Segala puji
bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.
Permasalahan
ini selalu menjadi dilema selepas Ramadhan. Apalagi untuk para wanita yang
mengalami haidh saat Ramadhan sehingga mesti mengqodho’ puasa. Di bulan Syawal
pun kemungkinan ia bisa mendapati haidh kembali. Manakah yang mesti didahulukan
dalam hal ini, puasa sunnah ataukah qodho’ (utang) puasa? Lantas bagaimana jika
hanya sempat menjalankan puasa Syawal selama empat hari dan tidak sempurna
karena mesti mengqodho’ puasa lebih dulu? Simak pembahasan menarik berikut.
Perselisihan
Ulama[1]
Para fuqoha
berselisih pendapat dalam hukum melakukan puasa sunnah sebelum melunasi qodho’
puasa Ramadhan.
Para ulama
Hanafiyah membolehkan melakukan puasa sunnah sebelum qodho’ puasa Ramadhan.
Mereka sama sekali tidak mengatakannya makruh. Alasan mereka, qodho’
puasa tidak mesti dilakukan sesegera mungkin.
Ibnu ‘Abdin
mengatakan, “Seandainya wajib qodho’ puasa dilakukan sesegera mungkin (tanpa
boleh menunda-nunda), tentu akan makruh jika seseorang mendahulukan puasa
sunnah dari qodho’ puasa Ramadhan. Qodho’ puasa bisa saja diakhirkan selama
masih lapang waktunya.”
Para ulama
Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat tentang bolehnya namun disertai makruh
jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa. Karena jika
melakukan seperti ini berarti seseorang mengakhirkan yang wajib (demi
mengerjakan yang sunnah).
Ad Dasuqi
berkata, “Dimakruhkan jika seseorang mendahulukan puasa sunnah padahal masih
memiliki tanggungan puasa wajib seperti puasa nadzar, qodho’ puasa, dan puasa
kafaroh. Dikatakan makruh baik puasa sunnah yang dilakukan dari puasa
wajib adalah puasa yang tidak begitu dianjurkan atau puasa sunnah tersebut
adalah puasa yang amat ditekankan seperti puasa ‘Asyura’, puasa pada 9
Dzulhijjah. Demikian pendapat yang lebih kuat.”
Para ulama
Hanabilah menyatakan diharamkan mendahulukan puasa sunnah sebelum
mengqodho’ puasa Ramadhan. Mereka katakan bahwa tidak sah jika seseorang
melakukan puasa sunnah padahal masih memiliki utang puasa Ramadhan meskipun
waktu untuk mengqodho’ puasa tadi masih lapang. Sudah sepatutnya seseorang
mendahulukan yang wajib, yaitu dengan mendahulukan qodho’ puasa. Jika seseorang
memiliki kewajiban puasa nadzar, ia tetap melakukannya setelah menunaikan
kewajiban puasa Ramadhan (qodho’ puasa Ramadhan). Dalil dari mereka
adalah hadits Abu Hurairah,
من صام تطوّعاً وعليه من رمضان شيء لم
يقضه فإنّه لا يتقبّل منه حتّى يصومه
“Barangsiapa
yang melakukan puasa sunnah namun masih memiliki utang puasa Ramadhan,
maka puasa sunnah tersebut tidak akan diterima sampai ia menunaikan yang wajib.”
Catatan penting, hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).[2] Para ulama Hanabilah juga mengqiyaskan
(menganalogikan) dengan haji. Jika seseorang menghajikan orang lain (padahal ia
sendiri belum berhaji) atau ia melakukan haji yang sunnah sebelum haji yang
wajib, maka seperti ini tidak dibolehkan.
Merujuk
pada Dalil
Dalil yang
menunjukkan bahwa terlarang mendahulukan puasa sunnah dari puasa wajib adalah
hadits yang dho’if sebagaimana diterangkan di atas.
Dalam
mengqodho’ puasa Ramadhan, waktunya amat longgar, yaitu sampai Ramadhan
berikutnya. Allah Ta’ala sendiri memutlakkan qodho’ puasa dan tidak
memerintahkan sesegera mungkin sebagaimana dalam firman-Nya,
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari
yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185).
Begitu pula
dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha mengatakan,
كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ
رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ
“Aku
masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu mengqodho’nya kecuali
di bulan Sya’ban.” Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal
ini dilakukan ‘Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.[3]
Sebagaimana
pelajaran dari hadits ‘Aisyah yang di mana beliau baru mengqodho’ puasanya saat
di bulan Sya’ban, dari hadits tersebut Ibnu Hajar rahimahullah
mengatakan, “Tidak boleh mengakhirkan qodho’ puasa lewat dari Ramadhan
berikutnya.”[4]
Pendapat
Terkuat
Pendapat
terkuat dalam masalah ini adalah bolehnya melakukan puasa sunnah sebelum
menunaikan qodho’ puasa selama waktu mengqodho’ puasa masih longgar. Jika
waktunya begitu longgar untuk mengqodho’ puasa, maka sah-sah saja melakukan puasa sunnah
kala itu. Waktu qodho’ puasa amatlah lapang, yaitu sampai Ramadhan berikutnya.
Sebagaimana seseorang boleh saja melakukan shalat sunnah di saat shalat Zhuhur
waktunya masih lapang. Dari sini sah saja, jika seseorang masih utang puasa,
lantas ia lakukan puasa Senin Kamis.
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Inilah
pendapat terkuat dan lebih tepat (yaitu boleh melakukan puasa sunnah sebelum
qodho’ puasa selama waktunya masih lapang, pen). Jika seseorang melakukan
puasa sunnah sebelum qodho’ puasa, puasanya sah dan ia pun tidak berdosa.
Karena analogi (qiyas) dalam hal ini benar. Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Barangsiapa yang sakit atau dalam keadaan bersafar (lantas ia
tidak berpuasa), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185). Dalam
ayat ini dikatakan untuk mengqodho’ puasanya di hari lainnya dan tidak
disyaratkan oleh Allah Ta’ala untuk berturut-turut. Seandainya
disyaratkan berturut-turut, maka tentu qodho’ tersebut harus dilakukan sesegera
mungkin. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masalah mendahulukan puasa sunnah dari
qodho’ puasa ada kelapangan.”[5]
Masalah
Puasa Syawal
Ada yang
sedikit berbeda dengan puasa Syawal. Untuk meraih pahala puasa setahun penuh
disyaratkan untuk menyempurnakan puasa Ramadhan terlebih dahulu. Sebagaimana
disebutkan dalam hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ
أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa
yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia
berpuasa seperti setahun penuh.”[6]
Ibnu Rajab rahimahullah
mengatakan, “Barangsiapa mempunyai qodho’ puasa di bulan Ramadhan, lalu ia
malah mendahulukan menunaikan puasa sunnah enam hari Syawal, maka ia tidak
memperoleh pahala puasa setahun penuh. Karena keutamaan puasa Syawal (mendapat
pahala puasa setahun penuh) diperoleh jika seseorang mengerjakan puasa Ramadhan
diikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Dalam kondisi tadi, ia tidak
memperoleh pahala tersebut karena puasa Ramadhannya belum sempurna.”[7]
Ibnu Rajab rahimahullah
kembali menjelaskan, “Barangsiapa mendahulukan qodho’ puasa, setelah itu ia
melakukan puasa enam hari Syawal setelah ia menunaikan qodho’, maka itu
lebih baik. Dalam kondisi seperti ini berarti ia telah melakukan puasa
Ramadhan dengan sempurna, lalu ia lakukan puasa enam hari Syawal. Jika ia malah
mendahulukan puasa Syawal dari qodho’ puasa, ia tidak memperoleh keutamaan
puasa Syawal. Karena keutamaan puasa enam hari Syawal diperoleh jika puasa
Ramadhannya dilakukan sempurna.”[8]
Sebelumnya
Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan, “Bagi ulama yang menyatakan
bolehnya mendahulukan puasa sunnah dari qodho’ puasa, maka jika ia mendahulukan
puasa sunnah Syawal, ia tidak memperoleh keutamaannya (pahala puasa setahun
penuh). Yang bisa mendapatkannya adalah orang yang lebih dulu
menyempurnakan puasa Ramadhan lalu melaksanakan puasa enam hari di bulan
Syawal.”[9]
Kesimpulan, menurut pendapat yang lebih kuat
–sebagaimana dijelaskan di atas-, jika ia mendahulukan puasa enam hari di bulan
Syawal dari qodho’ puasa, maka puasanya tetap sah. Hanya saja pahala
puasa setahun penuh yang tidak ia peroleh karena puasa Ramadhannya belum
sempurna. Jadi lebih baik dahulukan qodho’ puasa daripada puasa sunnah enam
hari di bulan Syawal.
Kasus
Wanita Haidh
Bagaimana
kasus pada wanita muslimah yang sudah barang tentu mengalami haidh setiap
bulannya padahal masih punya utang puasa? Bisa jadi mereka hanya sempat
melakukan puasa Syawal tiga atau empat hari karena sebelumnya harus menjalankan
qodho’ puasa.
Ada
penjelasan yang amat bagus dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, beliau
menjelaskan, “Tidak disyari’atkan mengqodho’ puasa Syawal setelah Syawal[10] baik meninggalkannya karena udzur maupun
tidak. Karena puasa Syawal hanyalah puasa sunnah yang sudha terluput. Kami
katakan bagi yang sudah melakukan puasa Syawal selama empat hari dan belum
sempurna enam hari karena ada alasan syar’i, ‘Ketahuilah bahwa puasa Syawal
adalah ibadah yang sunnah, tidak wajib. Engkau akan mendapati pahala puasa
syawal empat hari yang telah engkau kerjakan. Dan diharapkan engkau akan
memperoleh pahala yang sempurna jika engkau meninggalkan puasa Syawal tadi
karena ada alasan yang dibenarkan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا مَرِضَ العَبْدُ أَوْ سَافَرَ
كَتَبَ اللهُ لَهُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْماً صَحِيْحاً
“Jika
seseorang sakit atau bersafar, maka akan dicatat baginya pahala seperti saat ia
mukim (tidak bepergian) dan sehat.” (HR. Bukhari dalam kitab shahihnya).
Jadi, engkau tidak memiliki kewajiban qodho’ sama sekali (setelah
Syawal)’.”[11]
Dari
penjelasan Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berarti seorang wanita yang
masih punya utang puasa tidak perlu khawatir jika ia luput dari puasa Syawal.
Jika memang ia luput karena ada udzur, maka lakukanlah semampunya walaupun
sehari atau dua hari. Jika kondisinya memang karena ada udzur untuk menunaikan
qodho’ puasa, moga-moga ia dicatat pahala yang sempurna karena puasa Syawal
yang luput dari dirinya. Jadi tetaplah dahulukan qodho’ puasa, itulah yang
lebih utama.
Semoga
sajian singkat ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat.
Diselesaikan
di saat kumandang adzan ‘Ashar, 3 Syawal 1431 H (12/09/2010) di Panggang,
Gunung Kidul
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
dikutip dari (http://www.salaf.web.id/707/konsultasi-ramadhan-menunda-pembayaran-hutang-puasa-asy-syaikh-muhammad-bin-shalih-al.htm)
[1] Lihat pembahasan ini di Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/9997-9998, index “Shoum At Tathowwu’”, point 23.
[2] HR. Ahmad 3/352. Hadits ini diriwayatkan oleh
Ibnu Lahi’ah dan dinilai dho’if, dan di dalamnya ada perowi yang matruk (Lihat
Al Mughni, Ibnu Qudamah, Darul Fikr, 3/86). Syaikh Al Albani dalam
Silsilah Adh Dho’ifah wal Mawdhu’ah (2/235) mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
Begitu pula hadits ini didho’ifkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam takhrij
Musnad Imam Ahmad (3/352).
[3] HR. Bukhari no. 1950 dan Muslim no. 1146.
[4] Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu
Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 4/191.
[5] Syarhul Mumthi’, Syaikh Muhammad bin Sholih
Al ‘Utsaimin, 6/448. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 23429 pada link
http://islamqa.com/ar/ref/23429.
[6] HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al
Anshori.
[7] Lathoif Al Ma’arif, Ahmad bin Rajab Al
Hambali, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1428 H, hal. 392.
[8] Idem.
[9] Idem.
[10] Sebagian ulama (seperti Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah) menganjurkan mengqodho’
puasa Syawal di bulan Dzulqo’dah. Al Bahuti, penulis Kasyaful Qona’ (kitab fiqh
Hambali) berkata, “Keutamaan puasa enam hari Syawal tidaklah diperoleh jika
puasa tersebut dilakukan selain di bulan Syawal. Demikianlah yang dipahami dari
tekstual hadits.” (Kasyaful Qona’ ‘an Matn Al Iqna’, Manshur bin Yunus bin
Idris Al Bahuti, Mawqi’ Al Islam, 6/132)
[11] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/389,395. Dinukil
dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 23429 pada link http://islamqa.com/ar/ref/23429.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar