Selasa, 14 Juni 2011

ASPEK EPISTIMOLOGI DAKWAH



ASPEK EPISTIMOLOGI DAKWAH
a.       Pengertiandan  epistimologi
Secara etimologi istilah epistimologi berasal dari yunani yakni episteme dan logos. Episteme yang berarti pengetahuan atau kebenaran segagkan logos diartikan sebagai pikiran, kata, teori. Dalam kamus bahasa Indonesia epistimologi di artikan suatu cabang filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan.( filsaraf pengetahuan atau teori pengetahuan.
Secara terminology definisi epistimologi banyak diformulasikan oleh para ahli:
-          Sudarsomo menyebutkan epistimologi adalah suatu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan kebenarang pengetahuan ( uji validitas)
-          Gerald O`colling dan Edward G Farrugia mengatakan bahwa epistimologi adalah teori mengenai ilmu pengetahuan dan cabang filsafat yang menyelidiki pengetahuan manusia, hakikatnya, sumbernya, kriterianya, kemungkinan-kemungkinanya serta keterbatasan-keterbatasanya.
Epistimologi juga dapat di lihat dari beberapa pengertian:
  1. Secara umum epistimologi adalah cabang dari filsafat yang membicarakan tenteng hakekat ilmu.
  2. Secara kusus epistimologi adalam membahas tentang ilmu pengetahuan.
  3. Secara keilmuan epistimologi memiliki kedudukan yang sungguh jauh mendasar yakni menurut landasan dari cabang dalam filsafat( apa kajian ilmu itu, berapa jauh tingkat kebenaranya yang di ciptakan dll),
istilah lain yang memiliki kesamaan dengan epistimologi:
  1. Kriteriologi yaitu cabang filsafat yang membicarakan ukuran besar atau tudaknya pengetahuan.
  2. Kritik pengetahuan ilmu yang membahas tentang pengetahuan yang keritis.
  3. Gneosiologi yaitu cabag ilmu filsafat yang membahas tentang pengetahuan yang sifatnya illahiyah(gnosis) atau dengan kata lain gnosiologi(hubungan dengan tuhan yang maha Esa)
  4. Logika matrial yaitu pembahasan logis dari segi isinya sedangkan logika formal lebih menekankan dari segi bentuknya.
B. Objek kajian Epistimologi dalwah.
a. Objek formal ( Realisme) pandangnya alam mempunyai gambaran apa yang ada dalam alam nyata.
Menurut Rasjidi penganut agama perlu memelajari Realisme di karenakan:
-          Untuk menjelaskan kesulitan-kesulitan yeng terdapat dalam pikiran.
-          Untuk memberikan pertimbangan-pertimbangan yang positif.
  1. Ojek matrial (idialisme) beraggapan untuk mendapatkan kebenaran yang sesuaikenyataan adalah mustahil.
C. Konsep Epistimologi ilmu dakwah.
Untuk membanguan Epistimologi ilmu dakwah dapat dilakukan rancangan Muhammad Abid al- jabiri ada 3 metode untuk mendapat kan kebenaran:
  1. Epistimologi Bayani. Mempunyai arti penjelasan, pernyataan, ketetapan. Yang artinya bersumber dari nash, ijma, dan ijtihad. Epistimologi bayan merupakan filosofis atau struktur yang menetapkan teks ( wahyu) sebagai kebenaran mutlak.
  2. Epistimologi Irfani. Yang berarti al-ma1rifah, al-ilmi, al-hikmah.yang berpangkal pada Zauq, qaul, atau intuisi yang merupakan perluasan dari pandangan ilmunisasi yang berakar pada tradisai Hermes.
  3. Epistimologi burbani. Secara etimologi burbani adalah Argumentasi yang jelas. Sedangkan istilah bebarti aktivitas intelektual untuk mendapatkan suatu kebenaran proposisi.

Adapun urutan teoritiknya:
  1. Sumber ilmu dakwah, secara garis besar ( Al-Quran dan Al- Sunnah).
  2. metode dan prosedur ilmu dakwah(ijtibadiyah, istinbatiyah, qiyas dan abstraksi).
  3. Pendekatan ( Approach) ilmu dakwah yakin bahasa, filolofis, psikologi, sosiologi, antrogologi etik dll.
  4. Keranggak teoritik ilmu dakwah.
  5. Tipe Argumentasi ilmu dakwah.
  6. Tolak ukur valitnya ilmu dakwah.
  7. Sarana ilmu dakwah.
  8. Perinsip-perinsip ilmu dakwah.
  9. Ilmu-ilmu Bantu dalam ilmu dakwah.
  10. Alat dalam memperoleh ilmu dakwah
a.       Empirisme
Term empiris berasal dari Yunani, artinya pengalaman. Menurut aliran ini, manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indrawi. Pada dasarnya, empiris ini memiliki empat kelemahan, yaitu indra terbatas, indra dapat menipu, obyek dapat menipu, dan lemahnya indra dan obyek sekaligus.
b.      Rasionalisme 
Secara singkat, aliran ini mengatakan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal. Bagi aliran ini, kekeliruan pada   empirisme disebakan karena kelemahan alat indera tadi dapat dikoreksi jika akal digunakan.
c.       Positivisme 
Aliran ini berpendapat bahwa indera sangat penting dalam pengetahuan, akan tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan di perkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan diukur lewat eksperimen.
d.      Intuisionisme
Dengan menyadari keterbatasan indera, maka aliran ini mengembangkan satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia yaitu intuisi. Ini adalah evolusi yang sangat tinggi, pengembangan kemampuan ini memerlukan suatu usaha.
Adapun alat untuk memperoleh ilmu dakwah adalah indra, rasio, atau akal dan wahyu (al-Qur’an dan hadits).
Dengan demikian, maka jelas sekali bahwa ilmu dakwah sesungguhnya mempunyai struktur keilmuan yang jelas dan konkrit sebagaimana halnya ilmu-ilmu lain
.           Khusus pada dataran irfani, episitimologi ini tidak begitu banyak berperan dalam ilmu dakwah karena lebih banyak berkutat pada tradisi metafisis murni sedangkan ilmu dakwah itu sebagian besar penampakan tradisi empiriknya. Oleh karena itu, khusus pada wilayah irfani, ilmu dakwah lebih dekat pada bentuk atau sisi pendekatan yang digunakan irfani, yakni psiko-gnosis, intuitif atau zauq (qalb) khususnya pada penelitian lapangan yang berkenaan dengan psikologi ummat, psiko-analisis misalnya.
Dengan demikian, maka berdasarkan sumber pengetahuan, jelas sekali imu dakwah lebih dekat dengan nuansa pengetahuan bayani dan burhani dalam aplikasi keilmuannya baik itu sebagai pure science (ilmu murni) maupun  applied science (ilmu terapan).

D. Strategi Dakwah dalam Tradisi Keilmuan : Pertautan Visi dan Aksi

Menurut Jurgen Habermas, dakwah merupakan media transformasi teori emansipatoris. Artinya, sejauh mana dakwah mampu membantu masyarakat untuk mencapai otonomi dan kedewasaan (mundigkeit) berpikir dan bertindak. Baginya, masyarakat yang reflektif (cerdas) adalah yang berhasil melakukan “komunikasi” yang baik dan memusatkan dengan sesama interaksinya.
Secara dekonstruksi-konstruktif dalam arkeologi pengetahuannya, Michael Foucault memberi pengertian hakikat dakwah sebagai pengetahuan pembicaraan tentang strategi. Strategi disini mempunyai pengertian bahwa dakwah itu tidak hanya dipahami sebagai transformasi nilai yang kadang terkesan sebagai pengandaian struktural atas-bawah (antara da’i dan yang didakwahi) saja dalam penyampaiannya, padahal pengandaian hubungan itu seharusnya fungsional.
Secara epistomologis, salah satu persoalan yang penting yang dihadapi dalam dakwah Islam adalah bagaimana syarat-syarat suatu metode yang paling tepat untuk melakukan pemaknaan terhadap al-Qur‘an  dan hadis, sebagai jiwa Islam dalam wacana kontemporer.
Salah satu syarat yang dimaksud dari pernyataan diatas adalah kondisi apa yang harus di bangun dan semestinya ada dalam perangkat dakwah, dan mengapa kondisi  tersebut mesti dibangun?
Pada dasarnya, kemandirian moralitas sebagai dimensi moral keagamaan adalah salah satu syarat yang dimaksud itu. Ia mempunyai peranan penting dalam aplikasi dakwah di masyarakat.

E. Al-Qur’an dan Sunnah sebagai Sumber Dakwah dan Ilmu Dakwah
Dari segi bahasa, terdapat berbagai pendapat para ahli mengenai pengertian al-Qur’an. Sebagian berpendapat, penulisan lafal al-Qur’an dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-qur’an:    )
Sebagaimana Al-Zajjaj, al-Lihyani berpendapat bahwa lafal al-Qur’an ditulis dengan huruf hamzah  ditengahnya berdasarkan pola kata ghufran dan merupakan pecahan (musytaq) dari akar kata qara-a yang bermakna tala. Lafal al-Qur’an digunakan untuk memahami sesuatu yang dibaca, yakni obyek dalam bentuk masdar.
Dari segi istilah, para ahli memberikan definisi al-Qur’an sebagai berikut :
Menurut Manna al-Qathan, al-Qur’an adalah kalammullah yang di turunkan kepada Muhammad SAW dan membacanya adalah ibadah. Dari segi isi al-Qur’an adalah kelammullah atau firman Allah. Dengan sifat ini, ucapan Rasulullah, malaikat, jin, dan sebagainya tidak dapat disebutkan al-Qur’an . Kalammullah mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang tak mungkin dapat ditandingi oleh perkataan lainnya.
Dari segi turunnya, al-Qur’an disampaikan melalui malaikat Jibril yang di terpercaya
(al-ruhul al-amin).
            Dari segi pembawanya, al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW bin Abdullah, seorang rasul yang dikenal bergelar al-Amin (terperceaya). Ini berarti bahwa wahyu Tuhan yang di sampaikan kepada nabi lainnya tidak dapat disebut al-Qur’an.
            Ia diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW kurang lebih selama 23 tahun dalam dua fase, yaitu 13 tahun pada fase sebelum beliau hijrah ke Madinah (Makkiyah) dan 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke Madaniyyah .
Diantara fungsi al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1.      Bukti kerasulan Muhammad dan kebenaran ajarannya.
2.      Petunjuk aqidah dan kepercyaan yang harus dianut oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Allah dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
3.      Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual dan kolektif.
4.      Petunjuk syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar