Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh..
Wanita Sholihah merupakan dambaan setiap pria
yang sholeh, banyak cerita-cerita para sholihin di jaman Rasulullah Saw,
sebelum dan sesudahnya yang bisa kita ambil Ibrohnya agar kaum wanita di jaman
ini dapat selamat dari fitnah dunia dan meninggalkan dunia yang fana ini dalam
keadaan khusnul khotimah, amin.
Lalu timbul pertanyaan siapakah sebenarnya
wanita yang pertama akan masuk surge Allah SWT?
Dalam sebuah hadist menceritakan, antara lain
kegemaran Rasulullah Saw adalah suka bergurau yang sopan untuk memberi
pengajaran. Suatu hari ketika Rasulullah sedang melayani puteri kesayangannya,
Fatimah, baginda bersabda, “Wahai anakku! Ketahuilah olehmu bahwa ada seorang
perempuan yang akan masuk surga terlebih dahulu dari dirimu.”
Mendengar kata-kata ayahnya, lalu berubahlah air
muka Fatimah. sambil menangis Fatimah bertanya pada ayahnya, “Siapakah
perempuan itu wahai ayah? bagaimana keadaannya dan bagaimana pula amal
ibadahnya sehingga dia terlebih dahulu masuk surga dari pada anakmu?
Kabarkanlah di mana dia sekarang, anakmu mau menemui dia.”
Lalu Rasulullah menjelaskan, “Dia adalah seorang
wanita yang miskin, tinggal di sebuah kampung kawasan pedalaman dekat Jabal
Uhud, kira-kira 3 mil dari Kota Madinah. Nama Perempuan itu ialah Muthi’ah.”. Tanpa
membuang waktu, setelah mendapat izin ayahnya, Fatimah pun keluar mencari
perempuan yang dikatakan oleh Rasulullah itu.
Setelah bertanya kepada penduduk setempat,
banyak yang tidak tahu dan mengenali perempuan bernama Muthi’ah ini. Dia bukan
perempuan yang terkenal. Masing-masing mengatakan tidak pernah mendengar dan
tidak mengetahui perempuan ini. Setelah berbagai usaha mencarinya, dengan izin
Allah, akhirnya berjumpalah Fatimah dengan rumah perempuan yang dimaksudkan
itu. Rumah Muthi’ah berada di kawasan pedalaman, jauh dari pemukiman orang-orang.
Mungkin sebab itulah susah mencarinya.
Setelah memberi salam dan beberapa kali mengetuk
pintu, ada suara kedengaran menjawab salam dari dalam sedangkan orangnya belum
juga muncul. Setelah agak lama Fatimah menunggu, penghuni rumah itu pun
mengintip dari jendela, sambil bertanya siapakah yang berada di luar dan ada
keperluan apa. Dia tidak mempersilahkan tamunya itu masuk. Mereka hanya
berbicara melalui jendela saja.
Fatimah memperkenalkan dirinya: “Saya Fatimah
binti Rasulullah, maksud kedatangan saya ke sini karena ingin berjumpa dan
berkenalan dengan anda.”
Mendengar tamu yang datang itu ialah putri
Rasulullah, maka perempuan itu menjawab: “Terima kasih karena datang ke rumah
saya, tetapi saya tidak dapat mengizinkan anda masuk karena suami saya tidak
ada di rumah. Nanti saya minta izin dulu apabila dia kembali dari bekerja.
Silakan datang besok saja lagi”.
Dengan langkah yang amat berat, Fatimah pulang
dengan perasaan yang sangat hampa karena tidak dapat berbicara panjang dan
mengetahui rahasia amalannya. Keesokan harinya, Fatimah datang lagi
bersama-sama anaknya, Hasan. Segera setelah sampai dia memberi salam dan
perempuan itu pun terus membuka pintu karena dia sudah mengetahui tamu yang
datang itu ialah Fatimah.
Setelah ia mempersilakan masuk, tiba-tiba dia
terlihat ada seorang anak kecil bersama-sama Fatimah lalu dia bertanya:
“Fatimah, ini siapa?” “Anak saya, Hasan,” sahut Fatimah.
Perempuan itu berkata, “Saya bersedih karena
saya belum minta izin dari suami saya. Yang diizinkan hanyalah Fatimah seorang.
Oleh karena itu saya perlu minta izin dahulu dari suami lagi. Silakan datang
besok saja.”
Fatimah jadi serba salah. Akhirnya setelah
berfikir panjang lebar, dia pun ambil keputusan untuk kembali.
Keesokan harinya, Fatimah datang pula dengan membawa kedua-dua
anaknya yaitu Hasan dan Husein. Setelah memberi salam, mereka segera disambut
oleh penghuni rumah itu. “Fatimah dengan Hasankah?” Tanya perempuan itu minta
kepastian.
Jawab Fatimah, “Kami datang bertiga karena anak
saya yang satu ini (Husein) mau ikut juga.”. “Fatimah, saya minta maaf lagi
karena anak yang satu ini (Husein) saya belum minta izin dari suami saya.
Silakan datang esok hari,” tegas perempuan itu.
Mendengarkan kata-kata itu, Fatimah tersipu-sipu
menyahut, “Baiklah kalau begitu besok saya datang lagi kemari.”
Dalam perjalanan pulang ke rumahnya, hatinya
berkata-kata : “Perempuan ini takut benar akan suaminya, sehingga perkara yang
sekecil begini pun dia tidak berani melakukannya. Jika dia benarkan aku masuk,
tak mungkinlah suaminya marah. Tak perlulah pandang aku ini siapa, anak siapa
dan dua anak ini cucu siapa, pandanglah (hormatilah) aku ini sebagai tamu yang
datang dari jauh saja sudahlah,” bisik hatinya, kesal.
Sekembali Siti Fatimah meninggalkan rumahnya,
kemudian suaminya pulang, perempuan itu pun memberitahu tentang anak Fatimah
yang satu lagi. Suaminya terkejut dan heran, “Mengapa engkau ragu sekali?
Bukankah Fatimah itu puteri Rasulullah SAW dan dua anaknya itu adalah cucu
baginda? Tahukah engkau istriku keselamatan kita berdua kelak bergantung kepada
keridloan Rasulullah. Jangan sekali-kali engkau berbuat seperti itu lagi. Jika
mereka datang lagi ke sini dengan membawa apa pun dan siapa pun, terimalah
dengan baik, dan hormatilah mereka semua sebagaimana yang pantas bagi derajat
mereka.”
“Baiklah, tetapi ampunilah kesalahan saya karena
saya mengerti bahawa apa yang saya tahu, keselamatan diri saya juga bergantung
pada keridloan suamiku. Oleh karena itu, saya tidak berani membuat masalah yang
akan membawa kemarahan atau menyakiti hati suamiku.”
“Terima kasih,” sahut suaminya. “Tapi jangan
lagi sampai engkau tidak menerima tamu perempuan melainkan dengan izin aku,
karena menghormati tamu perempuan itu wajib pada adat dan agama kita.”
Pada hari berikutnya, Sayyidatuna Fatimah pun
datang seperti yang dijanjikan dengan membawa dua orang puteranya itu. Setelah
dijemput masuk dan dijamu dengan sedikit buah kurma dan air, mereka pun
berkenalan serta memulai perbincangan.
Pertanyaan Fatimah banyak berkisar mengenai
rahasia amal ibadah yang menjadi penyebab Muthi’ah menjadi wanita pertama masuk
surga menurut ayahnya. Setelah memperkenalkan dirinya, Muthi’ah menjawab semua
pertanyaan Fatimah dengan ikhlas.
Katanya, “Tingkah laku saya biasa saja, tidak
ada yang istimewa, amal ibadahpun biasa saja, malah Rasulullah lebih mengetahui
akan segalanya. Saya hanya menuruti apa yang dianjurkan oleh baginda dalam hal
kewajiban saya sebagai isteri. Antaranya:
1.
Saya tidak boleh
meninggalkan rumah tanpa izin suami jika suami saya keluar bekerja.
2.
Saya tidak boleh
menerima tamu (terutama lelaki) jika tidak ada izin suami.
3.
Saya tidak akan
berkeluh-kesah jika suami tidak mempunyai harta.
4.
Saya berusaha agar suami
saya senang dan cinta kepada saya.
5.
Saya tidak cepat-cepat
cemburu.
6.
Saling mengerti dan
menghargai antara kami berdua.
Soal berhias dan berdandan, menurut Mith’iah,
dia hanya mengutamakan kecantikannya untuk suami, bukan untuk ditonton dan
diperagakan kepada orang lain. Sebagian riwayat menyatakan, Muth’iah
mondar-mandir berjalan ke pintu rumahnya sambil memandang ke jalan seolah-olah
sedang menantikan seseorang. Dia seolah-olah tidak begitu mempedulikan Fatimah.
Di tangannya terdapat tongkat dan sebuah wadah
berisi air, Melihat keadaan Muth’iah yang agak aneh, Fatimah merasa gelisah
karena dia rasa tidak dipedulikan.
Fatimah bertanya: “Mengapa begini?” Sahut
Muth’iah: “Fatimah, maafkan saya karena saya sedang menantikan suami saya
pulang.”
“Mengapa
ada wadah air itu?” Tanya Sayyidatuna Fatimah.
Jawab
Muthi’ah jujur: “Kiranya suami saya haus ketika dia pulang dari bekerja, saya
akan segera memberikan air ini kepadanya supaya tidak terlambat. Jika terlambat
nanti, khawatir dia akan marah kepada saya.”
Fatimah bertanya lagi: “Mengapa dengan rotan
ini?” Jawab Muthi’ah, “Jika suami saya marah atau kurang layanan dari saya,
mudahlah dia memukul saya dengan rotan ini.” “Atas kehendak suamimukah kau bawa
rotan itu” tanya Fatimah.
“Oh, sama sekali tidak. Suami saya seorang yang
penyayang. Ini semata-mata kehendak saya agar jangan sampai menjadi isteri
derhaka kepada suami.”
Fatimah termenung, Wajarlah menurut ayahnya, dia
terlebih dahulu masuk surga daripada aku. Ternyata benarlah bahawa keselamatan
wanita yang telah bersuami itu bergantung kepada ketaatan dan keridloan suami
terhadapnya.”
Fatimah minta diri. Dia terus pulang menghadap
ayahnya dan menceritakan segala yang terjadi. “Wahai anakku, itulah rahasianya
mengapa Muthi’ah wanita pertama masuk syurga,” kata baginda kepada Fatimah. Melihat
kesedihan puterinya itu, Rasululah tersenyum sambil berkata, “Wahai anakku,
janganlah bersusah hati. Perempuan yang engkau jumpa itu (Muthi’ah) ialah
perempuan yang akan memimpin dan memegang tali tungganganmu tatkala engkau
masuk surga nanti. Jadi dialah yang akan masuk terlebih dahulu daripada engkau
anakku.”
Setelah mendengar penjelasan ayahnya itu,
barulah nampak Fatimah mulai gembira dan tersenyum. Begitulah ganjaran yang
Allah berikan kepada Muthi’ah. Semoga amalan yang dilakukannya itu sedikit
sebanyak akan menjadi panduan dan dorongan kepada wanita-wanita terutama bagi
mereka yang sudah berumahtangga.
Semoga kaum wanita/istri-istri bisa mencontoh Muthi’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar