1. Definisi
Jinayat
Kata
“jinayat”, menurut bahasa Arab, adalah bentuk jamak dari kata “jinayah”, yang
berasal dari “jana dzanba, yajnihi jinayatan” (جَنَى الذَنْبَ – يَجْنِيْهِ
جِنَايَةً), yang berarti melakukan dosa.
Sekalipun
merupakan isim mashdar (kata dasar), tetapi kata “jinayat” dipakai dalam bentuk
jamak, karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa, karena ia kadang
mengenai jiwa dan anggota badan, secara disengaja ataupun tidak. Kata ini juga
berarti menganiaya badan, harta, atau kehormatan.
Adapun
menurut istilah syariat, jinayat (tindak pidana) artinya menganiaya badan
sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qisas, atau membayar diyat atau
kafarah.
2. Hukum
Pembunuh dan Penganiaya
Pembunuh dan
penganiaya badan manusia dihukumi sebagai orang fasik, karena melaksanakan satu
dosa besar. Hukumnya di akhirat dikembalikan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala hendak mengazabnya maka ia
akan diazab, dan bila Allah mengampuninya maka ia diampuni. Hal ini termasuk
dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّ اللّهَ
لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن
يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيم
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (Qs.
An-Nisa`: 48)
Ini bila ia
tidak bertobat sebelum meninggal dunia. Apabila ia telah bertobat, maka
tobatnya diterima, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
قُلْ يَا
عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعاً إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ
الرَّحِيمُ
“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa, semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Az-Zumar: 53)
Namun, di
akhirat, hak korban yang terbunuh (al-maqtul) tidak gugur darinya dengan
sekadar tobat. Akan tetapi, korban tersebut akan mengambil kebaikan dan pahala
pembunuh tersebut sesuai dengan ukuran kezalimannya, atau Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang memberikannya dari sisinya. Hak korban juga tidak gugur dengan
qisas, karena qisas adalah hak keluarga dan kerabat korban (auliya`
al-maqtul).
Syekh Ibnu
Utsaimin rahimahullah menyatakan, “Pembunuhan dengan sengaja,
berhubungan dengan tiga hak:
- Hak Allah, dan ini akan terhapus dengan tobat.
- Hak auliya` al-maqtul, dan ini gugur dengan menyerahkan diri kepada mereka.
- Hak al-maqtul (korban). Ini tidak gugur, karena korban telah mati dan hilang. Namun, apakah kebaikan pembunuh akan diambil (di akhirat) atau Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan keutamaan dan kemurahan-Nya akan menanggungnya? Yang benar adalah, Allah dengan keutamaannya akan bertanggung jawab, apabila si pembunuh tersebut jelas kebenaran dan kejujuran tobatnya.”
Pendapat ini
pun dikuatkan oleh Ibnu al-Qayyim dalam penuturan beliau, “Yang benar adalah,
bahwa pembunuhan berhubungan dengan tiga hak: hal Allah, hak korban
(al-maqtul), serta hak keluarga dan kerabat korban (auliya` al-maqtul).
Apabila
pembunuh telah menyerahkan diri dengan suka rela, dengan menyesalinya dan takut
kepada Allah, serta bertobat dengan tobat nashuha, maka hak Allah Subhanahu wa
Ta’ala gugur dengan tobat si pembunuh, dan hak auliya` al-maqtul gugur dengan
menunaikan qisas secara sempurna, dengan jalan perdamaian, atau dimaafkan.
Akan tetapi,
masih tersisa hak korban. Allah yang akan menggantinya di hari kiamat dari
hamba-Nya yang bertobat, dan Allah pun memperbaiki hubungan keduanya.
3.
Klasifikasi Jinayat (Tindak Pidana)
Jinayat
(tindak pidana) terhadap badan terbagi dalam dua jenis:
Jenis
pertama, jinayat terhadap jiwa (jinayat an-nafsi). Yaitu, jinayat yang
mengakibatkan hilangnya nyawa (pembunuhan). Pembunuhan jenis ini terbagi tiga:
Pertama, pembunuhan
dengan sengaja (al-‘amd), Yang dimaksud pembunuhan dengan sengaja ialah seorang
mukalaf secara sengaja (dan terencana) membunuh orang yang terlindungi darahnya
dengan cara dan alat yang biasanya dapat membunuh.
Kedua, pembunuhan
yang mirip dengan sengaja (syibhu al-’amdi). Ini tidak termasuk sengaja
dan tidak juga karena keliru (al-khatha’), tapi pertengahan di antara keduanya.
Seandainya
kita melihat kepada niat kesengajaan untuk membunuhnya, maka ia termasuk dalam
pembunuhan dengan sengaja. Namun, bila kita melihat jenis perbuatannya tersebut
yaitu tidak membunuh, maka kita memasukkannya ke dalam pembunuhan karena keliru
(al-khatha’). Oleh karenanya, para ulama memasukkannya ke dalam satu tingkatan
di antara keduanya, dan menamakannya syibhu al-‘amdi.
Adapun yang
dimaksud syibhu al-’amdi (pembunuhan yang mirip dengan sengaja) ialah seorang
mukalaf bermaksud membunuh orang yang terlindungi darahnya, dengan cara dan
alat yang biasanya tidak membunuh.
Ketiga, pembunuhan
karena keliru (al-khatha’), yaitu seorang mukalaf melakukan perbuatan yang
mubah baginya, seperti memanah binatang buruan atau semisalnya, namun ternyata
anak panahnya nyasar mengenai orang hingga meninggal dunia.
Ketiga jenis
ini didasarkan kepada penjelasan al-Quran dan as-sunnah. Dalam al-Quran
dijelaskan dua jenis pembunuhan, yaitu pembunuhan sengaja dan tidak sengaja
(keliru), seperti dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمَا كَانَ
لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِناً إِلاَّ خَطَئاً وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلاَّ
أَن يَصَّدَّقُواْ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مْؤْمِنٌ
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ
مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةً
فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللّهِ
وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً. وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً
فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ
وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً
“Dan
tidaklah layak bagi seorang mukmin untuk membunuh seorang mukmin (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barangsiapa membunuh seorang mumin
karena tersalah, (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari
kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh)
memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum
(kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah
si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh)
serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebagai cara tobat kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Mahabijaksana. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja,
maka balasannnya ialah Jahannam. Ia kekal di dalamnya. Allah pun murka
kepadanya, mengutuknya, serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Qs.
An-Nisa`: 92–93)
Sedangkan
satunya lagi, yaitu pembunuhan yang mirip dengan sengaja (syibhu al-’amdi),
dalil tentangnya diambil dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antaranya adalah hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
أَلاَ إِنَّ
دِيّةَ الْخَطَأِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَانَ بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا مِائَةٌ مِنَ
الإِبِلِ مِنْهَا أَرْبَعُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهَا أَوْلاَدُهَا
“Ketahuilah,
bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja yaitu yang dilakukan dengan
cambuk dan tongkat adalah seratus ekor unta. Di antaranya adalah empat puluh
ekor yang sedang hamil. “
Jenis kedua,
jinayat kepada badan selain jiwa (jinayat duna an-nafsi/al-athraf) adalah
penganiayaan yang tidak sampai menghilangkan nyawa. Jinayat seperti ini terbagi
juga menjadi tiga:
1. Luka-luka
الشُجَاجُ وَالْجَرَاحُ
2. Lenyapnya kegunaan anggota tubuh إِتْلاَفُ الْمَنَافِعِ
3. Hilangnya anggota tubuh إِتْلاَفُ الأَعْضَاءِ
2. Lenyapnya kegunaan anggota tubuh إِتْلاَفُ الْمَنَافِعِ
3. Hilangnya anggota tubuh إِتْلاَفُ الأَعْضَاءِ
Demikianlah
fikih jinayat yang mencakup kedua jenis jinayat ini. Dari sini, tampak jelas
sekali perhatian Islam terhadap keselamatan jiwa dan anggota tubuh seorang
muslim. Dengan dasar ini, jelaslah kesalahan orang yang dengan mudahnya
menumpahkan darah kaum muslimin.
Wabillahit taufiq.
Wabillahit taufiq.
sumber:http://ekonomisyariat.com/fikih-umum/fikih-jinayat-tindak-pidana.html