Pagi hari, kabut masih menyelimuti ramainya
Kota Palembang, Nurjanah mulai melangkahkan kakinya meninggalkan rumah guna
mencari rezeki di keramaian Kota Palembang, ditemani Suaminya Sukardi, Nurjanah
mulai menjual makanan khas Kota Palembang pempek.
Namun pempek yang dijual Nurjanah bukanlah miliknya sendiri
melainkan milik tetangganya, Nurjanah hanya menjualkannya, wanita berusia empat puluh sembilan tahun itu masih berjalan tegap bak anak muda yang selalu semangat
menjalani kehidupannya, menyusuri jalan menenteng keranjang berisi pempek dan gorengan, sedangkan Sukardi
memikul kardus berisi minuman botol menuju bawah Jembatan Ampera.
Beberapa saat setelah duduk ditempat biasa Ia mangkal, datanglah
beberapa pelanggan setia dan pembeli yang ingin membeli pempek yang Ia bawa,
dengan ramah Nurjanah menawarkan pempeknya “Pempek
Mas pempek” suaranya menawarkan pempeknya disetiap ada orang yang melintas
didepanya, jika ada yang mampir disodorkannya mangkuk kecil berisi cuka pempek
kepada pembeli, pembeli mulai menyantap pempek yang disajikan Nurjanah yang
rasanya memang enak.
Untuk memberikan rasa nyaman pada pembeli yang sedang
menikmati dagangannya didirikanlah tenda kecil berbentuk bulat menyerupai jamur
yang terbuat dari parasut dengan hiasan beberapa warna yang didirikan dengan
tiang besi yang tidak terlalu tinggi dan diikatkan di batu taman yang biasanya
dijadikan tempat duduk pengunjung yang bersantai dibawah Jembatan Ampera.
Seharga seribu rupiah
sebuah yang berukuran kecil dan dua ribu rupiah yang berukuran besar Ia menjual
pempeknya, biasanya pembeli yang singgah menghabiskan hingga tiga sampai lima buah
pempek, ada juga yang membungkus untuk dimakan dirumah bersama keluarga hingga
sepuluh ribu rupiah. Itulah aktifitas
Nurjanah setiap hari ditengah-tengah keramaian Kota Palembang untuk memenuhi
kebutuhannya sehari-hari dan untuk menabung guna menyekolahkan anak bungsunya
Nuraini yang masih duduk di MI kelas tiga.
Sudah dua puluh tahun lebih Nurjanah berjualan pempek di
Kota Palembang dengan tempat yang berpindah-pindah, mulai dari pasar 16 Ilir,
10 Ulu dan saat ini di bawah jembatan kebanggaan wong Palembang, Jembatan Ampera.
Setiap harinya Nurjanah menjual tiga ratus hingga tiga ratus
lima puluh pempek, namun jika lagi ramai Nurjanah bisa menjual hingga empat
ratus buah jika dagangannya habis maka Nurjanah mendapat keuntungan seratus
ribu rupiah hingga dua ratus ribu rupiah.
Selain berjualan
dipangkalanya Nurjanah juga menerima pesanan dalam jumlah banyak, biasanya yang
memesan pempek Nurjanah adalah orang yang berasal dari jalur, biasanya pada
saat hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, tahun baru dan apa bila ada acara
pernikahan biasanya orang memesan hingga lima ratus ribu rupiah.
Pada saat tahun baru seluruh anaknya di ajak berjualan
pempek di bawah Jembatan Ampera hingga larut malam dan bisa mendapat keuntungan
hingga lima juta rupiah dalam satu malam, namun jika hari-hari biasa Nurjanah
hanya berjualan ditemani Suaminya.
Ibu
beranak delapan itu selain menjual pempek juga menjual alat-alat rumah tangga
seperti panci, piring, mangkuk dan lain sebagainya. Semua anaknya mendapat
pendidikan sesuai yang diinginkan, namun ke enam anaknya tidak ada yang berminat
untuk melanjutkan pendidikanya ke perguruan tinggi.
Setelah selesai belajar ditingkat Madrasah Aliyah anak
perempuanya menikah sedangkan anak laki-lakinya memilih untuk bekerja dan ada
juga yang membuka usaha kecil-kecilan. Sebagai seorang wanita yang berjiwa
mandiri, walaupun usia sudah separuh baya Nurjanah tidak pernah berhenti berjuang
membantu suaminya menghidupi keluarga walaupun anak-anaknya sudah ada yang
bekerja Ia tetap semagat untuk menjual pempeknya.
Susah senang dalam
berjualan pempek dialami Nurjanah dari mulai dagangannya tidak habis, mengalami
kerugian bahkan di usir oleh Satuan Polisi Pamong Praja(SATPOLPP).
“Kalau mak ini hari
aku ngajak laki aku jualanyo, soalnyo galak ado POLPP. Kalau dulu aku dewean
yang jual pempek di Palembang Laki aku ini di Prabumulih”tutur Nurjanah
sembari mengenalkan suaminya.
Beberapa macam usaha telah Ia lakukan untuk membiayai
pendidikan putri bungsunya yang masih belajar di bangku Madrasah Ibtidaiyah
hingga nantinya bisa belajar sampai perguruan tinggi “ Aku pengen nian nyekolahke anak akutu di kesehatan, Bidan apo Perawat cak tu”
tuturnya sambil menghisap sebatang rokok ditangannya.
Meski kini putri bungsunya itu sudah bisa memperoleh
penghasilan sendiri dengan ikut seni tari india dan sering manggung di acara
pesta pernikahan,seperti yang tuturkan Nurjanah “Kalau anak aku yang bungsu, la pacak nyari duwet dewek melok adek aku
nari india, kadang dapet saweran duo ratus ribu”. Namun tangannya
masih belum mau berhenti untuk sekedar memperoleh beberapa lembar
uang kertas.
Setelah dagangan
habis terjual Nurjanah bersama suami pulang kerumahnya di daerah 10 ulu
Palembang, biasanya Nurjanah berjualan hingga berkumandang adzan Maghrib,
harapan besar tersimpan dalam hatinya,ingin menyekolahkan anak bungsunya hingga
perguruan tinggi dan membeli tanah, membangun rumah untuk anak-anaknya agar
penderitaannya tidak dirasakan anak-anaknya. Ucapnya, terlihat tatapan semangat dari kedua matanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar