Banyak pasangan suami istri yang sudah
bertahun-tahun menikah tetapi belum dikaruniai anak. Mereka pun gelisah. Usia
sudah semakin tua, tetapi belum mempunyai anak. Kegelisahan ini sedikit
tertolong dengan munculnya teknologi bayi tabung. Persoalannya adalah
bagaimanakah sebenarnya teknik pembuatan bayi tabung dan hukum bayi tabung itu
sendiri menurut Islam? Ajaran syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh
berputus asa dan menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) dalam menggapai
karunia Allah SWT. Demikian halnya di ntara pancamaslahat yang diayomi oleh
maqashid asy-syari’ah (tujuan filosofis syariah Islam) adalah hifdz an-nasl
(memelihara fungsi dan kesucian reproduksi) bagi kelangsungan dan kesinambungan
generasi umat manusia. Allah telah menjanjikan setiap kesulitan ada solusi
(QS.Al-Insyirah:5) termasuk kesulitan
reproduksi manusia dengan adanya kemajuan teknologi kedokteran dan ilmu biologi
modern yang Allah karuniakan kepada umat manusia agar mereka bersyukur dengan
menggunakannya sesuai kaedah ajaran-Nya. Pada dasarnya pembuahan yang alami
terjadi dalam rahim melalui cara yang alami pula (hubungan seksual), sesuai
dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah untuk manusia. Akan tetapi pembuahan
alami ini terkadang sulit terwujud, misalnya karena rusaknya atau tertutupnya
saluran indung telur (tuba Fallopii) yang membawa sel telur ke rahim, serta
tidak dapat diatasi dengan cara membukanya atau mengobati¬nya.
Atau karena sel sperma suami lemah atau tidak
mampu menjangkau rahim isteri untuk bertemu dengan sel telur, serta tidak dapat
diatasi dengan cara memperkuat sel sperma tersebut, atau mengupayakan sampainya
sel sperma ke rahim isteri agar bertemu dengan sel telur di sana. Semua ini
akan meniadakan kelahiran dan menghambat suami isteri untuk berbanyak anak.
Padahal Islam telah menganjurkan dan mendo¬rong hal tersebut dan kaum muslimin
pun telah disunnahkan melakukannya. Upaya untuk mengusahakan terjadinya
pembuahan yang tidak alami tersebut hendaknya tidak ditem¬puh, kecuali setelah
tidak mungkin lagi mengusahakan terja¬dinya pembuahan alami dalam rahim isteri,
antara sel sperma suami dengan sel telur isterinya. span
style=”font-weight:bold;”a.
Masalah Bayi Tabung Menurut Islam/span
Teknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains
modern yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu
kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga
sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh
orang yang tidak beragama, beriman dan beretika sehingga sangat potensial
berdampak negatif dan fatal.
Oleh karena itu kaedah dan ketentuan syariah
merupakan pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini sebab penggunaan dan
penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang
berlaku di masyarakat. Seorang pakar kesehatan New Age dan pemimpin redaksi
jurnal Integratif Medicine, DR. Andrew Weil sangat meresahkan dan
mengkhawatirkan penggunaan inovasi teknologi kedokteran tidak pada tempatnya
yang biasanya terlambat untuk memahami konsekuensi etis dan sosial yang
ditimbulkannya.
Oleh
karena itu, Dr. Arthur Leonard Caplan, Direktur Center for Bioethics dan Guru
Besar Bioethics di University of Pennsylvania menganjurkan pentingnya komitmen
etika biologi dalam praktek teknologi kedokteran apa yang disebut sebagai
bioetika. Menurut John Naisbitt dalam High Tech - High Touch (1999) bioetika
bermula sebagai bidang spesialisasi pada 1960 –an sebagai tanggapan atas
tantangan yang belum pernah ada, yang diciptakan oleh kemajuan di bidang
teknologi pendukung kehidupan dan teknologi reproduksi.
Inseminasi buatan ialah pembuahan pada hewan
atau manusia tanpa melalui senggama (sexual intercourse). Ada beberapa teknik
inseminasi buatan yang telah dikembangkan dalam dunia kedokteran, antara lain
adalah:
Pertama;
Fertilazation in Vitro (FIV) dengan cara mengambil sperma suami dan ovum istri
kemudian diproses di vitro (tabung), dan setelah terjadi pembuahan, lalu
ditransfer di rahim istri.
Kedua; Gamet Intra Felopian Tuba (GIFT) dengan
cara mengambil sperma suami dan ovum istri, dan setelah dicampur terjadi
pembuahan, maka segera ditanam di saluran telur (tuba palupi) Teknik kedua ini
terlihat lebih alamiah, sebab sperma hanya bisa membuahi ovum di tuba palupi
setelah terjadi ejakulasi melalui hubungan seksual. Masalah inseminasi buatan
ini menurut pandangan Islam termasuk masalah kontemporer ijtihadiah, karena
tidak terdapat hukumnya seara spesifik di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahkan
dalam kajian fiqih klasik sekalipun.
Karena
itu, kalau masalah ini hendak dikaji menurut Hukum Islam, maka harus dikaji
dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh para ahli ijtihad
(mujtahidin), agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Namun, kajian
masalah inseminasi buatan ini seyogyanya menggunakan pendekatan multi
disipliner oleh para ulama dan cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu
yang relevan, agar dapat diperoleh kesimpulan hukum yang benar-benar
proporsional dan mendasar.
Misalnya ahli kedokteran, peternakan, biologi,
hukum, agama dan etika. span style=”font-weight:bold;”b. Hukum Inseminasi bayi
tabung menurut Islam/span Masalah inseminasi buatan ini sejak tahun 1980-an
telah banyak dibicarakan di kalangan Islam, baik di tingkat nasional maupun
internasional. Misalnya Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam Muktamarnya tahun
1980, mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor sebagaimana diangkat oleh Panji
Masyarakat edisi nomor 514 tanggal 1 September 1986. Lembaga Fiqih Islam
Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di Amman tahun 1986
mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor atau ovum, dan membolehkan
pembuahan buatan dengan sel sperma suami dan ovum dari isteri sendiri. Vatikan
secara resmi tahun 1987 telah mengecam keras pembuahan buatan, bayi tabung, ibu
titipan dan seleksi jenis kelamin anak, karena dipandang tak bermoral dan
bertentangan dengan harkat manusia.
Mantan Ketua IDI, dr. Kartono Muhammad juga
pernah melemparkan masalah inseminasi buatan dan bayi tabung. Ia menghimbau
masyarakat Indonesia dapat memahami dan menerima bayi tabung dengan syarat sel
sperma dan ovumnya berasal dari suami-isteri sendiri. Dengan demikian, mengenai
hukum inseminasi buatan dan bayi tabung pada manusia harus diklasifikasikan
persoalannya secara jelas, setidaknya dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Bila
dilakukan dengan sperma atau ovum suami isteri sendiri, baik dengan cara
mengambil sperma suami kemudian disuntikkan ke dalam vagina, tuba palupi atau
uterus isteri, maupun dengan cara pembuahannya di luar rahim, kemudian buahnya
(vertilized ovum) ditanam di dalam rahim istri; maka hal ini dibolehkan, asal
keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan inseminasi buatan untuk
membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh keturunan.
Hal ini
sesuai dengan kaidah ‘al hajatu tanzilu manzilah al dharurat’ (hajat atau
kebutuhan yang sangat mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat). Hukumnya
haram bila sel telur isteri yang telah ter¬buahi diletakkan dalam rahim
perempuan lain yang bukan isteri, atau apa yang disebut sebagai “ibu pengganti”
(surrogate mother). Begitu pula haram hukumnya bila proses dalam pembuahan
buatan tersebut terjadi antara sel sperma suami dengan sel telur bukan isteri,
meskipun sel telur yang telah dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri.
Demi¬kian pula haram hukumnya bila proses pembuahan tersebut terjadi antara sel
sperma bukan suami dengan sel telur isteri, meskipun sel telur yang telah
dibuahi nantinya diletakkan dalam rahim isteri.
2.
Sebaliknya,
kalau inseminasi buatan itu dilakukan dengan bantuan donor sperma dan ovum,
maka diharamkan dan hukumnya sama dengan zina. Sebagai akibat hukumnya, anak
hasil inseminasi itu tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang
melahirkannya. Diantara dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan landasan
menetapkan hukum haram inseminasi buatan dengan donor ialah:
Pertama;
firman Allah SWT dalam surat al-Isra : 70
Artinya: dan Sesungguhnya telah Kami muliakan
anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan Kami beri mereka
rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
Maksudnya: Allah memudahkan bagi anak Adam
pengangkutan-pengangkutan di daratan dan di lautan untuk memperoleh
penghidupan.
At-Tin:4
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
Kedua ayat tersebuti menunjukkan bahwa manusia
diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan/keistimewaan
sehingga melebihi makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Dan Tuhan sendiri berkenan
memuliakan manusia, maka sudah seharusnya manusia bisa menghormati martabatnya
sendiri serta menghormati martabat sesama manusia. Dalam hal ini inseminasi
buatan dengan donor itu pada hakikatnya dapat merendahkan harkat manusia
sejajar dengan tumbuh-tumbuhan dan hewan yang diinseminasi.
Kedua; hadits Nabi Saw yang mengatakan, “tidak
halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir menyiramkan
airnya (sperma) pada tanaman orang lain (istri orang lain).” (HR. Abu Daud,
Tirmidzi dan dipandang Shahih oleh Ibnu Hibban).
Berdasarkan hadits tersebut para ulama sepakat
mengharamkan seseorang melakukan hubungan seksual dengan wanita hamil dari
istri orang lain. Tetapi mereka berbeda pendapat apakah sah atau tidak
mengawini wanita hamil.
Menurut Abu Hanifah boleh, asalkan tidak
melakukan senggama sebelum kandungannya lahir.
Sedangkan Zufar tidak membolehkan. Pada saat
para imam mazhab masih hidup, masalah inseminasi buatan belum timbul. Karena
itu, kita tidak bisa memperoleh fatwa hukumnya dari mereka.
Hadits ini juga dapat dijadikan dalil untuk
mengharamkan inseminasi buatan pada manusia dengan donor sperma dan/atau ovum,
karena kata maa’ dalam bahasa Arab bisa berarti air hujan atau air secara umum,
seperti dalam Thaha:53
Artinya: Yang telah menjadikan bagimu bumi
sebagai hamparan dan yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-ja]an, dan
menurunkan dari langit air hujan. Maka Kami tumbuhkan dengan air hujan itu
berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam.
Juga bisa berarti benda cair atau sperma
seperti dalam An-Nur:45
Artinya:
dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, Maka sebagian dari
hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua
kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan
apa yang dikehendaki-Nya, Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
dan
Al-Thariq:6.
Artinya:
Dia diciptakan dari air yang dipancarkan,
Ketiga bentuk proses di atas tidak dibenarkan
oleh hukum Islam, sebab akan menimbulkan pencampuradukan dan penghilangan
nasab, yang telah diharamkan oleh ajaran Islam. Oleh karena itu, proses bayi
tabung hendaknya dilakukan dengan memperhatikan nilai moral Islami dan tetap
harus menjunjung tinggi etika dan kaedah-kaedah syariah.
http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/13/bayi-tabung/
/span
Tidak ada komentar:
Posting Komentar