 3 menteri tersebut, maka pada tahun 1976 Departemen Agama mengeluarkan kurikulum sebagai standar untuk dijadikan acuan oleh madrasah, baik untuk MI, MTs, maupun Madrasah Aliyah. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa pembinaan dan pengembangan madrasah tetap dilaksanakan semenjak munculnya istilah madrasah sampai lahirnya SKB 3 Menteri, di mana madrasah dipersamakan dengan sekolah umum, yang dalam hal ini adalah sekolah negeri umum yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sederajat. Dan demikian jelasnya bahwa pemerintah tetap memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan madrasah di Indonesia.
F.     Mengapa saat ini madrasah kurang di minati dari pada sekolah umum.
Setelah banyak membahas pengertian, perkembanggan madrasah dari masa ke masa maka sekarang timbul pertanyaan kenapa pendidikan di madrasah kurang di minati oleh masyarakan dan pelajar untuk menuntut ilmu, bahkan di pelosok desa sudah banyak madrasah yang tutup karena tidak adanya siswa yang mau belajar di madrasah tersebut dan memilih untuk belajar di sekolah-sekolah unum, baik negri maupun suasta.
Padahal sekolah madrasah, pondok pesantren sangat di butuhkan keberadaanya untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama yang sanggat di butuhkan dalam kehidupan di masa ini, untuk memberikan pendidikan moral kepada calon-calon pemimpin bangsa, seandainya tidak ada lagi sekolah-sekolah yang mengajarkan pendidikan islam sudah jelas bisa di pastikan kehancuran bangsa ini sudah dekat kengapa, karena pemimpin-pemimpin bangsa pasti tidak mengetahui ilmu-ilmu agama sehingga perbuatanya akan semakin bebas sesuai keniginanya.
Mengapa sekolah-sekolah umum lebih di minati dari pada madrasah hal tersebut bisa di lihat dari beberapa poin derikut:
1.      Fasilitas yang di berikan.
Fasilitas yang di berikan pun sanggat jauh berbeda antara sekolah umun dengan madrasah, pada umumnya sekolah umun lebih menyiapkan fasilitas yang lebih lengkap dari pada madrasah, sehingga kebutuhan siswapun bisa terpenuhi sesuai kebutuhanya masing-masing siswa.
2.      Pelajaran (pendidikan)
Dalam sistem belajarnya pun madrasah bersifat pengkombinasian antara pelajaran umum dan pelajaran yang berbasis Agama, namun  pelajaran-pelajaran yang bersifat keagaman lebih menonjol dari pada pelajaran yang bersifat umum, sehingga muncul anggapan bahwasanya belajar di madrasah susah untuk mendapatkan suatu pekerjaan sedagkan sekolah umum sebaliknya.
3.      Cara belajar.
Cara belajarnya pun berbeda cara belajar di madrasah lebih bersifat di paksa misalnya siswa-siswa di madrasah di tuntut untuk menghafal ayat-ayat al-Quran, hadis, bahasa Arab, namun jika di sekolah umum lebih bebas maka dari itu sekolah umum lebih di minati.
II.  Kesimpulan
Madrasah adalah salah satu lembaga pendidikan yang mampu menkombinasikan pendidikan yang bersifat keislaman dan yang bersifat umum. Madrasah sudah ada sejak abad ke-5 namun madrasah boleh dikatakan sebagai fenomena baru dari lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia, yang kehadirannya sekitar permulaan abad ke-20.
Seiring perkembangannya madrasah semakin maju dan tinggat pendidikannya seperti sekolah modern, adapun tingkat-tingkatanya yang sering di sebut adalah madrasah ibtidaiyah, madrasah tsamawiyah, dan madrasah aliyah, hal ini di bentuk agar mudahnya untuk mendidik para pelajarnya.
Adapun tujuan madrasah yaitu mengajar dan memberikan pendidikan tentang agama islam, menyebarkan agama islam, menyelamatkan manusia dari hal-hal yang bisa menjerumuskan manusia ke dalam api meraka dll.
Mengingat pentingnya belajar di madrasah maka kita sebagai mahasiswa fakultas Dakwah maka kita harus bisa memberikan pengertian kepada Orang tua untuk memilih sekolah yang mampu menggali, mengembangkan, dan mengoptimalkan seluruh potensi (kecerdasan majemuk) untuk siswanya. Di era kompetisi yang kompleks, anak-anak butuh pengembangan seluruh potensinya, sehingga mampu mencapai prestasi akademik, personal, dan mental secara optimal, bukan hanya pintar secara akademis.
Pendidikan agama hendaknya jadi pertimbangan utama. Pendidikan agama menjadi kunci terutama dalam membentuk karakter dan perilaku siswa, menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai, tugas, peran dan tanggung jawabnya sebagai hamba Tuhan, anak, siswa, dan anggota masyarakat. Anak bisa menghargai orang lain dengan segala perbedaan, dan mampu memilih kegiatan yang bermanfaat untuk masa depannya.



III.   Daftar pustaka
Arifin,2000,  filsafat pendidikan islam, Jakarta; PT. Bumi Askara
Sekertariat Negara RI, UUD, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Garis-garis Besar Haluan Negara.
Uhbiyati, Nur Uhbiyati, 1998, Ilmu Pendidikan Islam, Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung ; Pustaka Setia
Yunus, Mahmud, 1996, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta; Hidakarya Agung
Zuhairini, 1986, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta
M. Munir Mursi, al Tarbiyah al Islamiyyah : seperti yang dikutip oleh  Mahmud Arif dalam, Panorama Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta, Idea Press, 2009),
http://pendidikanadalahpilihan.blogspot.com/2011/04/pengertian-dan-sejarah-singkat-madrasah.html
IV.   Glosarium:
Counter juru hitung, bertentangan, membalas
Definitif adalah penngertian, penegasan yang sudah pasti.
Halaqah artinya lingkaran dan liqo` artinya pertemuan.
Imperialisme  sistem politik yg bertujuan menjajah negara lain untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yg lebih besar.
Madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran
Hegemoni adalah  pengaruh kepemimpinan, dominasi, kekuasaan, dsb suatu negara atas negara lain (atau negara bagian).
Supremasi adalah kekuasaan tertinggi (teratas).



[1]. Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 50
[2]. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VII; Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hal. 889
[3] .  Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hal 75

[4] . M. Munir Mursi, al Tarbiyah al Islamiyyah, hal 69
[5] .Ibid.  Maksum, hal 63
[6] . Ibid, hal 114-115
[7] . Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Endiklopedi Islam,hal 108
[8] . Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya,hal 130-131

[9] . Ibid hal : 130
[10] . Ibid hal: 130-131
[11] . Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung : Pustaka Setia, 1998) hal. 234-239

[12]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1996), hal. 102
[13]. Sekertariat Negara RI, UUD, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Garis-garis Besar Haluan Negara. hal. 7
[14]. Hasbullah, op.cit., hal. 175.
[15]. Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta, 1986), hal. 78.
[16]. Mahmud Yunus, op. cit., h. 393.