Defiisi Mahram
Mahram adalah orang-orang yang diharamkan untuk
dinikahi.[1]
perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena
keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di
antara keduanya. Istilah mahram adalah istilah yang terdapat di dalam bab fiqih
nikah. Berasal dari kata haram yang artinya tidak boleh atau terlarang. Dari
asal kata ini kemudian terbentuk istilah mahram, yang pengertiannya wanita atau
laki-laki yang haram untuk dinikahi.
كل من حرم نكاحها على التأبيد بسبب مباح لحرمتها
“Setiap
wanita yang haram untuk dinikahi selamanya, disebab sesuatu yang mubah, karena
statusnya yang haram”. (Syarah Shahih
Muslim, An-Nawawi, 9:105)
Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, “Mahram adalah
semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena seba nasab, persusuan
dan pernikahan.” [Al-Mughni 6/555].
Menurut Imam Ibnu Atsir rahimahullah, ” Mahram adalah
orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak,
saudara, paman, dan lain-lain”. [An- Nihayah 1/373]
Menurtut Syaikh Sholeh Al-Fauzan, “Mahrom wanita adalah
suaminya dan semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab
seperti bapak, anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain
seperti saudara sepersusuannya, ayah atau pun anak tirinya”. [Tanbihat 'ala Ahkam
Takhtashu bil mu'minat hal ; 67).
B. Wanita-Wanita yang
Haram Dinikahi
Secara garis besar
larangan-larangan perkawinan dalam Syara’ itu dibagi dua, yaitu; Keharaman yang
bersifat Abadi (Tahrim Mu’abbad), dan keharaman yang bersifat sementara (Tahrim
Mu’aqqat).
Keharaman yang bersifat Abadi ada yang disepakati dan
ada juga yang masih diperselisikan. Yang disepakati ada tiga yaitu: hubungan
keturunan atau nasab, hubungan kekeluargaan karena tali pernikahan atau
besanan, dan hubungan persusuan. Sedangkan yang diperselisikan ialah zina dan
li’an. Imam Syafi’I dan Imam Malik bependapat bahwa zina dengan seorang wanita
tidak menyebabkan haramnya menikahi ibu wanita tersebut atau anak wanitanya.
Sedangkan menurut Abu Hanifah, Tsauri, dan Auza’I berpendapat bahwa zina
menyebabka keharaman.[2]
Keharaman yag bersifat Sementara/temporal yaitu: karena
bilangan, mengumpulkan, kafir, ihram, sakit, iddah, perceraian tiga kali bagi
suami yang menceraikan, dan halangan peristrian.[3]
Adapun
wanita-wanita yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki adalah sebagai
berikut:
1. Tahrim Mu’abbad
(Keharaman yang Bersifat Abadi)
Ø Larangan Menikah karena
Pertalian Nasab
Fuqaha sependapat
bahwa wanita yag diharamkan untuk dinikahi dari dari segi nasab ada tujuh yang
kesemuanya tersebut dalam Al-Qur’an, yaitu:
Artinya:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan…..
Berdasarkan ayat diatas wanita yang haram dinikahi karena
nasab adalah:
- Ibu dan garis keturunannya keatas
- Anak dan urutannya kebawah, seperti cucu perempuan. Adapun anak wanita dari hasil berzina, menurut pendapat yang shahih boleh dinikahi ayahnya, namun hukumnya makruh.[4]
- Saudara Perempuan seibu seayah, atau seayah saja, atau seibu saja.
- Bibi (saudara perempuan ayah)
- Bibi (saudara perempuan ibu)
- Keponakan dari saudara perempuan
- Keponakan dari saudara laki-laki.[5]
Mereka adalah tujuh orang wanita yang haram dinikahi oleh
laki-laki yang memiliki hubungan dengannya secara permanent/abadi. Demikianlah
kesepakatan para ulama sebagaimana yang dikutip oleh Ath-Thabari dalam
tafsirnya.
Ø Larangan Menikah karena Hubungan Sepersusuan
Larangan menikah
karena hubungan sesusuan berdasarkan pada lanjutan surat An-Nisa: 23 diatas:
. “Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan….”
Halangan karena sebab
menyusu
- Ibu
yang menyusui
- Saudara
wanita sepersusuan
Para Imam madzhab
pendapat tentang berbagai macam pokok masalah.
RMengenai kadar air susu
yang menyebabkan keharaman.
Imam Hanafi
dan Imam Malik berpendapat, tidak ada ketentuan mengenai kadarnya, berapapun
kadarnya menyebabkan keharaman. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat yang
menyebabkan keharaman adalah lima kali susuan.
RKeadaan orang
yang menyusui
Ada beda pendapat dalam hal ini, apabila seorang anak
tidak membutuhkan lagi susu sebelum usia dua tahun, lalu disapih, kemudian
disusui lagi oleh wanita lain.
Imam Malik berpendapat bahwa penyusuan tersebut tidak
mengharamkan. Sedangkan Imam Hanafi dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa
penyusuan tersebut menyebabkan keharaman.
RKesaksian
atas susuan.
Imam Malik berpendapat, bahwa persaksian tersebut hanya
bisa diterima dengan kesaksian dua orang wanita. Imam Syafi’i berpendapat,
persaksian tersebut hanya bisa diterima dengan kesaksian empat orang wanita.
Imam Hanafi berpendapat bahwa boleh kesaksian satu orang wanita.
RSifat
wanita yang menyusui
Fuqaha sependapat bahwa air susu semua orang wanita itu menyebabkan
keharaman, baik yang masih haid atau tidak haid lagi, baik mempunyai suami atau
tidak, hamil atau tidak.[6]
Ø LaranganMenikahi Seorang Wanita Karena Hubungan Pernikahan (Mushaharah)
Adapun wanita-wanita yang diharamkan
karena hubungan penikahan (besanan) adalah sebagai berikut berdasarkan lanjutan
surat An-Nisa ayat 23:
…ibu-ibu
isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa
lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa: 23).
Jika diperinci adalah
sebagai berikut:
- Ibu
Istri (mertua), nenek perempuan istri dan seterusnya keatas, baik dari
garis ibu atau ayah.
- Anak tiri, dengan syarat kalau terjadi hubungan suami-istri. Menurut Jumhur `Ulàmà' termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya. Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab aqad nikah, walaupun si puteri belum dicampuri, kalau sudah aqad nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi puteri itu.
- Menantu, yakni istri anak, istri cucu, dan seterusnya kebawah.
- Ibu tiri (istri bapak)
- Haram
menikahi dua orang dengan cara dikumpulkan bersama-sama, yaitu dua
perempuan yang ada hubungan mahram, seperti dua perrempuan yag bersaudara,
atau seorang perempuan di permadukan dengan saudara perempuan bapaknya,
atau anak perempuan saudaranya, da seterusnya menurut pertalian mahram
diatas.[7]
"Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara" (An Nisà'/4:23). Rasulullàh Shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara perempuan dengan bibinya dari
pihak ibu;
Dan menghimpunkan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi bersabda: "Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya" (HR. Al Bukhàriy dan Muslim)
Dan menghimpunkan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi bersabda: "Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya" (HR. Al Bukhàriy dan Muslim)
Jadi, keponakan (perempuan) tidak boleh dihimpun dengan bibinya
dalam perkawinan, demikian pula bibi tidak boleh dihimpun dengan keponakan
perempuan dalam perkawinan. Secara mudah, bibi dan keponakan perempuan tidak
boleh saling jadi madu.
2. Tahrim Mu’aqqat (Keharaman yang
Bersifat Semetara)
Manksudnya adalah seorang pria tidak boleh menikahi seorang
perempuan selama berada dalam kondisi tertentu. Apabila kondisinya tersebut
telah berubah, maka ia boleh menikahinya. Adapun wanita-wanita yang haram
dinikahi secara temporal (sementara) adalah:
1.
Saudara perempuan istri (ipar)
Maksudnya adalah dengan mempoligami duo orang perempuan yang
bersaudara. Karena itu seorang pria tidak boleh mempoligami istrinya dengan
saudara perempuannya dalam waktu yang sama.[8]
Dan apabila menikahi mereka secara berganti-ganti, seperti seorang laki-laki
menikahi seorang wanita, kemudian wanita itu meninggal atau dicerai, maka
laki-laki itu boleh menikahi adik atau kakak perempuan dari wanita yang telah
meninggal dunia tersebut.
2.
Wanita yang terikat perkawinan
dengan laki-laki lain haram dinikahi oleh seorang laki-laki. Keharaman ini
disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 24:
Artinya: “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita
yang bersuami….”
3.
Wanita
yang sedang dalam masa Iddah, baik iddah cerai atau iddah ditiggal mati.
Berdasarka firman Allah surat Al-Baqarah ayat 228 dan 234
4.
Wanita
yang ditalaq tiga haram nikah lagi dengan bekas suaminya, kecuali kalau sudah
kawin lagi degan orang lain dan telah berhubungan kelamin serta dicerai oleh
suami terakhir itu dan telah habis masa iddahnya. Berdasarkan Q.S. Al-Baqarah
ayat 229-230.
Artinya:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah
itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah
hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami
mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang
(mau) Mengetahui.”(
Q.S. Al-Baqarah: 229-230).
5. Wanita
yang sedang melakukan ihram. Berdasarkan hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim dan Utsman bin Affan: “Orang yang sedang ihram tidak boleh
menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh pula meminang.”
6. Wanita
musyrik, haram dinikahi. Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat
24:
[1] Drs. Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat, (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2001), hal. 204.
[2] Gus Arifin, Menikah untuk Bahagia, (Jakarta: PT. Gramedia,
2010), hal. 150.
[3] Prof. Dr. H.M.A. Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M.,
M.H. Fikih Munakahat, (Jakarta: Raja Wali Pers, 2009), hal. 64.
[4] Syekh Muhammad Qasim Al-Ghizzi, Fathul Qarib, (Bandung:
Trigenda Karya, 1995), cet.1, hal. 236.
[5] Drs. Moh. Rifa’I, Kifayatul Akhyar, (Semarang: CV. Toha
Putra, 1978), hal. 185.
[6] Gus Arifin, Mnikah untuk Bahagia, (Jakarta: PT. Gramedia,
2010), hal. 154-155.
[7] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru
Algensido, 1994), cet. 27, hal. 389.
[8] Abu Buraidah Muhammad Fauzi, Meminang dalam Islam. (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2007). Cet. Pertama, hal.28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar