Sabtu, 26 Februari 2011

aborsi dalam islam


1.     Pengertian
Aborsi dalam bahasa Arab disebut “ijhadh”, yang memiliki beberapa sinonim yakni; isqath (menjatuhkan), ilqa’ (membuang), tharah (melempar) dan imlash (menyingkirkan)) . Aborsi secara umum adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibat-akibat tertentu) sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan. (JNPK-KR, 1999) (www.jender.or.id) Secara lebih spesifik, Ensiklopedia Indonesia memberikan pengertian aborsi sebagai berikut : “Pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu atau sebelum janin mencapai berat 1.000 gram.” Definisi lain menyatakan, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Aborsi merupakan suatu proses pengakhiran hidup dari janin sebelum diberi kesempatan untuk bertumbuh (Kapita Seleksi Kedokteran, Edisi 3, halaman 260).
2.    Jenis aborsi
Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu:
1.     Aborsi Spontan/ Alamiah atau Abortus Spontaneus
Aborsi spontan/ alamiah berlangsung tanpa tindakan apapun. Kebanyakan disebabkan karena kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.
2.    Aborsi Buatan/ Sengaja atau  Abortus Provocatus Criminalis
Aborsi buatan/ sengaja/ Abortus Provocatus Criminalis adalah pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun si pelaksana aborsi (dalam hal ini dokter, bidan atau dukun beranak).
3.    Aborsi Terapeutik/ Medis atau  Abortus Provocatus Therapeuticum
Aborsi terapeutik / Abortus Provocatus therapeuticum adalah pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi medik. Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang matang dan tidak tergesa-gesa (www.genetik2000.com)

3.    Penatalaksanaan aborsi
Kalau kehamilan lebih muda, lebih mudah dilakukan. Makin besar makin lebih sulit dan resikonya makin banyak bagi si ibu, cara-cara yang dilakukan di kilnik-klinik aborsi itu bermacam-macam, biasanya tergantung dari besar kecilnya janinnya.
1.     Abortus untuk kehamilan sampai 12 minggu biasanya dilakukan dengan MR/ Menstrual Regulation yaitu dengan penyedotan (semacam alat penghisap debu yang biasa, tetapi 2 kali lebih kuat).
2.    Pada janin yang lebih besar (sampai 16 minggu) dengan cara Dilatasi & Curetage.
3.    Sampai 24 minggu. Di sini bayi sudah besar sekali, sebab itu biasanya harus dibunuh lebih dahulu dengan meracuni dia. Misalnya dengan cairan garam yang pekat seperti saline.  Dengan jarum khusus,  obat itu langsung  disuntikkan  ke dalam rahim,  ke dalam air ketuban, sehingga anaknya keracunan,  kulitnya terbakar, lalu mati. 
4.    Di atas 28 minggu biasanya dilakukan dengan suntikan prostaglandin sehingga terjadi proses kelahiran buatan dan anak itu dipaksakan untuk keluar dari tempat pemeliharaan dan perlindungannya.
5.    Juga dipakai cara operasi Sesaria seperti pada kehamilan yang biasa (www.genetik2000.com).
4.    Aborsi menurut hukum islam
Abdurrahman Al Baghdadi (1998) dalam bukunya Emansipasi Adakah Dalam Islam halaman 127-128 menyebutkan bahwa aborsi dapat dilakukan sebelum atau sesudah ruh (nyawa) ditiupkan. Jika dilakukan setelah setelah ditiupkannya ruh, yaitu setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan, maka semua ulama ahli fiqih (fuqoha) sepakat akan keharamannya. Tetapi para ulama fiqih berbeda pendapat jika aborsi dilakukan sebelum ditiupkannya ruh. Sebagian memperbolehkan dan sebagiannya mengharamkannya.
Yang memperbolehkan aborsi sebelum peniupan ruh, antara lain Muhammad Ramli (w. 1596 M) dalam kitabnya An Nihayah dengan alasan karena belum ada makhluk yang bernyawa. Ada pula yang  memandangnya makruh, dengan alasan karena janin sedang mengalami pertumbuhan.
Yang mengharamkan aborsi sebelum peniupan ruh antara lain Ibnu Hajar (w. 1567 M) dalam kitabnya At Tuhfah dan Al Ghazali dalam kitabnya Ihya` Ulumiddin. Bahkan Mahmud Syaltut, mantan Rektor Universitas Al Azhar Mesir berpendapat bahwa sejak bertemunya sel sperma dengan ovum (sel telur) maka aborsi adalah haram, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi makhluk baru yang bernyawa yang bernama manusia yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya. Akan makin jahat dan besar dosanya, jika aborsi dilakukan setelah janin bernyawa, dan akan lebih besar lagi dosanya kalau bayi yang baru lahir dari kandungan sampai dibuang atau dibunuh  (Masjfuk Zuhdi, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, halaman 81; M. Ali Hasan, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, halaman 57; Cholil Uman, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, halaman 91-93; Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, halaman 77-79).
Pendapat yang disepakati fuqoha, yaitu bahwa haram hukumnya melakukan aborsi setelah ditiupkannya ruh (empat bulan), didasarkan pada kenyataan bahwa peniupan ruh terjadi setelah 4 (empat) bulan masa kehamilan. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :
Sesungguhnya setiap kamu terkumpul kejadiannya dalam perut ibumu selama 40 hari dalam bentuk ‘nuthfah’, kemudian dalam bentuk ‘alaqah’ selama itu pula, kemudian dalam bentuk ‘mudghah’ selama itu pula, kemudian ditiupkan ruh kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi)
Maka dari itu, aborsi setelah kandungan berumur 4 bulan adalah haram, karena berarti membunuh makhluk yang sudah bernyawa. Dan ini termasuk dalam kategori pembunuhan yang keharamannya antara lain didasarkan pada dalil-dalil syar’i berikut. Firman Allah SWT :
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (TQS Al An’aam : 151)
Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut miskin. Kami akan memberikan rizki kepada mereka dan kepadamu.” (TQS Al Isra` : 31 )
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (TQS Al Isra` : 33)
Dan apabila bayi-bayi yang dikubur hidup-hidup itu ditanya karena dosa apakah ia dibunuh.” (TQS At Takwir : 8-9)     

Berdasarkan dalil-dalil ini maka aborsi adalah haram pada kandungan yang bernyawa atau telah berumur 4 bulan, sebab dalam keadaan demikian berarti aborsi itu adalah suatu tindak kejahatan pembunuhan yang diharamkan Islam.
Adapun aborsi sebelum kandungan berumur 4 bulan, seperti telah diuraikan di atas, para fuqoha berbeda pendapat dalam masalah ini. Akan tetapi menurut pendapat Abdul Qadim Zallum (1998) dan Abdurrahman Al Baghdadi (1998), hukum syara’ yang lebih rajih (kuat) adalah sebagai berikut. Jika aborsi dilakukan setelah 40 (empat puluh) hari, atau 42 (empat puluh dua) hari dari usia kehamilan dan pada saat permulaan pembentukan janin, maka hukumnya haram. Dalam hal ini hukumnya sama dengan hukum keharaman aborsi setelah peniu¬pan ruh ke dalam janin. Sedangkan pengguguran kandungan yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. (Abdul Qadim Zallum, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati,  halaman 45-56; Abdurrahman Al Baghdadi, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, halaman 129 ).
Dalil syar’i yang menunjukkan bahwa aborsi haram bila usia janin 40 hari atau 40 malam adalah hadits Nabi SAW berikut :
Jika nutfah (gumpalan darah) telah lewat empat puluh dua malam, maka Allah mengutus seorang malaikat padanya, lalu dia membentuk nutfah tersebut; dia membuat pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulang belulangnya. Lalu malaikat  itu bertanya (kepada Allah),’Ya Tuhanku, apakah dia (akan Engkau tetapkan) menjadi laki-laki atau perempuan ?’ Maka Allah kemudian memberi keputusan…” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud RA)
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW bersabda :
“(jika nutfah telah lewat) empat puluh malam…”      

Hadits di atas menunjukkan bahwa permulaan penciptaan janin dan penampakan anggota-anggota tubuhnya, adalah sete¬lah melewati 40 atau 42 malam. Dengan demikian, penganiayaan terhadapnya adalah suatu penganiayaan terhadap janin yang sudah mempunyai tanda-tanda sebagai manusia yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam). Tindakan penganiayaan tersebut merupakan pembunuhan terhadapnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka pihak ibu si janin, bapaknya, ataupun dokter, diharamkan menggugurkan kandungan ibu tersebut bila kandungannya telah berumur 40 hari.
Siapa saja dari mereka yang melakukan pengguguran kandungan, berarti telah berbuat dosa dan telah melakukan tindak kriminal yang mewajibkan pembayaran diyat bagi janin yang gugur, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan, atau sepersepuluh diyat manusia sempurna (10 ekor onta), sebagaimana telah diterangkan dalam hadits shahih dalam masalah tersebut. Rasulullah SAW bersabda :
“Rasulullah SAW memberi keputusan dalam masalah janin dari seorang perempuan Bani Lihyan yang gugur dalam keadaan mati, dengan satu ghurrah, yaitu seorang budak laki-laki atau perempuan…” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah RA) (Abdul Qadim Zallum, 1998).
Sedangkan aborsi pada janin yang usianya belum mencapai 40 hari, maka hukumnya boleh (ja’iz) dan tidak apa-apa. Ini disebabkan bahwa apa yang ada dalam rahim belum menjadi janin karena dia  masih berada dalam tahapan sebagai nutfah (gumpalan darah), belum sampai pada fase penciptaan yang menunjukkan ciri-ciri minimal sebagai manusia.
Di samping itu, pengguguran nutfah sebelum menjadi janin, dari segi hukum dapat disamakan dengan ‘azl (coitus interruptus) yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kehamilan. ‘Azl dilakukan oleh seorang laki-laki yang tidak menghendaki kehamilan perempuan yang digaulinya, sebab ‘azl merupakan tindakan mengeluarkan sperma di luar vagina perem¬puan. Tindakan ini akan mengakibatkan kematian sel sperma, sebagaimana akan mengakibatkan matinya sel telur, sehingga akan mengakibatkan tiadanya pertemuan sel sperma dengan sel telur yang tentu tidak akan menimbulkan kehamilan.
Rasulullah SAW telah membolehkan ‘azl kepada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau mengenai tindakannya menggauli budak perempuannya, sementara dia tidak mengingin¬kan budak perempuannya hamil. Rasulullah SAW bersabda kepa¬danya :
Lakukanlah ‘azl padanya jika kamu suka ! ” (HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)
Namun demikian, dibolehkan melakukan aborsi baik pada tahap penciptaan janin, ataupun setelah peniupan ruh padanya, jika dokter yang terpercaya menetapkan bahwa keberadaan janin dalam perut ibu akan mengakibatkan kematian ibu dan janinnya sekaligus. Dalam kondisi seperti ini, dibolehkan melakukan aborsi dan mengupayakan penyelamatan kehidupan jiwa ibu. Menyelamatkan kehidupan adalah sesuatu yang diserukan oleh ajaran Islam, sesuai firman Allah SWT :
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (TQS Al Maidah : 32)
Di samping itu aborsi dalam kondisi seperti ini termasuk pula upaya pengobatan. Sedangkan Rasu¬lullah SAW telah memerintahkan umatnya untuk berobat. Rasulullah SAW bersabda :
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian !” (HR. Ahmad)
Kaidah fiqih dalam masalah ini menyebutkan :
Idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuha dhararan birtikabi akhaffihima
Jika berkumpul dua madharat (bahaya) dalam satu hukum, maka dipilih yang lebih ringan madharatnya.” (Abdul Hamid Hakim, 1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, halaman 35).       

Berdasarkan kaidah ini, seorang wanita dibolehkan menggugurkan kandungannya jika keberadaan kandungan itu akan mengancam hidupnya, meskipun ini berarti membunuh janinnya. Memang mengggugurkan kandungan adalah suatu mafsadat. Begitu pula hilangnya nyawa sang ibu jika tetap mempertahankan kandungannya juga suatu mafsadat. Namun tak syak lagi bahwa menggugurkan kandungan janin itu lebih ringan madharatnya daripada menghilangkan nyawa ibunya, atau membiarkan kehidupan ibunya terancam dengan keberadaan janin tersebut (Abdurrahman Al Baghdadi, 1998).
Pendapat yang menyatakan bahwa aborsi diharamkan sejak pertemuan sel telur dengan sel sperma dengan alasan karena sudah ada kehidupan pada kandungan, adalah pendapat yang tidak kuat. Sebab kehidupan sebenarnya tidak hanya wujud setelah pertemuan sel telur dengan sel sperma, tetapi bahkan dalam sel sperma itu sendiri sudah ada kehidupan, begitu pula dalam sel telur, meski kedua sel itu belum bertemu. Kehidupan (al hayah) menurut Ghanim Abduh dalam kitabnya Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah (1963) halaman 85 adalah “sesuatu yang ada pada organisme hidup.” (asy syai` al qa`im fi al ka`in al hayyi). Ciri-ciri adanya kehidupan adalah adanya pertumbuhan, gerak, iritabilita, membutuhkan nutrisi, perkembangbiakan, dan sebagainya. Dengan pengertian kehidupan ini, maka dalam sel telur dan sel sperma (yang masih baik, belum rusak) sebenarnya sudah terdapat kehidupan, sebab jika dalam sel sperma dan sel telur tidak ada kehidupan, niscaya tidak akan dapat terjadi pembuahan sel telur oleh sel sperma. Jadi, kehidupan (al hayah) sebenarnya terdapat dalam sel telur dan sel sperma sebelum terjadinya pembuahan, bukan hanya ada setelah pembuahan.
Berdasarkan penjelasan ini, maka pendapat yang mengharamkan aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, adalah pendapat yang lemah, sebab tidak didasarkan pada pemahaman fakta yang tepat akan pengertian kehidupan (al hayah). Pendapat tersebut secara implisit menyatakan bahwa sebelum terjadinya pertemuan sel telur dan sel sperma, berarti tidak ada kehidupan pada sel telur dan sel sperma. Padahal faktanya tidak demikian. Andaikata katakanlah pendapat itu diterima, niscaya segala sesuatu aktivitas yang menghilangkan kehidupan adalah haram, termasuk ‘azl. Sebab dalam aktivitas ‘azl terdapat upaya untuk mencegah terjadinya kehidupan, yaitu maksudnya kehidupan pada sel sperma dan sel telur (sebelum bertemu). Padahal ‘azl telah dibolehkan oleh Rasulullah SAW. Dengan kata lain, pendapat yang menyatakan haramnya aborsi setelah pertemuan sel telur dan sel sperma dengan alasan sudah adanya kehidupan, akan bertentangan dengan hadits-hadits yang membolehkan ‘azl.
REFERENSI
  • Abduh, Ghanim, 1963, Naqdh Al Isytirakiyah Al Marksiyah, t.p., t.tp
  • Al Baghdadi, Abdurrahman, 1998, Emansipasi Adakah Dalam Islam, Gema Insani Press, Jakarta
  • Hakim, Abdul Hamid,1927, Mabadi` Awaliyah fi Ushul Al Fiqh wa Al Qawa’id Al Fiqhiyah, Sa’adiyah Putera, Jakarta
  • Hasan, M. Ali, 1995, Masail Fiqhiyah Al Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta
  • Mahjuddin, 1990, Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini, Kalam Mulia, Jakarta
  • Uman, Cholil, 1994, Agama Menjawab Tentang Berbagai Masalah Abad Modern, Ampel Suci, Surabaya
  • Zallum, Abdul Qadim, 1998, Beberapa Problem Kontemporer Dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati, Al-Izzah, Bangil
  • Zuhdi, Masjfuk, 1993, Masail Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, Haji Masagung, Jakarta

hukum senggama ketika puasa


“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu ; karena itu Allah mengampuni kamu dan member maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang ditetapkan Allah untukmu; dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam….”(QS.Albaqarah: 187)
Ayat diatas menjelaskan bahwa orang yang puasa tidak diperbolehkan makan, minum, dan bercampur dengan istrinya. Yang dimaksud dengan rafats dalam puasa diartikan dengan bercampur dengan istri pada ayat tersebut adalah bersebadan, bukan mencium atau menjamah istri. Sebab Rasulullah pernah mencium dan memegang-megang istrinya ketika sedang berpuasa.
Aisyah r.a. berkata, "Nabi mencium dan menyentuh/memeluk (istri beliau) padahal beliau berpuasa. Beliau adalah orang yang paling menguasai di antaramu sekalian terhadap hasrat (seksual) nya." (HR bukhari dan muslim, tetapi hadits tersebut adalah lafadz muslim. Pada riwayat lain disebutkan tambahan “pada bulan ramadhan”)
 
Ibnu Abbas berkata, "Ma-aarib, artinya hasrat."[1] 
 
Thawus berkata, "Ghairu ulil-irbah, maksudnya tidak mempunyai hasrat terhadap wanita."[2]

Aisyah berkata, "Haram kemaluan istri bagi suami (ketika sedang berpuasa)."         [3]                          


ayat dan hadits diatas  menerangkan adanya larangan berhubungan seksual pada saat seseorang melaksanakan puasa, baik puasa sunah maupun wajib. Karena itu, orang melakukan hubungan seksual pada waktu puasa, maka puasanya batal dan wajib membayar denda.yakni :
1.     Memerdekakan seorang budak; jika tidak sanggup atau tidak ada lagi budak, maka
2.    Puasa 2 bulan berturut-turut; jika tidak sanggup, maka
3.    Member makan 60 orang miskin; pembayaran ini boleh dilakukan sekaligus ataupun di cicil.
Aisyah r.a. berkata, "Sesungguhnya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi, lalu ia mengatakan bahwa dirinya terbakar. Lalu, Nabi bertanya, 'Mengapa kamu?' Dia menjawab, 'Saya telah mencampuri istri saya pada siang bulan Ramadhan.' Kemudian didatangkan kepada Nabi sekantong (bahan makanan), lalu beliau bertanya, 'Di mana orang yang terbakar itu?' Orang itu menjawab, 'Saya.' Beliau bersabda, 'Bersedekahlah dengan ini.'"

Abu Hurairah r.a. berkata, "Ketika kami sedang duduk-duduk di sisi Nabi, tiba-tiba seorang laki-laki datang kepada beliau. Ia berkata, 'Wahai Rasulullah, saya binasa.' Beliau bertanya, 'Mengapa engkau?' Ia berkata, 'Saya telah menyetubuhi istri saya padahal saya sedang berpuasa (pada bulan Ramadhan).' Rasulullah bersabda, 'Apakah kamu mempunyai budak yang kamu merdekakan?' Ia menjawab, 'Tidak.' Beliau bertanya, 'Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?' Ia menjawab, 'Tidak mampu.' Beliau bersabda, 'Apakah kamu mampu memberi makan enam puluh orang miskin?' Ia menjawab, 'Tidak mampu.' Beliau bersabda, '(Duduklah!' Kemudian ia duduk. 7/236), lalu berdiam di sisi Nabi. Ketika kami dalam keadaan demikian, tiba-tiba dibawakan satu 'araq (satu kantong besar) yang berisi kurma kepada Nabi. (Dalam satu riwayat: maka datanglah seorang laki-laki dari golongan Anshar 3/137). Beliau bertanya, 'Manakah orang yang bertanya tadi?' Orang itu menjawab, 'Saya.' Beliau bersabda, 'Ambillah ini dan sedekahkanlah.' Ia berkata kepada beliau, 'Apakah kepada orang yang lebih fakir (dalam satu riwayat: lebih membutuhkan) daripadaku wahai Rasulullah? Demi Allah di antara dua batu batas (dalam satu riwayat: dua tepian kota Madinah 7/111) (ia maksudkan dua tanah tandus Madinah) tidak ada keluarga yang lebih miskin daripada keluargaku.' Maka, Nabi tertawa sehingga gigi seri beliau tampak. Kemudian beliau bersabda, '(Pergilah, dan) berikanlah kepada keluargamu.'"(HR bukhari)

Hikmah tidak diperbolehkannya berhubungan seksual pada siang hari ketika sedan berpuasa ialah:
1.     Untuk kosentrasi iri, fisik maupun mental, dalam mematuhi perintah beribadah kepada Allah, sehingga pengendalian nafsu yang ingin dicapai dengan ibadah puasa dapat berhasil dengan sempurna. sebab puasa dimaksudkan untuk menyadarkan manusia akan hakikat dirinya bahwa manusia bukan semata-mata entuk ragawinya, tetapi yang lebih utama adalah bagaimana bentuk jiwa-nya.
2.    Orang berpuasa akan mengalami kondisi lemah, sedangkan hubungan bersenggama memerlukan banyak tenaga sehingga membuat fisik lebih lemah lagi sehingga dapat merusak fisik yang bersangkutan. Disamping itu, bersenggama pada waktu berpuasa juga akan merusak kemampuan mengendalikan hawa nafsu. Padahal puasa dimaksudkan untuk mengendalikan hawa nafsu. Hal ini dimaksudkan agar manusia tidak berlabihan dalam melepaskan selera nafsunya tanpa memperhatikan upaya peningkatan kualitas ketaqwaan kepada Allah SWT.
Hukum  puasa bagi orang yang junub
   puasa seorang yang junub atau bangun dalam keadaan junub maka puasanya sah, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh hadits dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah bangun dalam keadaan junub dan fajar telah terbit, maka beliau mandi dan berpuasa.
Abu Bakar bin Abdur Rahman berkata, "Saya dan ayah ketika menemui Aisyah dan Ummu Salamah. (Dalam satu riwayat: dari Abu Bakar bin Abdur Rahman, bahwa al-Harits bin Hisyam bahwa ayahnya Abdur Rahman memberitahukan kepada Marwan) Aisyah dan Ummu Salamah memberitahukan bahwa Rasulullah pernah memasuki waktu fajar sedang beliau dalam keadaan junub setelah melakukan hubungan biologis (2/234) dengan istrinya, bukan karena mimpi. Kemudian beliau mandi dan berpuasa." Marwan berkata kepada Abdur Rahman bin Harits, "Aku bersumpah dengan nama Allah, bahwa engkau harus mengkonfirmasikannya kepada Abu Hurairah." Marwan pada waktu itu sedang berada di Madinah. Abu Bakar berkata, "Abdur Rahman tidak menyukai hal itu. Kemudian kami ditakdirkan bertemu di Dzul Hulaifah, dan Abu Hurairah mempunyai tanah di sana. Lalu Abdur Rahman berkata kepada Abu Hurairah, 'Saya akan menyampaikan kepadamu suatu hal, yang seandainya Marwan tidak bersumpah kepadaku mengenai hal ini, niscaya saya tidak akan mengemukakannya kepadamu.' Lalu, Abdur Rahman menyebutkan perkataan Aisyah dan Ummu Salamah. Kemudian Abu Hurairah berkata, 'Demikian pula yang diinformasikan al-Fadhl bin Abbas kepadaku, sedangkan mereka (istri-istri Rasulullah) lebih mengetahui tentang hal ini.'"
 

[1] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang terputus.
[2] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dengan sanad yang sahih.
[3] Di-maushul-kan oleh Thahawi dan lainnya dengan sanad yang sahih sebagaimana telah di jelaskan dalam Silsilatul Ahaditsish Sahihah (221).        






 












Selasa, 22 Februari 2011

Nasab Nabi Muhammad SAW



Assalamu’alaikum wr.wb
Hemmmm…..kalau bicara soal nasab Nabi, kebanyakan dari kita pasti hanya tahu ayah beliau Abdullah kemudian kakek beliau abdul muthalib. Sebenarnya ini juga peringatan untuk saya sendiri sih,pernah ketika seorang dosen bertanya kepada kami yang notabene jumlahnya 49 anak….tapi tak satupun dari kami yang tahu betul silsilah beliau. Kalau kita memang benar-benar cinta dan rindu kepada seseorang, pasti kita ingin tahu secara detail apapun yang menjadi bagian hidup orang yang kita cinta. Lalu bagaimana dengan Nabi SAW?  Kalau kita benar-benar cinta, pastinya kita tahu betul seluk-beluk beliau. Namun nyatanya? Cinta itu hanya sekedar lisan belaka, tanpa sedikitpun masug kedalam salah satu ruang di hati kita. Yaa Sayyidi Yaa Rasulullah……. Sungguh dzolim hati ini.
Ada tiga bagian tentang nasab Nabi SAW
1.      Bagian yang di sepakati kebenarannya oleh pakar biografi dan nasab, yaitu sampa Adnan
Muhammad Bin Abdullah Bin Abdul Muthalib(Yang Namanya Syaibah), Bin Hasyim (Yang Namanya Amru), Bin Abdu Manaf (Yang Namanya Al Mughirah), Bin Qushay(Yang Namanya Zaid),Bin Lillab Bin Murrah, Bin Ka’ab, Bin Lu’ay, Bin Ghalib,Bin Fihr(Yang Berjuluk Quraisy Dan Menjadi Cikal Bakal Nama Kabilah), Bin Malik, Bin An-Nadhr(Yang Namanya Qais), Bin Kinanah, Bin Khuzaimah, Bin Mudrikah(Yang Namanya Amir), Bin Ilyas, Bin Mudhar, Bin Nizar, Bin Ma’ad, Bin Adnan [1]
2.      Bagian yang mereka perselisihkan, yaitu antara nasab yang tidak diketahui secaara pasti dan nasab yang harus dibicarakan, tepatnya Adnan Hingga Ibrahim AS
Adnan Sterusnya Yaitu Bin Udad Bin Hamaisa’, Bin Salaman,Bin Aush, Bin Bauz, Bin Qimwal,Bin Ubay, Bin Awwam, Bin Nasyid, Bin Haza’,Bin Baldas, Bin Yadlaf, Bin Thabikh,Bin Jahim, Bin Nahisy,Bin Makhi,Bin Aidh,Bin Abqar,Bin Ubaid,Bin Ad-Da’a, Bin Hamdan, Bin Sinbar, Bin Yatsribi, Bin Yahzan, Bin Yalhan, Bin Ar’awy, Bin Aid, Bin Daisyan, Bin Aishar, Bin Afnad, Bin Aiham, Bin Muqshir, Bin Nahits, Bin Zarih, Bin Sumay, Bin Muzay, Bin Iwadhah, Bin Aram, Bin Qaidar, Bin Ismail, Bin Ibrahim AS[2]
3.      Bagian yang sama sekali tidak diragukan bahwa didalamnya ada hal-hal yang tidak benar, yaitu Ibrahim AS hingga Adam AS

Ibrahim Seterusnya, Yaitu Bin Tarih (Yang Namanya Azar) Bin Nahur, Bin Saru’ Atau Sarugh, Bin Ra’u, Bin Falakh, Bin Aibar, Bin Syalakh, Bin Arfaksyad, Bin Sam, Bin Nuh AS, Bin Lamk, Bin Matausyalakh, Bin Akhnukh Atau Idris AS, Bin Yard, Bin Mahla’il, Bin Qainan,Bin Yanisya, Bin Syaits, Bin Adam AS

[1] sirah an-nabawiyah, ibnu hisyam,1/1-2 ; rahmah li ‘alamin,2/11-14,52
[2]al-allamah Muhammad sulaiman al-manshufuri telah menghimpun bagian nasab ini berdasarkan riwayat al-kalbi dan ibnu sa’d, setelah mengadakan penelitian yang mendetail
Al- mubak furi, shafifurrahman, syaikh. 1414 H. ar- rahiqul maktum, bah tsun fis shirah an- nabawiyah ala shahibiha afdhalish shalati was-salam. Riyadh : darus salam