Senin, 15 Juli 2013

Kewajiban menutup aurat wanita

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
 “Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: ’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur (Ind: jilbab)nya ke dadanya…’” (Annur:31)
Keterangan :
 Ayat ini menegaskan empat hal:
1.      Perintah untuk menahan pandangan dari yang diharamkan oleh ALLOH SWT.
2.      Perintah untuk menjaga kemaluan dari perbuatan yang haram.
3.      Larangan untuk menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak.
          Para ulama mengatakan bahwa ayat ini juga menunjukkan akan haramnya menampakkan anggota badan tempat perhiasan tersebut. Sebab jika perhiasannya saja dilarang untuk ditampakkan apalagi tempat perhiasan itu berada. Sekarang marilah kita perhatikan penafsiran para sahabat dan ulama terhadap kata “…kecuali yang biasa nampak…” dalam ayat tersebut. Menurut Ibnu Umar RA. yang biasa nampak adalah wajah dan telapak tangan. Begitu pula menurut ‘Atho,’ Imam Auzai dan Ibnu Abbas RA. Hanya saja beliau (Ibnu Abbas) menambahkan cincin dalam golongan ini. Ibnu Mas’ud RA. mengatakan maksud kata tersebut adalah pakaian dan jilbab. Said bin Jubair RA. mengatakan maksudnya adalah pakaian dan wajah. Dari penafsiran para sahabat dan para ulama ini jelaslah bahwa yang boleh tampak dari tubuh seorang wanita adalah wajah dan kedua telapak tangan. Selebihnya hanyalah pakaian luarnya saja.
4.      Perintah untuk menutupkan khumur ke dada.

Khumur adalah bentuk jamak dari khimar yang berarti kain penutup kepala. Atau dalam bahasa kita disebut jilbab. Ini menunjukkan bahwa kepala dan dada adalah juga termasuk aurat yang harus ditutup. Berarti tidak cukup hanya dengan menutupkan jilbab pada kepala saja dan ujungnya diikatkan ke belakang. Tapi ujung jilbab tersebut harus dibiarkan terjuntai menutupi dada.
Pengertian Aurat
Aurat secara bahasa berasal dari kata ﻋﺎر, dari kata tersebut muncul derivasi kata bentukan baru dan makna baru pula. Bentuk ‘awira (menjadikan buta sebelah mata), ‘awwara (menyimpangkan, membelokkan dan memalingkan), a’wara (tampak lahir atau auratnya), al-‘awaar (cela atau aib), al-‘wwar (yang lemah, penakut), al-‘aura’ (kata-kata dan perbuatan buruk, keji dan kotor), sedangkan al-‘aurat adalah segala perkara yang dirasa malu.
Para ulama’ fiqh memberikan definisi aurat ini sebagai sesuatu yang wajib ditutupi, dan haram dilihat. Aurat dipahami sebagai sesuatu yang oleh seseorang ditutupi karena merasa malu atau rendah diri jika sesuatu itu kelihatan atau diketahui orang lain.
Terbukanya aurat dapat juga membuat orang jauh martabatnya dimata masyarakat umum. Seseorang sudah selayaknya menutupi auratnya, karena jika sudah terbuka cacat, aib maupun kekurangannya di depan umum, maka hakekatnya orang tersebut sudah tidak mempunyai harga diri dan dipandang sebelah oleh masyarakat.
Berdasarkan pada makna kata aurat yang berarti adalah cacat, pengertian ini kemudian dapat meluas dalam hal perkataan atau perbuatan. Dengan demikian, seseorang dikatan benar-benar menutup auratnya secara sempurna jika ia sudah menutup bagian tubuh yang wajib ditutupi dan menjaga akhlak al-karimah baik berupa perkataan maupun perbuatan yang dilarang agama maupun norma yang berlaku di dalam masyarakat. Begitu juga dengan menutupi kekurangan-kekurangan ('aib) yang dimiliki diri sendiri dan orang lain dan sebagainya.
Jika kemudian kata aurat disini yang dalam persepektif masyarakat kita adalah bagian tubuh yang harus ditutupi, disini Islam memberikan batasan-batasan yang jelas antara aurat laki-laki dan perempuan. 
Aurat laki-laki seperti yang kita tahu adalaha bagian tubuh antara pusar dan lutut. Meskipun pusar dan lutut bukanlah aurat, tetapi dianjurkan supaya ditutup juga karena sepadan dengan aurat. Ini berdasarkan kaidah-kaidah ushul fiqh:

ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Apa yang tidak sempurna yang wajib melainkan dengannya, maka ia adalah wajib”.

Batasan ini adalah ketika laki-laki itu dalam keadaan shalat dan ketika berhadapan dengan perempuan yang ajnabiyah (perempuan asing/perempuan yang bukan mahram). Adapun ketika khalwah, yakni ketika bersunyi-sunyi seorang diri, maka auratnya ialah dua kemaluannya.

Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangannya yang dhahir dan batin hingga pergelangan tangannya, wajah dan dua telapak tangannya, luar dalam, hingga pergelangan tangannya, bukanlah aurat dalam shalat dan selebihnya adalah aurat yang harus tertutup ketika shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita ini diklasifikasikan lagi sebagai berikut:

Di hadapan laki-laki yang ajnabi atau yang bukan mahramnya, auratnya adalah seluruh badan. Artinya termasuk wajah dan rambut serta kedua telapak tangannya, lahir-batin dan termasuk kedua telapak kakinya, lahir-batin, sehingga seluruh badannya wajib ditutup atau dilndungi dari pandangan laki-laki yang ajnabi, wajah dan kedua telapak tangannya tidak harus dibuka ketika untuk menjadi saksi sejenisnya, kecuali karena darurat.

Di hadapan perempuan kafir, auratnya ialah anggota badan selain anggota badan yang lahir ketika ia bekerja di rumah. Bagian yang lahir ketika ia aktif di rumah ialah kepala, muka, leher, dua telapak tangan sampai kedua sikunya dan dua telapak kakinya. Demikian juga auratnya ketika di hadapan perempuan yang tidak jelas pribadi atau wataknya atau perempuan yang rusak akhlaknya.
Di dalam khalwah, di hadapan muslimah, dan pada laki-laki yang menjadi mahramnya, auratnya ialah anggota badan antara pusar dan lutut, seperti aurat laki-laki dalam shalat. Aurat walau bagaimana-pun, untuk menjaga adab dan untuk memelihara timbulnya fitnah, maka yang perlu ditutup tak hanya yang antara pusar dan kedua lutut. Menutup aurat karena fitnah, yaitu yang memungkinkan tergiurnya nafsu adalah suatu kewajiban. Hal inilah yang menjadi perhatian Islam sebagai agama yang berusaha mengangkat martabat manusia di hadapan manusia lainnya dengan mempertinggi akhlak dan menutup aurat adalah salah satunya.
Pendapat Ulama’ tentang Aurat
Secara normatif aturan hukum baku berkenaan dengan perintah berpakaian dan menutup aurat beserta batasan-batasannya diungkapkan secara eskplisit dalam al-Qur’an. Beberapa ayat yang terkait dengan hal tersebut memberikan rambu-rambu bagi para wanita mukallaf untuk memenuhi batasan yang diberikan oleh kitab yang diturunkan pada Nabi akhir zaman. Menurut syariat Islam menutup aurat hukumnya wajib bagi setiap orang mukmin baik laki-laki maupun perempuan terutama yang telah dewasa dan dilarang memperhatikannya kepada orang lain dengan sengaja tanpa ada alasan yang dibenarkan syariat, demikian juga syariat Islam pada dasarnya memerintahkan kepada setiap mukmin, khususnya yang sudah memiliki nafsu birahi untuk tidak melihat dan tidak memperlihatkan auratnya kepada orang lain terutama yang berlainan jenis.
Adapun melihat aurat orang lain atau memperlihatkan aurat kepada orang lain yang dibenarkan syariat seperti sesama mahram dan terutama suami atau istri, hukumnya boleh sebagaimana terdapat dalam surah al-Nur ayat 30-31. Demikian pula orang muslim boleh melihat aurat orang lain atau memperlihatkan auratnya kepada orang lain (walaupun bukan mahram) jika ada alasan yang dibenarkan syariat seperti ketika berobat atau mengobati penyakit yang pengobatannya memerlukan melihat atau memperlihatkan aurat karena darurat.
Para ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam menentukan batas-batas aurat itu sendiri, baik aurat laki-laki maupun perempuan. Menurut kebanyakan ulama’ batas aurat orang laki-laki ialah anggota-anggota tubuh yang terletak antara pusar dan lutut, terutama alat kelamin dan dubur di samping juga paha. Sedangkan menurut sebagian ulama’ yang lain, aurat orang laki-laki hanyalah alat vital dan dubur, sedangkan paha tidak termasuk ke dalam kategori aurat yang wajib ditutup. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa aurat laki-laki yang tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain terutama kepada kaum wanita, ialah anggota-anggota badan yang berkisar antara pusat dan lutut. Sementara sebagian kecil ulama’ yang pendapatnya dianggap lemah oleh kebanyakan ulama’, menyatakan bahwa aurat laki-laki di hadapan kaum wanita yang bukan mahramnya adalah seluruh anggota badannya.
Para ulama' sendiri berbeda pendapat tentang masalah aurat yang harus ditutupi oleh kaum wanita ketika mereka bertemu dan berinteraksi dengan kaum pria. Perbedaan pendapat ini didasarkan pada penafsiran ayat al-Qur'an Surat an-Nûr ayat 31 yaitu :
1)      Pendapat Al-Ahnaf (pengikut Hanafi) berpendapat bahwa wanita boleh membuka muka dan kedua telapak tangan namun pria tetap haram melihat kepadanya dengan pandangan syahwat.
2)       Dalam madzhab Maliki terdapat tiga pendapat: Mengatakan wajib menutup muka dan kedua telapak tangan.
a)      Tidak wajib menutup muka dan kedua telapak tangan tetapi pria wajib menundukan pandanganya.
b)      Perbedaan cantik dan tidak cantiknya seorang wanita, jika ia cantik maka ia wajib menutup muka dan kedua telapak tangan sedangkan wanita yang tidak cantik tidak wajib menutupnya atau disunahkan

3)      Jumhur Madzhab Syafi’i mengatakan tidak wajib menutup wajah dan kedua telapak tangan sekalipun mereka berfatwa untuk menutupinya
4)      Madzhab Hambali : mengatakan wajib menutup keduaanya
5)      Jumhur Fuqaha (golongan terbesar ahli-ahli fiqh) berpendapat bahwa muka dan dua telapak tangan bukan aurat karena itu tidak wajib menutupnya tetapi wajib ditutup jika dirasa tidak aman.
Adapun aurat kaum wanita, menurut kebanyakan ulama’ ialah seluruh anggota tubuhnya selain muka dan kedua telapak tangan, kedua telapak kaki menurut sebagian ulama’ seperti yang dikemukakan Imam Abu Hanifah. Di samping itu ada sebagian ulama’, di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal yang memandang seluruh anggota badan wanita (termasuk muka dan kedua telapak tangan) adalah aurat. Para ulama’ membedakan antara aurat kaum wanita di hadapan kaum pria dengan aurat kaum wanita di hadapan sesama wanita. Aurat wanita sebagaimana tersebut di atas, sesuai dengan perbedaan pendapat para ulama’ tidak diperbolehkan diperlihatkan kepada kaum laki-laki selain suami dan mahramnya atau orang lain yang oleh syariat dibolehkan melihatnya. Adapun aurat wanita terhadap sesama wanita yang tidak boleh dilihat atau diperlihatkan ialah sama dengan aurat laki-laki yakni anggota-anggota tubuh yang berkisar antara pusar dan lutut. 
Masalah aurat sangat erat dengan soal pakaian, karena aurat wajib ditutup dan alat penutupnya adalah pakaian. Pakaian setiap muslim adalah harus menutup batas-batas aurat seperti yang dikemukakan di atas. Namun karena para ulama’ berbeda pendapat mengenai batas-batas aurat terutama aurat bagi wanita, maka perbedaan pendapat-pun muncul pula dalam masalah pakaian kaum wanita. Sebagian mengharuskan menutup seluruh anggota badan selain mata, sedangkan sebagian yang lain menambahkan selain muka, yaitu kedua telapak tangan dan kaki. 
Sebelum Islam datang masyarakat pada masa itu (Jahiliyah) memandang jelek dan rendah kepada para wanita. Mereka memperturutkan hawa nafsu mereka melalui mata dan angan-angan dalam hati, sedangkan hal itu bertentangan dengan ajaran Islam, maka al-Qur’an menetapkan batas baginya dan mengharamkan apa-apa yang bertentangan dengan agama, etika, dan kemanusiaan. Islam kemudian memperbolehkan wanita, untuk membuka wajah dan dua telapak tangan dalam situasi tertentu. Ini menggambarkan akan pentingnya kedua anggota tubuh wanita dalam berinteraksi dengan orang lain.
Penggunaan hijab antara pria dan wanita mengandung hikmah bahwa sebenarnya Allah bermaksud menata hubungan interpersonal dalam masyarakat dan menjaga kesucian pria dan wanita agar dapat mencapai kesempurnaannya demi terwujudnya masyarakat yang sehat dan dibangun atas akhlak mulia serta nilai-nilai moralitas yang tinggi.
Islam membuat perbedaan-perbedaan yang jelas antara jalan raya dan rumah tangga, antara orang perseorangan dan masyarakat, antara dunia laki-laki dan dunia perempuan. Hijab diperlukan dalam rangka melindungi wanita dari pandangan laki-laki yang tak berhak memandangnya, sebagaimana di dalam alam ruhani, hijab juga diperlukan untuk menyembunyikan hakikat dari pandangan orang-orang yang tak layak memandangnya. Hukum aurat dan hijab ialah untuk memelihara hurmah (kehormatan) atau kesucian dan kemuliaan wanita dan bukannya untuk menghina dan menyiksa mereka.
Banyak musuh Islam mengatakan bahwa hijab Islam bertentangan dengan martabat wanita. Umat Islam menerima hak atas martabat wanita, walaupun orang yang menentang hijab mengatakan bahwa hijab memenjarakan wanita dan dengan hijab kaum pria agar bisa mengeksploitasi wanita, maka laki-laki menawan wanita dan memenjarakannya di sudut rumahnya.  Inilah yang akhirnya mengapa aurat, terutama wanita harus dijaga dan ditutup.
Seperti dapat dilihat dalam contoh, jika seorang pria meninggalkan rumahnya dengan telanjang, maka ia akan dicerca, dipersalahkan dan barangkali polisi akan menangkapnya, bahkan jika seorang pria meninggalkan rumahnya dengan mengenakan piyama saja atau hanya dengan menggunakan celana dalam saja, maka setiap orang akan menghentikannya, karena hal ini bertentangan dengan martabat sosial. Hukum atau adat-istiadat menetapkan bahwa bila seorang meninggalkan rumahnya, maka ia harus berpakaian lengkap. Apakah bertentangan dengan martabat manusia bila diperintahkan agar ia berpakaian lengkap bila meninggalkan rumah?
Sebaliknya, jika seorang wanita meninggalkan rumahnya dengan tertutup justru akan menghindarkan adanya gangguan dari laki-laki yang tidak bermoral dan tidak mempunyai sopan santun. Jika seorang wanita meninggalkan rumahnya dengan tertutup, hal ini bukan hanya tidak mengurangi martabatnya sebagai manusia, akan tetapi justru menambahnya. Ambil contoh seorang wanita yang meninggalkan rumahnya dengan hanya muka dan kedua telapak tangannya yang terlihat dan dari perilaku serta pakaian yang dikenakannya tidak akan mudah mendapatkan gangguan dari orang lain kepadanya. Artinya ia tidak akan mengundang perhatian pria kepada dirinya. Ia tidak mengenakan pakaian-pakaian yang mencolok atau berjalan dengan suatu cara yang menarik perhatian orang kepada dirinya atau ia tidak berbicara dengan suatu cara yang menarik perhatian.
Menutup aurat pada hakekatnya adalah mengangkat martabat wanita secara umum. Fenomena buka-bukaan adalah termasuk trend zaman sekarang. Fenomena tersebut cepat atau lambat akan masuk ke daftar berbagai macam penyakit yang merambah pada diri manusia. Bangsa Barat yang merupakan pelopornya juga menjelekkan hakekat dari fenomena penyakit ini. Inilah mengapa sampai sekarang pembahasan aurat masih sangat dominan, terutama di kalangan seniman, artis dan orang berusaha memamerkan keindahan tubuhnya.
Bila melihat disekeliling kita bahkan mungkin di kalangan keluarga kita sendiri, bahwa berpakaian ketat bagi para wanita remaja dan dewasa sudah menjadi bagian hidup kita. Mungkin benar mereka menutup aurat dan mengenakan hijab, tapi disisi lain mereka juga mengenakan baju dan celana yang ketat. Kemudian bagaimana Islam menyikapi fenomena seperti ini? Setidaknya Islam telah menerangkan kepada kita bagaimana cara menutup aurat yang benar sesuai yang telah diajarkan. Menutup aurat  setidaknya mencakup hal-hal sebagai berikut:
a)      Menutup anggota seluruh anggota badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan
قَالَ الْأَعْمَشِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْها قَالَ: وَجْهُهَا وَكَفَّيْهَا 
وَالْخَاتَم

Al-’Amash meriwayatkan dari Said bin Jubair dari Ibni Abbas: “Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali apa-apa yang nampak darinya”, Ibnu Abas menegaskan: “Wajah dan telapak tangan dan cincinnya”.

b)      Mengenakan baju yang dapat menutup warna kulit dan tidak menampakkan bentuk tubuh

صنفان من أهل النار لم أرهما قوم معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس ونساء كاسيات عاريات 
مائلات مميلات رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة لايدخلن الجنة ولا يجدن ريحها وان ريحها لتوجد من مسيرة 
كذاوكذا ) رواه أحمد ومسلم في الصحيح .(

“Ada dua golongan penduduk neraka yang belum aku melihat keduanya,yang pertama Kaum yang membawa cemeti/Cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia, dan yang kedua adalah perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang, cenderung kepada kemaksiatan dan membuat orang lain juga cenderung kepada kemaksiatan. Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang berlenggak-lenggok.Mereka tidak masuk surga dan tidak mencium bau wanginya. Padahal bau wangi surga itu tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian waktu [jarak jauh sekali]”.

c)      Wanita tidak menyerupai Laki-laki dan sebaliknya, juga tidak menyerupai cara berpakaina orang kafir

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ .حسن صحيح
Rasulullah SAW bersabda.”Barangsiapa berpakaian seperti suatu kaum maka ia masuk dalam golongan kaum tersebut”.

d)     Berpakaian bukan untuk popularitas

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي زُرْعَةَ، عَنْ مُهَاجِرٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ لَبِسَ 
ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ
Rasulullah SAW bersabda,”Barangsiapa mengenakan pakaian dengan niat ingin terkenal maka Allah memberinya pakaian hina pada hari kiamat kemudian membara dalam neraka”.
Aurat dengan segala penutupnya, yaitu dengan mengenakan busana muslimah, wanita yang memakainya akan segera dipersepsi dalam kategori Muslimah. Boleh jadi berbagai konotasi dikaitkan dengan kategori ini, bergantung pada pengalaman dan latar belakang psikososial pelaku persepsi busana fundamentalis, wanita shaleh, isteri yang baik dan sebagainya.
Apapun konotasinya, inti persepsinya tidak mungkin lepas dari kategori Muslimah. Dari persepsi itu, orang kemudian mengatur perilakunya dengan pemakai busana Muslimah. Ia tidak akan melakukan sexual harassment, ia tidak akan berani berbuat tak senonoh, paling-paling gangguan kecil seperti ucapan asssalamu’alaikum yang dilontarkan secara bercanda. Busana muslimah yang mempunyai fungsi menutup aurat juga berfungsi sebagai penegak identitas. Dengan busana itu, seorang Muslimah mengidentifikasikan diri dengan ajaran-ajaran Islam, karena identifikasi ini, maka sangat mungkin ia akan terdorong untuk berperilaku sesuai dengan ajaran Islam. 
Dalam hubungan interpersonal, busana Muslimah akan menyebabkan orang lain mempersepsikan pemakainya sebagai wanita Muslimah dan akan memperlakukannya seperti itu pula. Inilah mungkin maksud pesan dari al-Qur’an, busana Muslimah dipakai “supaya dikenal” dan “sehingga mereka tidak diganggu”. Artinya dengan menutup aurat kehormatan dan identitas diri akan terjaga, sehingga orang yang melihatnya akan mempersepsikan bahwa ia adalah wanita Muslimah yang harus dijaga dan tidak boleh diganggu.(Dari berbagai sumber)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar