Istilah dakwah bil qolam mungkin tidak sepopuler dengan istilah dakwahbi lisan. Padahal keduanya mempunyai esensi yang sama, yaitu menyeru
(berdakwah) umat manusia menuju kebaikan.
Secara istilah, dakwah bil qolam berasal dari dua suku kata, dakwah,
artinya ajakan dan qolam, artinya pena atau tulisan. Kata dakwah itu
sendiri berasal dari da’a - yad’u - da’watan, artinya seruan, ajakan
atau panggilan. Secara terminoligis dakwah adalah menyampaikan seruan
Islam, mengajak dan memanggil umat manusia agar menerima dan mempercayai
keyakinan dan pandangan hidup Islam. Sebagaimana firman Allah swt :
“serulah (manusia) kepada jalan tuhanmu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat
dari jalan-nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk (qs. An-nahl : 125).
Adapun kata qolam merujuk kepada firman Allah swt surat al-qolam
ayat 1 : “nun, perhatikanlah al-qolam dan apa yang dituliskanny.”. Qolam
dalam ayat tersebut diterjemahkan sebagai pena (sebuah alat untuk menulis).
Jadi, dakwah bil qolam maksudnya dakwah dengan menggunakan pena, atau
tulisan melalui buku, artikel, buletin dan sebagainya. Karena melalui tulisan, dakwah
bil qolam ini sering diidentikan dengan dakwah bil kitabah (dakwah
melalui tulisan). Perbedaannya untuk yang pertama menunjukan subjek, senjata,
atau alat. Adapun yang kedua menunjukan kepada objek, hasil atau produk
gagasan.
Peran Strategis Media Informasi
Di era informasi seperti sekarang ini, media massa baik cetak maupun
elektronik (internet) mempunyai kedudukan yang sangat penting. Selain sebagai
media informasi yang menyuguhkan berbagai informasi dan berita-berita aktual,
kehadirannya juga merupakan alat yang strategis untuk membentuk opini publik (public
opinion) yang mempengaruhi dan mengendalikan pikiran, sikap dan perilaku
manusia. Karena hampir ratusan atau bahkan ribuan orang setiap harinya
berinteraksi dengan media massa.
Karena begitu strategisnya, media massa dijadikan sebagai sumber baru
kekuasaan karena informasi di tangan banyak orang (the new source of power
is information in the hand of many), dan siapa yang menguasai media massa,
dialah pengendali dan penguasa dunia. Jalan pikiran dan sikap warga dunia bisa
dikendalikannya melalui pembentukan opini publik.
Dalam kenyataan sekarang, arus informasi dunia dikuasai dan dikendalikan
oleh the order (orang di luar Islam) yang memandang Islam sebagai musuh
besar yang harus dilawan dan dihancurkan. Mereka melakukan “penjajahan”
informasi melalui perang pemikiran dan budaya (ghazwul fikri dan tsaqofi),
yakni mensosialisasikan nilai-nilai, pemikiran, dan budaya mereka ke dunia
Islam, agar pola pikir dan gaya hidup umat Islam cenderung lebih berkiblat ke
barat daripada taat pada aturan Islam. Hasilnya, paham-paham seperti
materialisme, sekularisme, dan hedonisme telah banyak merasuki pola pikir dan
tatanan kehidupan umat Islam saat ini.
Di satu pihak, umat Islam tidak memiliki ghiroh (semangat) untuk
menjadikan media massa sebagai sarana strategis dalam memperjuangkan dan
menegakkan nilai-nilai Islam. Akibatnya, umat Islam hanya menjadi konsumen dan
rebutan media massa lain yang tak jarang membawa informasi yang menyesatkan.
Realitas mengatakan, dari sekian banyak ulama Islam, sedikit sekali yang
bergelut dalam dunia dakwah bil qolam. Kebanyakan dari mereka piawai
melakukan dakwah dengan cara yang bilisan seperti,ceramah,
tabligh, dan khutbah. Namun, tidak piawai menuangkannya dalam sebuah bentuk
tulisan terlebih lagi berusaha untuk mempublikasikannya dalam media
massa.
Padahal, kalau melihat sejarah peradaban Islam, banyak ulama salaf yang
mengabadikan dan menyebarluaskan pandangan-pandangan keIslamannya melalui
tulisan (dakwah bil qolam). Mereka telah melahirkan sejumlah “kitab
kuning” yang sampai saat ini masih digunakan sebagai buku teks kaum santri di
pondok pesantren.
Sebagaimana kita ketahui, kemampuan menulis menjadikan seorang imam
as-syafi’i bisa mewariskan ilmunya melalui kitab al-um, imam al-asqolani
dengan kitabnya al-itqon, imam al-zamakhsary dengan kitab tafsir al-kasysyafnya,
begitu juga dengan imam al-ghazali dengan kitabnya ihya ulumuddin, dan
masih banyak lagi.
Dari kalangan ulama kontemporer, sebut saja misalnya yusuf qardhawi,
muhammad abduh, jamaludin al-afgani. Mereka telah menggelorakan semangat
pembaharuan dan kebangkitan Islam melalui dakwah bil qolam. Mereka
mengetahui dan menyadari bahwa dakwah bil qolam merupakan sunnah yang
harus diikuti dan dilestarikan. Sebagaimana dicontohkan oleh nabi
muhammad saw ketika beliau menulis surat yang berisi ajakan masuk Islam kepada
kaisar persia.
Karena perannya sangat penting dan strategis, dakwah bil qolam
semestinya menjadi perhatian serius umat Islam saat ini. Para ulama, muballig,
ustad harus mampu menuangkan pandangan-pandangan keIslamannya dalam bentuk
tulisan, baik dalam buku, koran atau media internet. Hal ini bisa dilakukan
tanpa meninggalkan dakwah melalui format lama seperti khutbah, tabligh, ceramah
dan dakwah bil hal.
Dakwah melalui tulisan mempunyai keunggulan dibandingkan dakwah dengan
bentuk lain. Sebagai ilustrasi, ketika seorang muballig mengadakan pengajian di
lapangan terbuka, maka yang dapat mendengarkan “hanya” sekitar 10 ribu orang.
Tetapi, jika materi ceramahnya itu ditungankan dalam bentuk tulisan yang
dipublikasin dalam media massa, maka materi tersebut dapat dibaca oleh seluruh
umat yang ada di pelosok negeri ini, yang jumlahnya berlipat-lipat dari yang
hadir di lapangan tadi.
Keunggulan lainnya, sebuah tulisan tidak akan punah dan lekang dari laju
zaman dan waktu. Bahkan dengan tulisan, seseorang akan dikenang jasanya,
diamalkan filsafahnya, yang semua itu akan menjadi amal jariah yang tidak
pahalanya akan terus mengalir meskipun penulisnya sudah meninggal dunia.
Bagaimana memulai dakwah dengan cara tulisan?
Memulai kegiatan dakwah dengan tulisan, adalah dengan cara memulai menulis
materi dakwah dalam bentuk naskah. Naskah adalah produk dari kegiatan menulis.
Kegiatan menulis itu sendiri, biasanya diawali karena adanya ide atau pikiran.
Suatu ide atau pikiran akan muncul karena adanya kegiatan membaca. ”Membaca”
dalam arti luas tentunya, bukan ”membaca” teks saja, tetapi ”membaca”
(mengamati) lingkungan sekitar.
Membaca dan menulis adalah kegiatan yang saling mendukung satu sama
lainnya, ibarat dua sisi keping mata uang logam. Sehingga, untuk dapat
menumbuhkan hasrat untuk menulis, harus diawali dengan menumbuhkan semangat
membaca. Karena, tanpa adanya kegiatan membaca, ide atau pikiran yang akan
dituangkan dalam tulisan pun tidak akan muncul.
Berikut ini adalah tips menumbuhkan semangat menulis materi dakwah yang
bersumber dari berbagai tulisan.
Pertama, tulis apa yang kita ingat, baik yang pernah kita sampaikan dalam ceramah,
ataupun yang kita ingat dari apa yang pernah kita baca. Jangan takut salah
menulis. Bermutu ataupun tidak hasil tulisan tersebut, yang penting ”menulis”
dulu, makin sering menulis, Insya Allah, tulisan kita akan berkembang menuju
perubahan yang lebih baik. Karena, banyak para penulis besar yang lahir
dari pengalaman menulis secara otodidak bukan dari belajar ”ilmu menulis”.
Kedua, tulislah materi dakwah dengan gaya bahasa yang kita miliki. Kalau
kebetulan kita seorang penyuluh agama atau muballigh yang sering berceramah
dengan sedikit humor, maka tulislah materi ceramah tersebut sesuai gaya ceramah
kita. Inilah yang dalam bahasa penulisan, diistilahkan dengan gaya penyampaian.
Gaya penyampaian ini, antara penulis yang satu dengan yang lainnya tidak sama,
karena tidak ada satu pun gaya penyampaian yang baku.
Ketiga, sebarkan tulisan kita kepada orang-orang dekat dan dalam bentuk
naskah yang paling sederhana terlebih dahulu. Seperti, naskah teks khutbah atau
buletin dakwah sederhana yang di fotocopy dan disebarkan secara terbatas. Insya
Allah, dibaca atau tidak naskah tersebut oleh orang yang kita beri, kita telah
mendapat poin lebih (pahala) atas usaha dakwah yang kita lakukan. Lambat laun, usaha kita tentu saja akan berhasil,
dengan syarat tetap istiqomah.
Sebagai penutup dari tulisan ini, marilah kita memulai menumbuhkan semangat
dakwah bil qolam dalam diri kita masing-masing, terlebih lagi bagi
seorang Penyuluh Agama Islam. Begitu strategisnya peran media massa, harus kita
jadikan motivasi untuk siap menuangkan materi dakwah kita dalam bentuk tulisan,
agar umat Islam, tidak selamanya menjadi konsumen, tetapi harus menjadi
produsen media informasi. Wallahu a’lam. http://asepnurdin-bahagia.blogspot.com/2009/12/artikel-menumbuhkan-semangat-dakwah-bil.html
Islam
sebagai al-Din Allah merupakan Manhaj al-Bayan atau Way of
Life, acuan dan kerangka tata nilai kehidupan. Oleh karena itu ketika
komunitas muslim berfungsi sebagai sebuah komunitas yang ditegakkan di atas
sendi-sendi ,moral Iman, Islam dan Taqawa dapat direalisasikan secara utuh dan
padu karena dia merupakan suatu komunitas yang tidak esklusif karena bertindak
sebagai” al-Umma al-Wasalam”, yaitu sebagai teladan ti tengah arus
kehidupan yang serba kompleks, penuh dengan dinamika perubahan, tantangan dan
pilihan-pilihan yang terkadang sangat dilematis.
Masuknya berbagai ajaran atau pemahaman yang tidak relevan dengan nilai-nilai
agama, yang cenderung membuat agama menjadi tidak berdaya dan yang lebih lagi
ketika agama tidak lagi dijadikan sebagai pedoman hidup dalam berbagai bidang.
Tentu saja keadaan seperti ini dapat berpengaruh apabila pemeluk agama gagal
untuk memberikan suatu peradaban alternatif yang benar dan dituntut oleh setiap
perubahan sosial yang terjadi.
Melihat penomena di atas sudah barang tentu kita khususnya umat Islam dilanda
keperhatian yang dapat merusak moral keimanan sehingga mau tidak mau harus
dicari solusi yang terbaik yang dikehendaki oleh Islam yaitu melaksanakan
dakwah secara efektif dan efisien serta berkesinambungan. Karena Islam adalah
agama dakwah yang selalu mendorong umatnya untuk senantiasa aktif melakukan
kegiatan dakwah. Maka maju mundurnya umat Islam sangat tergantung dan berkaitan
erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukannya. Dakwah Islam adalah tugas yang
suci yang dibebankan kepada setiap Muslim dimana saja ia berada, sebagaimana
dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunah.
Oleh karena itu agar dakwah dapat mencapai sasaran
strategi jangka panjang, tentunya diperlukan suatu sistem manajerial komunikasi
baik dalam penataan perkataan maupun perbuatan yang dalam banyak hal sangat
relevan dengan nilai-nilai keislaman, dengan kondisi yang seperti itu maka para
Da’i harus mempunyai pemahaman yang mendalam bukan hanya menganggap bahwa
dakwah dalam frame “ Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, yakni hanya sekedar
menyampaikan saja melainkan harus memenuhi beberapa persyaratan.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Metode
Kata
metode berasal dari bahasa Yunani” Methodos” yang berarti cara atau
jalan. Sedangkan dalam Bahasa Indonesia kata metode mengandung arti” Cara
yang teratur dan berpikir secara baik-baik untuk mencapai maksud dalam
ilmu pengetahuan”. Dalam hal ini Hendry Van Lear menjelaskan bahawa metode
secara etimologi adalah jalan atau cara untuk melakukan atau membuat sesuatu
dengan sistem dan melalui prosedur untuk memperoleh atau mencapai tujuan
yang dimaksud. Jadi metode adalah salah satu sarana atau media yang sangat
penting untuk menyembatani antara pemikiran yang dimiliki oleh subjek untuk
diberikan kepada objek dalam upaya mencapai tujuan yang telah dtetapkan. Dalam
ilmu komunikasi metode dakwah disebut dengan “ The Methode in Message”.
Sehingga kejelian dan kebijaksanaan juru dakwah dalam memilih dan memakai
metode dakwah sangat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan dalam menerapkan
ajaran Islam dalam masyarakat. Dalam menyampaikan pesan dakwah, metode
sangatlah penting peranannnya. Fikhr al-Din al-Razi (544-606) dalam tafsirannya
menyebutkan bahwa QS. An-Nahl 125 menjelaskan perintah Allah SWT kepada
Nabi Muhamad SAW untuk menyeruh manusia kepada Islam dengan salah satu
dari tiga cara yakni dengan Hikmah, Mauu’ Izhah al-Hasanah, dan Mujaddalah bil
al-Thariq al-Hasan. Ketiga metode itu disesuaikan dengan kemampuan intelektual
masyarakat yang dihadapi, akan tetapi secara prinsip semua metode dapat digunakan
kepada semua masyarakat. Berikut ini pembahasan tentang metode dakwah bil
Hikmah dan bil Hall:
Metode Dakwah Bil Hikmah
A. Pengertian Metode Dakwah Bil
Hikmah
Hikmah
secara Bahasa berasal dari dari Bahasa Arab yakni ,
,
,
( H, K, M) jama’nya yakni Hikmah yakni ungkapan yang mengandung
kebenaran dan mendalam. Mana dalam bahasa Indonesia diartikan dengan kata
bijaksana, sedangkan kata bijaksana dalam bahasa Indonesia mengandung arti:
-Memperbaiki
(membuat lebih baik) dan terhindar dari kerusakan
-Pandai dan
kuat ingatannya
-Selalu
mempuanyai akal budi (pengalaman dan pengetahuan) arif dan tajam pikirannya.
Muhamad Abduh berpendapat bahwa
hikmah adalah pengetahuan rahasia dan faedah dalam tiap-tiap hal. Orang yang
memiliki hikmah disebut al-Hakim.
Hikmah menurut Prof. DR. Toha Yahya
Umar, MA adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan berpikir, berusaha,
menyusun, dan mengatur dengan cara yang sesuai dengan keadaan zaman dengan
tidak bertentangan dengan larangan agama.
Sedangkan menurut Imam Abdullah bin
Ahmad Mahmud an-Nasafi, hikmah adalah:
Artinya: Dakwah bil Hikmah adalah
dakwah yang menggunakan perkataan yang benar, dan pasti yaitu dall yang
menjelaska kebenaran dan menghilangkan keraguan.
Menurut Syekh Zamakhsyari dalam
kitabnya” al-Kasyaf” al-Hikmah adalah perkataan yang pasti dan benar.
Hikmah adalah dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghilangkan keraguan atau
kesamaran. Selanjutnya Zamarksyari mengatakan hikmah juga diartikan sebagai
al-Qur’an yakni ajaklah mereka (manusia) mengikuti kitab yang
memuat hikmah.
Dari beberapa pengertian diatas
dapat dipahami bahwa al-Hikmah adalah merupakan kemampuan dan ketepatan da’i
dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengna kondisi objektif
mad’u. Oleh karena itu, al-Hikmah sebagai sebuah sistem yang menyatukan antara
kemampuan teiritis dan praktis dalam berdakwah.
Kata hikmah dengan segala bentuknya
dalam al-Qur’an berjumlah 208 kali tersebar dalam beberapa surat. Kata hikmah
dalam bentuk Shighat Masdar dijumpai sebanyak 20 kali dan tersebar dalam
beberapa ayat dan surat. Kata hikmah ini dalam pemakaiannya sering digandengkan
dengan kata kitab Injil, Taurat, sehingga dapat dipahami bahwa kata hikmah itu
sebanding dengan Kitab Injil, Taurat atau suatu pelajaran yang datang dari
Allah SWT. Sebagaiman firman Allah SWT dalam SQ al-Nahl ayat 125:
Artinya:. Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Beberapa Ulama berbeda penafsiran
mengenai kata hikmah yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Diantara mereka
ada yang menafsirkan hikmah sebagai kenabian dan ada pula al-Qur’an serta
adanya pemahaman terhadapnya.
Macam-macam Hikmah
Hikmah
terbagi kepada dua macam yakni:
a.Hikmah Teoritis
Yakni mengamati ini suatu perkara
dan mengetahui adanya hubungan
sebab akibatnya secara moral, perintah, takdir dan syara’. Hikmah teoritis ini
merujuk kepada ilmu pengetahuan. Sedangkan hikmah praktis merujuk kepada
perbuatan yang adil dan perbuatan yang benar. Allah SWT telah memberikan dua
jenis hikmah ini kepada para Nabi-Nya dan para Rasul-Nya dan kepada hamba-hamba
yang shaleh yang dikehendaki-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: "Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku Hikmah dan masukkanlah
aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh. (QS. As-Syuaraa’:83)
b.Hikmah
Praktis
Yakni memiliki sesuatu pada tempatnya. Hikmah ini terbagi kepada tiga macam
yakni:
- Memiliki mata hati yang antara
lain meliputi kekuatan persepsi, intelegensi, ilmu dan kearifan.
- Mengetahui keadilan ancaman
Allah SWT, kepastian janji-janji-Nya serta keadilan hukum-hukum yang bersifat
syar’i dan hukum yang berlaku kepada seluruh makhluk-Nya.
- Memberi hak kepada sesuatu dalam
arti: jangan melampaui batas, buru-buru dan menunda waktu. Hikamh sangat
memperhatiakan ke tiga petunjuk diatas yakni dengan cara memberikan hak kepada
setiap perkara, yakni hak dari Allah SWT dengan syari’at dan takdir-Nya. Jika
melampaui batas, menunda-nunda batas waktu berarti kita menyalahi dan melanggar
hikmah. Inilah yang disebut dengan ketetapan umum tentang hokum sebab akibat
yang berdasarkan kepada syari’at dan takdir.
Dakwah Bil Hikmah
Dakwah
bil Hikmah mempunyai posisi yang sangat penting yaitu dapat menentukan sukses
atau tidaknya dakwah tersebut. Hikmah adalah bekal seorang Da’i munuju
kesuksesan. Tidak semua orang mampu meraih hikmah, sebab Allah SWT hanya
memberikannya kepada orang yang layak
mendapatkannya. Barang siapa yang mendapatkannya maka dia telah
memperoleh karunia yang besar dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah
SWT:
Artinya: Allah menganugerahkan Al Hikmah (kefahaman yang dalam
tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan
Barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia
yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.(QS.
Al-Baqarah: 269)
Ayat tersebut mengisyaratkan betapa
pentingnya menjadikan hikmah sebagai sifat dan bagian yang menyatu dalam metode
dakwah dan betapa perlunya dakwah, mengikuti langkah-langkah yang mengandung
hikmah. Ayat tersebut seolah-olah menunjukkan metode dakwah praktis kepada juru
dakwah yang mengandung arti mengajak manusia kepada jalan yang benar dan
mengajak manusia untuk menerima dan mengikuti petunjuk agama dan aqidah yang
benar.
Hikmah dalam pandangan ilmuan bila dikaitkan dengan tafsiran surat an-Nahl
ayat 125 sebagai kerangka dasar metode dakwah yang sangat banyak sekali
diantaranya:
a.Menurut al-Razi hikmah diartikan
sebagai dall-dalil yang pasti.
b.Menurut la-Thabari
diartikan sebagai wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhamad SAW.
c.Sedangkan
Syayyid Qutb (966H/1558M) mengemukakan bahwa dakwah bil hikmah adalah
memperhatikan keadaan serta tingkat kesadaran penerima dakwah, memperhatikan
kadar materi dakwah yang disampaikan kepada audiens, sehingga mereka tidak
dibebani dengan materi dakwah tersebut.
Jadi metode dakwah bil hikmah adalah
suatu cara yang digunakan dalam upaya membawa orang lain kepada ajaran islam
yakni dengan menggunakan argumentasi yang pasti, bahasa yang menyentuh hati
dengan pendekatan ilmu dan akal. Sehingga dakwah dengan metode ini dapat
diterima oleh para ilmuwan, cendikiawan dan intelektual. Hal ini sejalan dengan
pendapat yang dikemukakan oleh Abdul al-Wahab Kahili, bahwa metode dakwah bil
hikmah merupakan pengetahuan yang paling tinggi dan mengungkapkan bahwa metode
ini juga bersifat filosof yang dapat menundukkan akal dan tidak ada yang dapat
melebihi kedudukan terhadapnya.
Filsafat
adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep
dasar mcngenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai
suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu
secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan
segala hubungan.
Biografi Al-Kindi
Al-kindi yang dikenal
sebagai filosuf muslim keturunan Arab pertama, nama lengkapnya adalah Abu
Yusuf Yakub ibn al-Shabbah ibn Imran ibn Muhammad ibn al-Asy’as ibn Qais
al-Kindi. Ia populer dengan sebutan Al-Kindi, yaitu dinisbatkan kepada
Kindah, yakni suatu kabilah terkemuka pra-islam yang merupakan cabang dari Bani
Kahlan yang menetap di Yaman.[1]
Ia lahir di Kufah
sekitar 185 H (801 M- wafat: 873), dari keluarga kaya dan terhormatMemperhatikan tahun lahirnya, dapat
diketahui bahwa Al-Kindi hidup pada masa keemasan kekuasaan Bani ‘Abbas. Pada
masa kecilnya, Al-Kindi sempat merasakan masa pemerintahan khalifah Harun
Al-Rasyid yang terkenal sangat memperhatikan dan mendorong perkembangan ilmu
pengetahuan bagi kaum Muslim. Pada masa pemerintahannya, Baghdad menjadi pusat
perdagangan sekaligus pusat ilmu pengetahuan. A-Rasyid mendirikan semacam
akademi atau lembaga, tempat pertemuan para ilmuwan yang disebut Bayt
Al-Hikmah (balai ilmu pengetahuan).
Al-Rasyid wafat pada
tahun 193 H (809 M) ketika Al-Kindi masih berumur 9 tahun. Sepeninggal
Al-Rasyid, putranya, Al-Amin menggantikannya sebagai Khalifah, tetapi pada
masanya tidak tercatat ada usaha-usaha untuk mengembangkan lebih lanjut ilmu
pengetahuan yang telah dirintis dengan mengembangkan usaha susah payah ayahnya.
Al-Amin wafat pada tahun 198 H (813 M), kemudian digantikan oleh
saudaranya Al-Makmun. Pada masa pemerintahan Al-Makmun (198-228 H) perkembangan
ilmu pengetahuan amat pesat.
Fungsi Bayt Al-Hikmah lebih
ditingkatkan, sehingga pada masanya berhasil dipertemukan antara
ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu asing, khususnya dari Yunani. Pada masa
ini juga dilakukan penerjemahan besar-besaran kitab-kitab Yunani ke dalam
bahasa Arab, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslim
sangat pesat karena memperoleh kesempatan untuk mengembangkan diri. Dan pada
waktu inilah Al-Kindi muncul sebagai salah seorang tokoh yang mendapat kepercayaan
untuk menerjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab, bahkan ia memberi
komentar terhadap pikiran-pikiran pada filosof Yunani.[2]
Mustafa Abdurraziq juga
menjunjung al-kindi sebagai ahli falsafat islam yang pertama karena tiga hal:
Al-kindi mula-mula membagi
falsafat dalam 3 ilmu, yaitu ilmu ketuhanan, ilmu pasti, dan ilmu alam,
ketiga-tiganya adalah merupakan dasar falsafat islam.
Bahwa al-kindilah yang mula-mula
membuka jalan ke arah falsafat islam dengan mempertemukan dua pendapat
yang berbeda antara plato dan aristoteles, sehingga dengan demikian itu
bertemu pulalah agama dengan falsafat.
Bahwa al-kindi adalah seorang
arab islam yang mula-mula merintis membuka ilmu falsafat ini, sehingga
ilmu itu tersiar diantara orang arab dan dalam kalangan islam.[3]
Definisi filsafat al-kindi
Al-kindi menyajikan
banyak definisi filsafat tanpa menyatakan bahwa definisi mana yang menjadi
miliknya. Yang disajikan adalah definisi-definisi dari filsafat terdahulu, itu
pun tanpa menegaskan dari siapa diperolehnya. Mungkin dengan menyebut berbagai
macam definisi itu dimaksudkan bahwa pengertian yang sebenarnya tercakup dalam
semua definisi yang ada, tidak hanya pada salah satunya. Hal ini berarti bagi
al-kindi, bahwa untuk memperoleh pengertian lengkap tentang apa filsafat itu
harus memperhatikan semua unsur yang terdapat dalam semua definisi tentang
filsafat. Definisi-definisi al-kindi sebagai berikut.[4]
Filsafat
sendiri terdiri dari gabungan dua kata, philo, sahabat dan Sophia,
kebijaksanaan. Filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan. Definisi ini
berdasar atas etimologi yunani dari kata-kata itu.
Filsafat
adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat
dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Definisi ini merupakan definisi
fungsional, yaitu meninjau filsafat dari segi tingkah laku manusia.
Filsafat
adalah latihan untuk mati. Yang dimaksud dengan mati adalah bercerainya
jiwa dari badan. Atau mematikan hawa nafsu adalah mencapai keutamaan. Oleh
karenanya, banyak orang bijak terdahulu yang mengatakan bahwa kenikmatan
adalah suatu kejahatan. Definisi ini juga merupakan definisi fungsional,
yang bertitik tolak pada segi tingkah laku manusia pula.
Dari beberapa definisi
yang amat beragam diatas, tampaknya al-kindi menjatuhkan pilihannya pada
definisi terakhir dengan menambahkan suatu cita filsafat, yaitu sebagai upaya
mengamalkan nilai keutamaan. Menurut al-kindi, filosof adalah orang yang
berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengamalkan kebenaran yang diperolehnya
yaitu orang yang hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Dengan
demikian, filsafat yang sebenarnya bukan hanya pengetahuan tentang kebenaran,
tetapi di samping itu juga merupakan aktualisasi atau pengamalan dari kebenaran
itu. Filosof yang sejati adalah yang mampu memperoleh kebijaksanaan dan
mengamalkan kebijaksanaan itu. Hal yang disebut terakhir menunjukkan bahwa
konsep al-kindi tentang filsafat merupakan perpaduan antara konsep Socrates dan
aliran stoa. Tujuan terakhir adalah dalam hubungannya dengan moralita.[5]
Al-kindi menegaskan juga
bahwa filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat yang berupaya
mengetahui kebenaran yang pertama, kausa daripada semua kebenaran, yaitu filsafat pertama.
Filosof yang sempurna dan sejati adalah yang memiliki pengetahuan tentang yang
paling utama ini. Pengetahuan tentang kausa (‘illat) lebih utama dari
pengetahuan tentang akibat (ma’lul, effect). Orang akan mengetahui
tentang ralitas secara sempurna jika mengetahui pula yang menjadi kausanya.[6]
Epistemologi Al-Kindi
Al-kindi menyebutkan
adanya tiga macam pengetahuan manusia, yaitu: a). pengetahuan inderawi, b).
pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang disebut
pengetahuan rasional, dan c). pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan
yang disebut pengetahuan isyraqi dan iluminatif.
Pengetahuan
inderawi
Pengetahuan inderawi
terjadi secara langsung ketika orang mengamati terhadap obyek-obyek material,
kemudian dalam proses tanpa tenggang waktu dan tanpa berupaya berpindah ke
imajinasi (musyawwirah), diteruskan ke tempat penampungannya yang
disebut hafizhah (recollection). Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini
tidak tetap, karena obyek yang diamati pun tidak tetap, selalu dalam keadaan menjadi,
berubah setiap saat, bergerak, berlebih-berkurang kuantitasnya, dan
berubah-ubah pula kualitasnya.Pengetahuan inderawi ini tidak memberi gambaran tentang hakikat sesuatu
realitas. Pengetahuan inderawi selalu berwatak dan bersifat parsial (juz’iy).
Pengetahuan inderawi amat dekat kepada penginderaannya, tetapi amat jauh dari
pemberian gambaran tentang alam pada hakikatnya.[7]
Pengetahuan
rasional
Pengetahuan tentang
sesuatu yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal bersifat universal, tidak
parsial, dan bersifat immaterial. Obyek pengetahuan rasional bukan individu,
tetapi genus dan spesies. Orang mengamati manusia sebagai yang berbadan tegak
dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit putih atau berwarna, yang semua ini
akan menghasilkan pengetahuan inderawi. Tetapi orang yang mengamati manusia,
menyelidiki hakikatnya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa manusia ialah
makhluk berpikir (ratinal animal= hayawan nathiq), telah memperoleh
pengetahuan rasional yang abstrak universal, mencakup semua individu manusia.
Manusia yang telah ditajrid (dipisahkan) dari yang inderawi tidak
mempunyai gambar yang terlukis dalam perasaan.
Al-kindi memperingatkan
agar orang tidak mengacaukan metoda yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan,
karena setiap ilmu mempunyai metodanya sendiri yang sesuai dengan wataknya. Watak
ilmulah yang mennetukan metodanya. Adalah suatu kesalahan jika kita menggunakan
suatu metoda suatu ilmu untuk mendekati ilmu lain yang mempunyai metodanya
sendiri. Adalah suatu kesalahan jika kita menggunakan metoda ilmu alam untuk
matematika, atau menggunakan metoda ilmu alam untuk metafisika.
Pengetahuan
Isyraqi
Al-kindi mengatakan
bahwa pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki
tentang hakikat-hakikat. Pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tentang
genus dan spesies. Banyak filosof yang membatasi jalan memperoleh pengetahuan
pada dua macam jalan ini. Al-kindi, sebagaimana halnya banyak filosof isyraqi,
mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan isyraqi
(iluminasi), yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi.
Puncak dari jalan ini ialah yang diperoleh para Nabi untuk membawakan
ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umat manusia. Para Nabi memperoleh
pengetahuan yang berasal dari wahyu Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah,
tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas
kehendak Tuhan semata-mata. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya
pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.
Filsafat dan Agama Menurut Al-Kindi
Agama yang bersumber
dari wahyu Ilahi mengandung kebenaran, dan kebenaran ini dituangkan untuk
manusia. Filsafat juga mengandung kebenaran, kebenarannya didasarkan pada
pencarian nalar manusia. Dengan demikian ujung dari keduanya ialah “kebenaran”.
Filsafat mencari kebenaran dan agama membawa kebenaran. Namun demikian
kebenaran agama tidak akan dirasakan kecuali oleh orang yang berakal. Oleh
sebab itu kebenaran agama harus digali agar lebih jelas. Penggalinya ini
dilakukan dengan menggunakan nalar filsafat.Bagi al-kindi kebenaran yang dibawa oleh agama
lebih positif dan lebih meyakinkan daripada kebenaran filsafat, walaupun ia
juga harus memakai filsafat untuk lebih memperjelasnya, tetapi pekerjaan itu
hanyalah pekerjaan membuka selubung barang yang telah ada.[8]
Metafisika Al-kindi
Alam ini merupakan
juz’iat (particulars) yang segalanya itu terdapat materi hakiki yang disebut
kulliat (universal). Dalam istilah filsafat hakikat yang juz’iat itu biasa
disebut dengan aniah dan hakikat yang kulliat disebut mahiah.
Mahiah terdiri dari genus dan species.[9]
Ketuhanan Menurut Al-Kindi
Sebagaimana halnya
dengan filosof-filosof Yunani dan filosof-filosof islam lainnya, Al-Kindi,
selain dari filosof adalah juga ahli ilmu pengetahuan. Pengetahuan ia bagi ke
dalam dua bagian:
Pengetahuan
Ilahi (Divine science), sebagaimana yang tercantum dalam
Al-Qur’an: yaitu pengetahuan lansung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar
pengetahuan ini ialah keyakinan.
Pengetahuan
manusiawi (human science) atau falsafat. Dasarnya ialah pemikiran (ratio-reason)
Argumen-argumen yang
dibawa Al-Qur’an lebih meyakinkan daripada argument-argumen yang ditimbulkan
falsafat. Tetapi falsafat dan Al-Qur’an tak bertentangan, kebenaran yang
diberitakan wahyu tidak bertentangan dengan kebenaran yang dibawa falsafat.
Mempelajari falsafat dan berfalsafat tidak dilarang, karena teologi adalah
bagian dari falsafat, dan umat islam diwajibkan belajar teologi.Adapun mengenai ketuhanan, bagi
Al-Kindi, Tuhan adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud lain.
Wujud-Nya tidak berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya.
Tuhan adalah Maha esa yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada dzat lain yang
menyamai-Nya dalam segala aspek. Ia tidak dilahirkan dan tidak pula melahirkan.
Sesuai dengan faham yang
ada di dalam Islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah Pencipta dan bukan penggerak
pertama sebagaimana pendapat Aristoteles. Alam bagi Al-Kindi bukan kekal
dizaman lampau (qadim) tetapi mempunyai permulaan. Pendapat Al-Kindi
yang demikian menunjukkan betapa kuatnya pengaruh ilmu kalam pada waktu itu.
Dalam hal membuktikan adanya Tuhan, Al-Kindi mengemukakan dalil empiris, yaitu:
1. dalil baharu alam, 2. dalil keragaman dan kesatuan, dan 3. dalil
pengendalian alam.[10]
Jiwa Menurut Al-kindi
Adapun tentang jiwa,
menurut Al-Kindi, tidak tersusun, tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan
mulia. Substansi roh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan roh dengan Tuhan
sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual,
Illahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh.Roh adalah lain dari badan dan
mempunyai wujud sendiri. Argumen yang dikemukakan Al-Kindi tentang
kelainan roh dari badan ialah keadaan badan mempunyai hawa nafsu (carnal
desire) dan sifat pemarah (passion). Roh menentang keinginan hawa
nafsu dan passion. Sudah jelas hawa yang melarang tidak sama, tetapi
berlainan dari yang dilarang.Roh bersifat kekal dan tidak hancur
dengan hancurnya badan. Dia tidak hancur, karena substansinya berasal dari
substansi Tuhan.[11]
Jiwa mempunyai tiga daya:
Daya
bernafsu (appetitive)
Daya pemarah
(irascible)
Dan daya
berpikir (cognitive faculty)
Daya berpikir itu disebut akal.
Menurut Al-Kindi ada tiga macam akal:
Akal
yang bersifat potensial
Akal yang
telah keluar dari sifat potensial menjadi actual
Dan akal
yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas, yang dalam bahasa
arab disebut:
Akal yang bersifat
potensial tak bisa mempunyai sifat aktual jika tidak ada kekuatan yang
menggerakkannya dari luar. Dan oleh Karena itu bagi Al-Kindi ada lagi satu
macam akal yang mempunyai wujud diluar roh manusia, dan bernama:العقل الذي
بالعقل أبد (akal yang selamanya dalam aktualitas). Akal ini, karena selamanya
dalam aktualitas, ialah yang membuat akal bersifat potensial dalam roh manusia
menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini:
Ia merupakan
akal pertama
Ia selamanya
dalam aktualitas
Ia merupakan
species dan genus
Ia membuat
akal potensial menjadi aktual berpikir
Ia tidak
sama dengan akal potensial tetapi lain dari padanya.
Bagi Al-Kindi manusia
disebut menjadi (‘akil) jika ia telah mengetahui universal, yaitu
jika ia telah memperoleh akal yang diluar itu. Akal pertama ini bagi Al-Kindi,
mengandung arti banyak, karena dia adalah universal. Dalam limpahan dari
Yang Mahasatu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak (اوّل
متكثّر).
Moral Menurut Al-Kindi
Menurut Al-Kindi,
filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan bahwa seorang
filosof wajib menempuh hidup susila. Hikmah sejati membawa serta
pengetahuan serta pelaksanaan keutamaan. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri
sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia (stoa). Tabiat manusia
baik, tetapi ia digoda oleh nafsu. Konflik itu dihapuskan oleh pengetahuan
(paradoks Socrates). Manusia harus menjauhkan diri dari keserakahan. Milik
memberatkan jiwa.
Socrates dipuji sebagai contoh zahid
(asket). Al-Kindi mengecam para ulama yang memperdagangkan agama (tijarat bi
al-din) untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa
kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam Negara. Ia merasa
diri korban kelaliman Negara seperti Socrates. Dalam kesesakan jiwa, filsafat
menghiburnya dan mengarahkannya untuk melatih kekangan, keberanian dan hikmah
dalam keseimbangan sebagai keutamaan pribadi, tetapi pula keadilan untuk
meningkatkan tata Negara. Sebagai filosof, Al-Kindi prihatin, kalau-kalau
syari’at kurang menjamin perkembangan kepribadian secara wajar. Karena itu
dalam akhlak dia mengutamakan kaedah stoa dan Socrates.
Kenabian Menurut Al-Kindi
Tentang kenabian bagi
Al-Kindi adalah satu derajat pengetahuan yang tertinggi bagi manusia. Hanya
nabi yang bisa mencapai pengetahuan yang sempurna tentang alam ghaib dan
ketuhanan melalui wahyu. Kesanggupan untuk mengetahui seluk-beluk alam
ghaib yang sempurna seperti itu tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia
biasa.Keterbatasan
pengetahuan manusia terhadap soal-soal hakikat dan alam ghaib disebabkan
keterbatasan keleluasaan akalnya atas jasad. Oleh karena itu pengetahuan yang
dicapai oleh manusia masih sedikit sekali dan hal ini masih belum sepenuhnya
pula dapat diyakini kebenarannya. Berlainan dengan wahyu yang disampaikan Tuhan
kepada nabi, ia lebih positif dan kebenarannya dapat diyakini sepenuhnya. Jadi
kenabian lebih tinggi dari derajat para filosof.[12]
Al-Farabi: Maha Guru Kedua (Digelar Aristoteles kedua)
Nama sebenarnya Abu Nasr Muhammad Ibnu Muhammad
Ibnu Tarkhan Ibnu Uzlaq Al-Farabi. Beliau lahir pada tahun 874 M (260 H) di
Transoxia yang terletak dalam Wilayah Wasij di Turki dan meninggal pada tahun
339H/ 950 M. Bapaknya
merupakan seorang anggota tentara yang miskin tetapi semua itu tidak
menghalanginya untuk mendapat pendidikan di Baghdad. Beliau telah mempelajari
bahasa Arab di bawah pimpinan Ali Abu Bakr Muhammad ibn al-Sariy.
Selepas beberapa waktu, beliau berpindah ke
Damsyik sebelum meneruskan perjalanannya ke Halab. Semasa di sana, beliau telah
berkhidmat di istana Saif al-Daulah dengan gaji empat dirham sehari. Hal ini
menyebabkan dia hidup dalam keadaan yang serba kekurangan.Al-Farabi terdidik dengan sifat
qanaah menjadikan beliau seorang yang amat sederhana, tidak gila akan harta dan
cinta akan dunia. Beliau lebih menumpukan perhatian untuk mencari ilmu daripada
mendapatkan kekayaan duniawi. Sebab itulah Al-Farabi hidup dalam keadaan yang
miskin hingga beliau menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 950 M (339
H).
Walaupun Al-Farabi merupakan seorang yang zuhud
tetapi beliau bukan seorang ahli sufi. Beliau merupakan seorang ilmuwan yang
cukup terkenal pada zamannya. Dia berkemampuan menguasai berbagai bahasa.Selain itu, dia juga merupakan
seorang pemusik yang handal. Lagu yang dihasilkan meninggalkan kesan secara
langsung kepada pendengarnya. Selain mempunyai kemampuan untuk bermain musik,
beliau juga telah mencipta satu jenis alat musik yang dikenali sebagai gambus.
Kemampuan Al-Farabi bukan sekadar itu, malah
beliau juga memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam dalam bidang pengobatan,
sains, matematik, dan sejarah. Namun, keterampilannya sebagai seorang ilmuwan
yang ulung, lebih dalam di bidang falsafah. Bahkan kehebatannya dalam bidang
ini mengatasi ahli falsafah Islam yang lain seperti Al-Kindi dan Ibnu Rusyd.
Al-Farabi banyak mengkaji mengenai falsafah dan
teori Socrates, Plato, dan Aristotle dalam usahanya untuk menghasilkan
teori serta konsep mengenai kebahagiaan. Maka tidak heranlah, Al-Farabi
dikenali sebagai orang yang paling memahami falsafah Aristoteles. Dia juga
merupakan seorang yang mengawali menulis mengenai ilmu logik Yunani secara
teratur dalam bahasa Arab.Meskipun pemikiran falsafahnya banyak dipengaruhi oleh falsafah Yunani
tetapi beliau menentang pendapat Plato yang menganjurkan konsep pemisahan dalam
kehidupan manusia.
Menurut Al-Farabi, seorang ahli falsafah tidak
seharusnya memisahkan dirinya daripada sains dan politik. Sebaliknya perlu
menguasai kedua-duanya untuk menjadi seorang ahli falsafah yang sempurna.Tanpa sains, seorang ahli falsafah
tidak mempunyai cukup peralatan untuk diekspolitasikan untuk kepentingan orang
lain. Justru, seorang ahli falsafah yang tulen tidak akan menemukan pandangan
yang begitu berbeda di antaranya dengan pemerintah yang tertinggi, karena
keduanya merupakan komponen yang saling melengkapi. Dalam hal ini beliau
memprogramkan agar diwujudkan sebuah negara yang baik dan tenteram yang
dipimpin oleh ahli falsafah.
Pandangan falsafahnya yang kritikal telah
meletakkannya sejajar dengan ahli falsafah Yunani yang lain. Dalam kalangan
ahli falsafah Islam, beliau juga dikenali sebagai Aristoteles kedua. Bagi
Al-Farabi, ilmu segala-galanya dan para ilmuwan harus diletakkan pada kedudukan
yang tertinggi dalam pemerintahan sebuah negara.Pandangan Al-Farabi ini sebenarnya mempunyai
persamaan dengan falsafah dan ajaran Confucius yang meletakkan golongan ilmuwan
pada tingkat hirarki yang tertinggi di dalam sistem sosial sebuah negara.
Di samping itu, Al-Farabi juga mengemukakan
banyak pandangan yang mendahului zamannya. Antaranya beliau menyatakan bahawa
keadilan itu merupakan sifat semula jadi manusia, manakala pertarungan yang
berlaku antara manusia merupakan gejala sifat semula jadi tersebut.n Pemikiran, ide, dan pandangan Al-Farabi
mengenai falsafah politik terkandung dalam karyanya yang berjudul “Madinah
al-Fadhilah“. Pembicaraan mengenai ilmu falsafah zaman Yunani dan falsafah
Plato serta Aristoteles telah disentuhnya dalam karya ” Ihsa’ al-Ulum”
dan “Kitab al-Jam“.
Sebagai seeorang ilmuwan, Al-Farabi turut
memperlihatkan kecenderungannya menghasilkan beberapa kajian dalam bidang
pengobatan. Walaupun kajiannya dalam bidang ini tidak menjadikannya masyhur
tetapi pandangannya telah memberikan sumbangan yang cukup bermakna terhadap
perkembangan ilmu pengobatan di zamannya.
Salah satu pandangannya yang menarik ialah
mengenai betapa jantung adalah lebih penting berbanding otak dalam kehidupan
manusia. Ini disebabkan jantung memberikan kehangatan kepada tubuh sedangkan
otak hanya menyelaraskan kehangatan itu menurut keperluan anggota tubuh badan.Sesungguhnya Al-Farabi merupakan
seorang tokoh falsafah yang serba bisa. Banyak dari pemikirannya masih relevan
dengan perkembangan dan kehidupan manusia hari ini. Sementara itu, pemikirannya
mengenai politik dan negara banyak dikaji serta dibicarakan di tingkat universitas
bagi orang mencari penyelesaian dan sintesis terhadap segala kemelut yang
berlaku pada hari ini.
Nama lengkap al-Fârâbî
adalah Abû Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhân ibn Uzlagh
al-Fârâbî, dalam sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abû Nashr. Ia
adalah wakil terkemuka kedua dari mazhab filosof-ilmuwan peripatetik (masysyâ’î)
muslim setelah al-Kindî (801-873 M). Ia dikenal dengan laqab
(gelar) al-mu’allim al-tsânî (guru kedua) dengan mengalamatkan gelar al-mu’allim
al-awwal kepada Aristoteles.
Dalam diri al-Fârâbî terdapat unsur
dan kultur Turki. Karena itulah ia dan keluarganya dianggap sebagai orang
Turki. Ayahnya adalah seorang panglima Turki menurut satu versi riwayat,
walaupun terdapat juga sumber-sumber atau versi lain yang menyebutkan bahwa
ayahnya adalah keturunan bangsawan Persia. Ia dilahirkan di kota Wasîj tahun
257/890 salah satu distrik Fârab (diucapkan Bârab dalam dialek asilnya) salah
satu wilayah di sekitar Sungai Sîrdâriyâ provinsi Transoxiana. Islam masuk ke
daerah ini pada masa Dinasti Samâniyyah setelah Nûh ibn Azâd menyerang
kota Isbijab tahun 225 (839 atau 840) sekitar 30 tahun sebelum kelahiran
al-Fârâbî. Kemungkinan besar kakek al-Fârâbî baru
menjadi mu`allaf pada saat itu.
Pendidikan dasar al-Fârâbî adalah
pendidikan keagamaan dan bahasa, ia mempelajari fiqih, hadis dan tafsir
Alquran, bahasa Arab, bahasa Turki dan bahasa Persia. Para sejarawan masih
meragukan apakah ia juga belajar bahasa-bahasa yang lain selain bahasa itu.
Karena ia disebut-sebut banyak menguasai bahasa. Ibnu Khalikân, misalnya,
menyatakan bahwa al-Fârâbî menguasai 70 bahasa atau mengenal hampir setiap
bahasa.
Untuk menuntut ilmu, Al-Fârâbî
melakukan perjalanan ke pusat-pusat peradaban Islam yang paling populer pada
masa itu yaitu Baghdâd dan Harrân. Menurut ‘Abd al-Rahmân Badawî,
kemungkinan besar al-Fârâbî terlebih dahulu belajar di berbagai madrasah di Harrân
sebelum ke Baghdad. Namun menurut Albîr Nashrî Nâdir, setelah di Fârâb,
al-Fârâbî pergi ke Baghdâd dulu baru kemudian pergi ke Harrân lalu
kembali lagi ke Baghdad.
Harrân pada saat itu merupakan pewaris peradaban
Yunani akibat migrasinya madrasah Iskandariyah ke Harrân setelah
madrasah itu berada di Antokia selama kurang lebih 140 tahun. Di
Harrân ia belajar dengan Yuhannâ ibn Haylân seorang pakar
kristen terkemuka di bidang logika ketika itu. Kemudian al-Fârâbî pindah ke
Baghdâd bersama para pimpinan madrasah Harrân dan kemudian belajar di halaqah
Abû Bisyr al-Matâ (Mattius) ibn Yûnus yang merupakan sentral studi logika. Abû
Bisyr adalah orang yang memiliki kedalaman pemahaman tentang filsafat
Aristoteles. Kalau versi Albîr diterima, maka al-Fârâbî
terlebih dulu belajar logika kepada Abû Bisyr Mattâ di Baghdâd, baru kemudian
ia belajar logika kepada Yuhannâ ibn Haylân.
Ketika Situasi politik Baghdâd
memburuk, di mana terjadi pertikaian politik dan konflik-konflik sektarian,
sehingga memaksa Khalifah al-Muttaqî, para wazîr dan pengawalnya pindah ke luar
kota pada tahun 330H/942 M. Al-Fârâbî lalu pindah ke kota Damaskus yang lebih
tenang pada akhir tahun yang sama. Di sini ia
berkenalan dengan Sayf al-Dawlah al-Hamdânî, sultan Dinasti Hamdân
di Halab (Aleppo). Sultan nampaknya sangat terkesan dengan kepakaran dan
intelektualitas al-Fârâbî, lalu diajaknya ke Aleppo dan diberinya kedudukan
yang baik. Menurut Madjid Fakhry, sebelum ke Aleppo
al-Fârâbî terlebih dahulu ke Mesir. Tak lama kemudian al-Fârâbî pindah ke
Damaskus hingga wafatnya pada tahun 339/950 M dalam usia 80 tahun.
Filsafat
Al- Farabi
Filsafat Al-farabi mempunyai corak dan
tujuan yang berbeda, ia mengambil ajaran-ajaran filosof terdahulu, membangun
kembali dalam mentuk yang sesuai degan limgkungan kebudayaan dan menyusunya
sedemikian sistematis dan selaras, al-farabi adalah orang yang logis baik dalam
pemikiran, pernyataan, argumentasi, diskusi,keterangan, dan penalaranya.
Filsafatnya mungkin bertumpu pada beberapa perkiraan yang keliru dan mungkin
juga berisi beberapa hipotesisyang di tolak oleh ilmu pengetahuan moderen,
tetapi ia mempunyai peran penting dan pengaruh yang besar di bidang pemikiran
masa-masa sesudahnya.
Corak
dan unsur-unsur filsafat Al-Farabi.
Logika
Dalam bukunya
Ihsa’al ‘Ulum (Katalog IlmuPengetahuan) al-Farabi mengatakan bahwa
logika pada umumnya memberikan kaidah‑kaidah yang kalau diikuti bisa meluruskan
pikiran dan membimbing manusia pada jalan yang tepat menuju kebenaran dan
menjauhkan diri dari terjebak ke dalam jurang kesalahan. Logika, menurut
hematnya, membantu kita dalam membedakan yang benar dari yang salah dan
menunjukkan cara berpikir yang benar atau membantu kita dalam membimbing orang
lain ke arah itu.
Menurut
al-Farabi, logika bukanlah barang hiasan yang tidak perlu, seperti yang sering
dikatakan, karena logika tidak pernah akan bisa digantikan dengan bakat
alamiah. Selanjutnya al-Farabi membandingkan hubungan antara logika dan “ma’qlat”
(entitas-entitas spiritual) dengan tata bahasa dan kata-kata. Namun ada
juga perbedaannya, karena sementara tatabahasa hanya berhubungan dengan
kata-kata, logika berhubungan dengan “makna”.
Logika dikaitkan dengan kata-kata hanya sejauh
kata-kata itu merupakan perwujudan daripada makna. Selain itu, sementara tata
bahasa memberi perhatian pada kaidah-kaidah bahasa yang berbeda-beda, seperti
perbedaan bangsa dan ras, logika menaruh perhatian pada pikiran manusia yang
selalu sama di mana saja mereka berada. Al-Farabi sangat menekankan aspek-aspek
praktis dari logika dan aplikasinya, memberi petunjuk bahwa ma’qulat perlu
diuji melalui kaidah-kaidah logika, seperti halnya dimensi, volume dan massa,
perlu diuji dengan ukuran.
Sumbangan Al-Farabi di bidang logika ada dua:
1. Ia telah berhasil secara tepat dan jelas
menerangkan logika Aristoteles kepada bangsa yang berbahasa Arap.
2. Ia meletakkan landasan bagi lima landasan
penalaran dengan menampakkan sifat demontratifnya bila hal ini membawa
kepastian; dialiktik, bila hal ini membawa kepada kesamaan keyakinan lewat niat
baik. Sofistik bila hal ini kesaman dalam keyakinan yang buruk atau kesalahan.
Retorik pada keyakinan kemungkinan. Puitis membawa kepada imajinasi.
Kesatuan Filsafat
Al farabi berkeyakinan bahwa hakikatnya filsafat
merupakan satu kesatuan karna itu para filosof besar harus menyetujui bahwa
satu-satunya tujuan adalah kebenaran. Sebagai ahli filsafat dan sejarah ia
menyadari sepenuhnya bahaya kelompok filsafat jika terlalu semangat, karena
adanya kelompok yang terlalu semangat ini di penggaruhi oleh fanatisme di
antara para pengikut filosof-filosof kelompok besar.
Kebenaranagama dan kebenaran filsafat secara nyata
adalah satu meskipun meskipun secara formal berbeda. Dengan pemikirean ini
tidak di ragukan lagi bahwa Al farabi orang pertama yang telah membangun
filsafat di atas dasar kesesuaian.
Sekilas tentang Pemikiran
Filsafatnya
Al-Farabi menggunakan proses
konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk
memahami hubungan antara Tuhan dan alam pluralis dan empirik. Menurut teori
ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu
keluarnya mumkin al-wujūd (disebut alam) dari pancaran Wājib al-Wujūd (Tuhan).
Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan
tentang diri-Nya, sehingga Wājib al-Wujūd juga diartikan sebagai “Tuhan yang
berpikir”. Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus
menjadi obyek pemikiran. Al-Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan
padaTuhan: al-‘Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal); al-‘Āqil
(yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Ma’qūl (yang menjadi
sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).
Sistematika teori emanasi al-Farabi
adalah sebagai berikut:
1. Tuhan sebagai al-‘Aql dan sekaligus Wujud I. Tuhan sebagai al-‘Aql (Wujud I)
ini berpikir tentang diri-Nya hingga melahirkan Wujud II yang substansinya
adalah Akal I → al-Samā` al-Awwal (langit pertama).
2. Wujud II itu berpikir tentang
Wujud I hingga melahirkan Wujud III yang substansinya Akal II → al-Kawākib
(bintang-bintang).
3. Wujud III itu berpikir tentang
Wujud I hingga melahirkan Wujud IV yang substansinya Akal III → Saturnus.
4. Wujud IV itu berpikir tentang
Wujud I hingga melahirkan Wujud V yang substansinya Akal IV → Jupiter.
5. Wujud V itu berpikir tentang
Wujud I hingga melahirkan Wujud VI yang substansinya Akal V → Mars.
6. Wujud VI itu berpikir tentang
Wujud I hingga melahirkan Wujud VII yang substansinya Akal VI → Matahari.
7. Wujud VII itu berpikir tentang
Wujud I hingga melahirkan Wujud VIII yang substansinya Akal VII → Venus.
8. Wujud VIII itu berpikir tentang
Wujud I hingga melahirkan Wujud IX yang substansinya Akal VIII → Mercury.
9. Wujud IX itu berpikir tentang
Wujud I hingga melahirkan Wujud X yang substansinya Akal IX → Bulan.
10. Wujud X itu berpikir tentang
Wujud I hingga melahirkan Wujud XI yang substansinya Akal X → Bumi, ruh, dan
materi pertama (hyle) yang menjadi dasar terbentuknya bumi: api, udara, air,
dan tanah. Akal X ini disebut juga al-‘aql al-fa’āl (akal aktif) yang biasanya
disebut Jibril yang berperan sebagai wāhib al-suwar (pemberi bentuk, form).
Al-Farabi membagi wujud-wujud itu ke
dalam dua kategori: 1) esensinya tidak berfisik (baik yang tidak menempati
fisik [yaitu Tuhan, Akal I, dan Akal-Akal Planet] maupun yang menempati fisik
[yaitu jiwa, bentuk, dan materi]). 2) esensinya berfisik (yaitu benda-benda
langit, manusia, hewan, tumbuhan, barang-barang tambang, dan unsur yang empat,
yaitu: api, udara, air, dan tanah).
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah
tentang jiwa. Menurutnya, jiwa berasal dari pancaran Akal X (Jibril). Hubungan
antara jiwa dan jasad hanya bersifat accident (‘ardhiyyah), artinya ketika
fisik binasa jiwa tidak ikut binasa, karena substansinya berbeda. Jiwa manusia
disebut al-nafs al-nāthiqah (jiwa yang berpikir) yang berasal dari alam Ilahi,
sedang jasad berasal dari alam khalq yang berbentuk , berkadar, bergerak, dan
berdimensi.
Jiwa manusia, menurut al-Farabi,
memiliki 3 daya: 1) daya gerak (quwwah muharrikah), berupa: makan (ghādiyah,
nutrition), memelihara (murabbiyah, preservation), dan berkembang biak
(muwallidah, reproduction); 2) daya mengetahui (quwwah mudrikah), berupa:
merasa (hāssah, sensation) dan imajinasi (mutakhayyilah, imagination); dan 3)
daya berpikir (al-quwwah al-nāthiqah, intellectual), berupa: akal praktis (‘aql
‘amalī) dan akal teoretis (‘aql nazharī). Dan al-‘aql al-nazharī terbagi pada 3
tingkatan: 1) al-‘aql al-hayūlānī (akal potensial, material intellect) yang
mempunyai “potensi berpikir” dalam arti melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk
(māhiyah) dari materinya; 2) al-‘aql bi al-fi’l (akal aktual, actual intellect)
yang dapat melepaskan arti-arti (māhiyah) dari materinya dan arti-arti itu
telah mempunyai wujud dalam akal yang sebenarnya (aktual), bukan lagi dalam
bentuk potensial; 3) al-‘aql al-mustafād (akal pemerolehan, acquired intellect)
yang sudah mampu menangkap bentuk murni (pure form) tanpa terikat pada
materinya karena keberadaannya (pure form) tidak pernah menempati materi.
Al-‘aql al-mustafād bisa berkomunikasi dengan akal ke-10 (Jibril) dan mampu
menangkap pengetahuan yang dipancarkan oleh “akal aktif” (‘aql fa’āl). Dan ‘aql
fa’āl menjadi mediasi yang bisa mengangkat akal potensial naik menjadi akal
aktual, juga bisa mengangkat akal aktual naik menjadi akal mustafad. Hubungan
antara ‘aql fa’āl dan ‘aql mustafād ibarat mata dan matahari.
Pemikiran al-Farabi yang lain adalah
di bidang sosial-politik. Karyanya yang terkenal adalah berjudul Ārā` Ahl
al-Madīnah al-Fādhilah (Opini Penduduk tentang Negara Utama). Menurut
al-Farabi, politik diperlukan sebagai mediasi yang bisa mengantarkan manusia
hidup bahagia di dunia dan akhirat. Untuk mencapai kesempurnaan, manusia tidak
bisa hidup sendiri, melainkan harus bekerjasama. Hubungan kerjasama setiap
individu inilah yang menjadi cikal-bakal terbentuknya masyarakat. Menurut
al-Farabi, seorang pemimpin harus memiliki karakter umum, seperti: 1)
kecerdasan; 2) ingatan yang kuat; 3) murah hati; 4) sederhana; 5) cinta
keadilan; 6) cinta kejujuran; 7) tegar, berani; dan fasih bicara.
Di samping karakter umum, al-Farabi
juga berpendapat bahwa seorang penguasa (pemimpin negara) harus memiliki daya
profetik (kenabian) yang sampai pada tingkatan ‘aql mustafād agar mampu
menangkap sinat pengetahuan yang dipancarkan oleh akal ke-10 (jibril). Oleh
karena itu, ketika seorang pemimpin yang mencapai tingkatan itu sulit ditemukan
atau tidak ada (yaitu seorang nabi), maka bisa diganti oleh seorang filosof,
karena dia juga mampu sampai pada tingkatan ‘aql mustafād. Namun jika kriteria
filosof juga belum ditemukan, maka negara bisa dipimpin secara kolektif dalam
bentuk semacam presidium. Di antara orang-orang yang memiliki karakter pemimpin
itu, kemudian dipilih satu orang yang memiliki kearifan tertinggi, lalu yang
lain dipilih berdasarkan keahlian pengetahuan yang spesifik dan berbeda-beda,
seperti: ahli pemerintahan, ahli strategi perang, ahli ekonomi, ahli bicara
(orator) dan komunikasi (komunikator), dan sebagainya. Lawan dari al-madīnah
al-fādhilah (negara utama) adalah al-madīnah al-fāsidah (negara korup/rusak)
yang ditandai dengan ciri-ciri: kebodohan (jahl), kebobrokan (fisq),
gonjang-ganjing (tabaddul), dan sesat/rugi (khusr).
Pemikiran al-Farabi yang lain lagi adalah soal
teori kenabian yang sekaligus ditujukan untuk merespon pendapat Ibnu al-Rāwandi
(w. ± 910 M ) yang lebih tegas penolakannya terhadap kenabian, dan al-Razi (w.
925 M) yang kritik dan penolakannya pada kenabian masih kontroversi dan
diragukan (baca kembali tulisan saya tentang teori kenabian menurut al-Razi).
Menurut al-Farabi, nabi dan filosof sama-sama mampu berkomunikasi dengan ‘aql
fa’āl (akal ke-10) yang tidak lain adalah Jibril, karena keduanya sampai pada
tingkat ‘aql mustafād. Hanya keduanya memiliki perbedaan: nabi mampu
berkomunikasi dengan akal ke-10 tanpa melalui latihan khusus karena mendapat
limpahan dari Tuhan berupa kekuatan atau daya suci (quwwah qudsiyyah) yang di
dalamnya ada daya imaginasi luar biasa, berupa al-hads (semacam insight
khusus). Sementara filosof harus melalui latihan yang serius dan cukup lama.
Dengan demikian, nabi lebih tinggi tingkatannya daripada filosof. Dan bisa juga
dikatakan bahwa setiap nabi pasti seorang filosof, tetapi setiap filosof belum
tentu seorang nabi.
Demikian sekilas soal al-Farabi, semoga kita juga menjadi umat Islam yang bisa
berpikir kritis dan cerdas. Semoga kita juga senantiasa berpandangan positif
tentang filsafat karena sebenarnya para filosof adalah orang-orang bijak yang
hidup sederhana dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencari kebenaran dan
menebarkan cinta-kasih pada sesama. Semoga…!!!
[1]. Dr. Hasyimsyah
Nasution, M.A, Filsafat Islam, Jakarta:
gaya media pratama, cet.III, 2002, hal. 15
[2]. Dr. H.A. Mustafa, Filsafat Islam,
Bandung: pustaka setia, cet. II, desember 2004, hal. 100
[3]. Prof.Dr.H. Abu
Bakar Aceh, sejarah filsafat islam, sala\; cv. Ramadani, cet.I, 1970,
hal. 47
[4]. Dr. H.A. Mustafa, Filsafat Islam,
Bandung: pustaka setia, cet. II, desember 2004, hal. 102-103