Kamis, 07 November 2013

Nurjanah “Pempek Mas pempek”


Pagi hari, kabut masih menyelimuti ramainya Kota Palembang, Nurjanah mulai melangkahkan kakinya meninggalkan rumah guna mencari rezeki di keramaian Kota Palembang, ditemani Suaminya Sukardi, Nurjanah mulai menjual makanan khas Kota Palembang pempek.
Namun pempek yang dijual Nurjanah bukanlah miliknya sendiri melainkan milik tetangganya, Nurjanah hanya menjualkannya, wanita  berusia empat puluh sembilan  tahun itu masih berjalan tegap bak anak muda yang selalu semangat menjalani kehidupannya, menyusuri jalan menenteng keranjang  berisi pempek dan gorengan, sedangkan Sukardi memikul kardus berisi minuman botol menuju bawah Jembatan Ampera.
Beberapa saat setelah duduk ditempat biasa Ia mangkal, datanglah beberapa pelanggan setia dan pembeli yang ingin membeli pempek yang Ia bawa, dengan ramah Nurjanah menawarkan pempeknya “Pempek Mas pempek” suaranya menawarkan pempeknya disetiap ada orang yang melintas didepanya, jika ada yang mampir disodorkannya mangkuk kecil berisi cuka pempek kepada pembeli, pembeli mulai menyantap pempek yang disajikan Nurjanah yang rasanya memang enak.
Untuk memberikan rasa nyaman pada pembeli yang sedang menikmati dagangannya didirikanlah tenda kecil berbentuk bulat menyerupai jamur yang terbuat dari parasut dengan hiasan beberapa warna yang didirikan dengan tiang besi yang tidak terlalu tinggi dan diikatkan di batu taman yang biasanya dijadikan tempat duduk pengunjung yang bersantai dibawah Jembatan Ampera.
 Seharga seribu rupiah sebuah yang berukuran kecil dan dua ribu rupiah yang berukuran besar Ia menjual pempeknya, biasanya pembeli yang singgah menghabiskan hingga tiga sampai lima buah pempek, ada juga yang membungkus untuk dimakan dirumah bersama keluarga hingga sepuluh ribu rupiah.  Itulah aktifitas Nurjanah setiap hari ditengah-tengah keramaian Kota Palembang untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan untuk menabung guna menyekolahkan anak bungsunya Nuraini yang masih duduk di MI kelas tiga.
Sudah dua puluh tahun lebih Nurjanah berjualan pempek di Kota Palembang dengan tempat yang berpindah-pindah, mulai dari pasar 16 Ilir, 10 Ulu dan saat ini di bawah jembatan kebanggaan wong Palembang, Jembatan Ampera.
Setiap harinya Nurjanah menjual tiga ratus hingga tiga ratus lima puluh pempek, namun jika lagi ramai Nurjanah bisa menjual hingga empat ratus buah jika dagangannya habis maka Nurjanah mendapat keuntungan seratus ribu rupiah hingga dua ratus ribu rupiah.
 Selain berjualan dipangkalanya Nurjanah juga menerima pesanan dalam jumlah banyak, biasanya yang memesan pempek Nurjanah adalah orang yang berasal dari jalur, biasanya pada saat hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, tahun baru dan apa bila ada acara pernikahan biasanya orang memesan hingga lima ratus ribu rupiah.
Pada saat tahun baru seluruh anaknya di ajak berjualan pempek di bawah Jembatan Ampera hingga larut malam dan bisa mendapat keuntungan hingga lima juta rupiah dalam satu malam, namun jika hari-hari biasa Nurjanah hanya berjualan ditemani Suaminya.
             Ibu beranak delapan itu selain menjual pempek juga menjual alat-alat rumah tangga seperti panci, piring, mangkuk dan lain sebagainya. Semua anaknya mendapat pendidikan sesuai yang diinginkan, namun ke enam anaknya tidak ada yang berminat untuk melanjutkan pendidikanya ke perguruan tinggi.
Setelah selesai belajar ditingkat Madrasah Aliyah anak perempuanya menikah sedangkan anak laki-lakinya memilih untuk bekerja dan ada juga yang membuka usaha kecil-kecilan. Sebagai seorang wanita yang berjiwa mandiri, walaupun usia sudah separuh baya Nurjanah tidak pernah berhenti berjuang membantu suaminya menghidupi keluarga walaupun anak-anaknya sudah ada yang bekerja Ia tetap semagat untuk menjual pempeknya.
 Susah senang dalam berjualan pempek dialami Nurjanah dari mulai dagangannya tidak habis, mengalami kerugian bahkan di usir oleh Satuan Polisi Pamong Praja(SATPOLPP).
Kalau mak ini hari aku ngajak laki aku jualanyo, soalnyo galak ado POLPP. Kalau dulu aku dewean yang jual pempek di Palembang Laki aku ini di Prabumulih”tutur Nurjanah sembari mengenalkan suaminya.
Beberapa macam usaha  telah Ia lakukan untuk membiayai pendidikan putri bungsunya yang masih belajar di bangku Madrasah Ibtidaiyah hingga nantinya bisa belajar sampai perguruan tinggi “ Aku pengen nian nyekolahke anak akutu  di kesehatan, Bidan apo Perawat cak tu” tuturnya sambil menghisap sebatang rokok ditangannya.
Meski kini putri bungsunya itu sudah bisa memperoleh penghasilan sendiri dengan ikut seni tari india dan sering manggung di acara pesta pernikahan,seperti yang tuturkan Nurjanah “Kalau anak aku yang bungsu, la pacak nyari duwet dewek melok adek aku nari india, kadang dapet saweran duo ratus ribu”. Namun tangannya masih  belum mau berhenti untuk sekedar memperoleh beberapa lembar uang kertas.

Setelah  dagangan habis terjual Nurjanah bersama suami pulang kerumahnya di daerah 10 ulu Palembang, biasanya Nurjanah berjualan hingga berkumandang adzan Maghrib, harapan besar tersimpan dalam hatinya,ingin menyekolahkan anak bungsunya hingga perguruan tinggi dan membeli tanah, membangun rumah untuk anak-anaknya agar penderitaannya tidak dirasakan anak-anaknya. Ucapnya,  terlihat tatapan semangat dari kedua matanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar