“Hai Nabi, katakanlah
kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
“Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman:
’Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan khumur (Ind: jilbab)nya ke dadanya…’” (Annur:31)
Keterangan
:
Ayat ini menegaskan empat hal:
Ayat ini menegaskan empat hal:
1. Perintah untuk menahan pandangan dari yang diharamkan
oleh ALLOH SWT.
2. Perintah untuk menjaga kemaluan dari perbuatan yang
haram.
3. Larangan untuk menampakkan perhiasan kecuali yang
biasa tampak.
Para
ulama mengatakan bahwa ayat ini juga menunjukkan akan haramnya menampakkan
anggota badan tempat perhiasan tersebut. Sebab jika perhiasannya saja dilarang
untuk ditampakkan apalagi tempat perhiasan itu berada. Sekarang marilah kita
perhatikan penafsiran para sahabat dan ulama terhadap kata “…kecuali yang biasa
nampak…” dalam ayat tersebut. Menurut Ibnu Umar RA. yang biasa nampak adalah
wajah dan telapak tangan. Begitu pula menurut ‘Atho,’ Imam Auzai dan Ibnu Abbas
RA. Hanya saja beliau (Ibnu Abbas) menambahkan cincin dalam golongan ini. Ibnu
Mas’ud RA. mengatakan maksud kata tersebut adalah pakaian dan jilbab. Said bin
Jubair RA. mengatakan maksudnya adalah pakaian dan wajah. Dari penafsiran para
sahabat dan para ulama ini jelaslah bahwa yang boleh tampak dari tubuh seorang
wanita adalah wajah dan kedua telapak tangan. Selebihnya hanyalah pakaian
luarnya saja.
4. Perintah untuk menutupkan khumur ke dada.
Khumur adalah bentuk jamak dari khimar yang berarti kain penutup kepala. Atau dalam bahasa kita disebut jilbab. Ini menunjukkan bahwa kepala dan dada adalah juga termasuk aurat yang harus ditutup. Berarti tidak cukup hanya dengan menutupkan jilbab pada kepala saja dan ujungnya diikatkan ke belakang. Tapi ujung jilbab tersebut harus dibiarkan terjuntai menutupi dada.
Pengertian Aurat
Aurat secara bahasa
berasal dari kata ﻋﺎر, dari kata tersebut muncul derivasi kata bentukan baru dan
makna baru pula. Bentuk ‘awira (menjadikan buta sebelah mata), ‘awwara
(menyimpangkan, membelokkan dan memalingkan), a’wara (tampak lahir
atau auratnya), al-‘awaar (cela atau aib), al-‘wwar (yang lemah,
penakut), al-‘aura’ (kata-kata dan perbuatan buruk, keji dan kotor),
sedangkan al-‘aurat adalah segala perkara yang dirasa malu.
Para ulama’ fiqh
memberikan definisi aurat ini sebagai sesuatu yang wajib ditutupi, dan haram
dilihat. Aurat dipahami sebagai sesuatu yang oleh seseorang ditutupi karena
merasa malu atau rendah diri jika sesuatu itu kelihatan atau diketahui orang
lain.
Terbukanya aurat dapat
juga membuat orang jauh martabatnya dimata masyarakat umum. Seseorang sudah
selayaknya menutupi auratnya, karena jika sudah terbuka cacat, aib maupun
kekurangannya di depan umum, maka hakekatnya orang tersebut sudah tidak
mempunyai harga diri dan dipandang sebelah oleh masyarakat.
Berdasarkan pada makna
kata aurat yang berarti adalah cacat, pengertian ini kemudian dapat meluas
dalam hal perkataan atau perbuatan. Dengan demikian, seseorang dikatan
benar-benar menutup auratnya secara sempurna jika ia sudah menutup bagian tubuh
yang wajib ditutupi dan menjaga akhlak al-karimah baik berupa perkataan
maupun perbuatan yang dilarang agama maupun norma yang berlaku di dalam
masyarakat. Begitu juga dengan menutupi kekurangan-kekurangan ('aib)
yang dimiliki diri sendiri dan orang lain dan sebagainya.
Jika kemudian kata
aurat disini yang dalam persepektif masyarakat kita adalah bagian tubuh yang
harus ditutupi, disini Islam memberikan batasan-batasan yang jelas antara aurat
laki-laki dan perempuan.
Aurat laki-laki seperti
yang kita tahu adalaha bagian tubuh antara pusar dan lutut. Meskipun pusar dan
lutut bukanlah aurat, tetapi dianjurkan supaya ditutup juga karena sepadan
dengan aurat. Ini berdasarkan kaidah-kaidah ushul fiqh:
ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب
“Apa
yang tidak sempurna yang wajib melainkan dengannya, maka ia adalah wajib”.
Batasan ini adalah ketika laki-laki itu dalam keadaan shalat dan ketika
berhadapan dengan perempuan yang ajnabiyah (perempuan
asing/perempuan yang bukan mahram). Adapun ketika khalwah, yakni
ketika bersunyi-sunyi seorang diri, maka auratnya ialah dua kemaluannya.
Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak
tangannya yang dhahir dan batin hingga pergelangan tangannya, wajah dan dua
telapak tangannya, luar dalam, hingga pergelangan tangannya, bukanlah aurat
dalam shalat dan selebihnya adalah aurat yang harus tertutup ketika shalat.
Adapun di luar shalat, aurat wanita ini diklasifikasikan lagi sebagai berikut:
Di hadapan laki-laki yang ajnabi atau yang bukan mahramnya, auratnya adalah
seluruh badan. Artinya termasuk wajah dan rambut serta kedua telapak tangannya,
lahir-batin dan termasuk kedua telapak kakinya, lahir-batin, sehingga seluruh
badannya wajib ditutup atau dilndungi dari pandangan laki-laki yang ajnabi,
wajah dan kedua telapak tangannya tidak harus dibuka ketika untuk menjadi saksi
sejenisnya, kecuali karena darurat.
Di hadapan perempuan kafir, auratnya ialah anggota badan selain anggota
badan yang lahir ketika ia bekerja di rumah. Bagian yang lahir ketika ia aktif
di rumah ialah kepala, muka, leher, dua telapak tangan sampai kedua sikunya dan
dua telapak kakinya. Demikian juga auratnya ketika di hadapan perempuan yang
tidak jelas pribadi atau wataknya atau perempuan yang rusak akhlaknya.
Di dalam khalwah, di hadapan muslimah, dan pada laki-laki yang menjadi
mahramnya, auratnya ialah anggota badan antara pusar dan lutut, seperti aurat
laki-laki dalam shalat. Aurat walau bagaimana-pun, untuk menjaga adab dan untuk
memelihara timbulnya fitnah, maka yang perlu ditutup tak hanya yang antara
pusar dan kedua lutut. Menutup aurat karena fitnah, yaitu yang memungkinkan tergiurnya
nafsu adalah suatu kewajiban. Hal inilah yang menjadi perhatian Islam sebagai
agama yang berusaha mengangkat martabat manusia di hadapan manusia lainnya
dengan mempertinggi akhlak dan menutup aurat adalah salah satunya.
Pendapat Ulama’ tentang
Aurat
Secara normatif aturan
hukum baku berkenaan dengan perintah berpakaian dan menutup aurat beserta
batasan-batasannya diungkapkan secara eskplisit dalam al-Qur’an. Beberapa ayat
yang terkait dengan hal tersebut memberikan rambu-rambu bagi para wanita mukallaf
untuk memenuhi batasan yang diberikan oleh kitab yang diturunkan pada Nabi
akhir zaman. Menurut syariat Islam menutup aurat hukumnya wajib bagi setiap
orang mukmin baik laki-laki maupun perempuan terutama yang telah dewasa dan
dilarang memperhatikannya kepada orang lain dengan sengaja tanpa ada alasan
yang dibenarkan syariat, demikian juga syariat Islam pada dasarnya
memerintahkan kepada setiap mukmin, khususnya yang sudah memiliki nafsu birahi
untuk tidak melihat dan tidak memperlihatkan auratnya kepada orang lain
terutama yang berlainan jenis.
Adapun melihat aurat
orang lain atau memperlihatkan aurat kepada orang lain yang dibenarkan syariat
seperti sesama mahram dan terutama suami atau istri, hukumnya boleh sebagaimana
terdapat dalam surah al-Nur ayat 30-31. Demikian pula orang muslim boleh
melihat aurat orang lain atau memperlihatkan auratnya kepada orang lain
(walaupun bukan mahram) jika ada alasan yang dibenarkan syariat seperti ketika
berobat atau mengobati penyakit yang pengobatannya memerlukan melihat atau
memperlihatkan aurat karena darurat.
Para ahli hukum Islam
berbeda pendapat dalam menentukan batas-batas aurat itu sendiri, baik aurat
laki-laki maupun perempuan. Menurut kebanyakan ulama’ batas aurat orang
laki-laki ialah anggota-anggota tubuh yang terletak antara pusar dan lutut,
terutama alat kelamin dan dubur di samping juga paha. Sedangkan menurut
sebagian ulama’ yang lain, aurat orang laki-laki hanyalah alat vital dan dubur,
sedangkan paha tidak termasuk ke dalam kategori aurat yang wajib ditutup.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa aurat laki-laki yang tidak boleh diperlihatkan
kepada orang lain terutama kepada kaum wanita, ialah anggota-anggota badan yang
berkisar antara pusat dan lutut. Sementara sebagian kecil ulama’ yang pendapatnya
dianggap lemah oleh kebanyakan ulama’, menyatakan bahwa aurat laki-laki di
hadapan kaum wanita yang bukan mahramnya adalah seluruh anggota badannya.
Para ulama' sendiri
berbeda pendapat tentang masalah aurat yang harus ditutupi oleh kaum
wanita ketika mereka bertemu dan berinteraksi dengan kaum pria. Perbedaan
pendapat ini didasarkan pada penafsiran ayat al-Qur'an Surat an-Nûr ayat 31
yaitu :
1)
Pendapat Al-Ahnaf
(pengikut Hanafi) berpendapat bahwa wanita boleh membuka muka dan kedua telapak
tangan namun pria tetap haram melihat kepadanya dengan pandangan syahwat.
2)
Dalam madzhab Maliki terdapat tiga pendapat: Mengatakan
wajib menutup muka dan kedua telapak tangan.
a) Tidak wajib menutup muka dan kedua telapak tangan tetapi pria wajib
menundukan pandanganya.
b) Perbedaan cantik dan tidak cantiknya seorang wanita, jika ia cantik maka ia
wajib menutup muka dan kedua telapak tangan sedangkan wanita yang tidak cantik
tidak wajib menutupnya atau disunahkan
3)
Jumhur Madzhab Syafi’i
mengatakan tidak wajib menutup wajah dan kedua telapak tangan sekalipun mereka
berfatwa untuk menutupinya
4)
Madzhab Hambali :
mengatakan wajib menutup keduaanya
5)
Jumhur Fuqaha (golongan
terbesar ahli-ahli fiqh) berpendapat bahwa muka dan dua telapak tangan bukan
aurat karena itu tidak wajib menutupnya tetapi wajib ditutup jika dirasa tidak
aman.
Adapun aurat kaum
wanita, menurut kebanyakan ulama’ ialah seluruh anggota tubuhnya selain muka
dan kedua telapak tangan, kedua telapak kaki menurut sebagian ulama’ seperti
yang dikemukakan Imam Abu Hanifah. Di samping itu ada sebagian ulama’, di
antaranya Imam Ahmad bin Hanbal yang memandang seluruh anggota badan wanita
(termasuk muka dan kedua telapak tangan) adalah aurat. Para ulama’ membedakan
antara aurat kaum wanita di hadapan kaum pria dengan aurat kaum wanita di
hadapan sesama wanita. Aurat wanita sebagaimana tersebut di atas, sesuai dengan
perbedaan pendapat para ulama’ tidak diperbolehkan diperlihatkan kepada kaum
laki-laki selain suami dan mahramnya atau orang lain yang oleh syariat
dibolehkan melihatnya. Adapun aurat wanita terhadap sesama wanita yang tidak
boleh dilihat atau diperlihatkan ialah sama dengan aurat laki-laki yakni
anggota-anggota tubuh yang berkisar antara pusar dan lutut.
Masalah aurat sangat
erat dengan soal pakaian, karena aurat wajib ditutup dan alat penutupnya adalah
pakaian. Pakaian setiap muslim adalah harus menutup batas-batas aurat
seperti yang dikemukakan di atas. Namun karena para ulama’ berbeda pendapat
mengenai batas-batas aurat terutama aurat bagi wanita, maka perbedaan
pendapat-pun muncul pula dalam masalah pakaian kaum wanita. Sebagian
mengharuskan menutup seluruh anggota badan selain mata, sedangkan sebagian yang
lain menambahkan selain muka, yaitu kedua telapak tangan dan kaki.
Sebelum Islam datang
masyarakat pada masa itu (Jahiliyah) memandang jelek dan rendah kepada para
wanita. Mereka memperturutkan hawa nafsu mereka melalui mata dan angan-angan
dalam hati, sedangkan hal itu bertentangan dengan ajaran Islam, maka al-Qur’an
menetapkan batas baginya dan mengharamkan apa-apa yang bertentangan dengan
agama, etika, dan kemanusiaan. Islam kemudian memperbolehkan wanita, untuk
membuka wajah dan dua telapak tangan dalam situasi tertentu. Ini menggambarkan
akan pentingnya kedua anggota tubuh wanita dalam berinteraksi dengan orang
lain.
Penggunaan hijab antara
pria dan wanita mengandung hikmah bahwa sebenarnya Allah bermaksud menata
hubungan interpersonal dalam masyarakat dan menjaga kesucian pria dan wanita
agar dapat mencapai kesempurnaannya demi terwujudnya masyarakat yang sehat dan
dibangun atas akhlak mulia serta nilai-nilai moralitas yang tinggi.
Islam membuat
perbedaan-perbedaan yang jelas antara jalan raya dan rumah tangga, antara orang
perseorangan dan masyarakat, antara dunia laki-laki dan dunia perempuan. Hijab
diperlukan dalam rangka melindungi wanita dari pandangan laki-laki yang tak
berhak memandangnya, sebagaimana di dalam alam ruhani, hijab juga diperlukan
untuk menyembunyikan hakikat dari pandangan orang-orang yang tak layak
memandangnya. Hukum aurat dan hijab ialah untuk memelihara hurmah (kehormatan)
atau kesucian dan kemuliaan wanita dan bukannya untuk menghina dan menyiksa
mereka.
Banyak musuh Islam
mengatakan bahwa hijab Islam bertentangan dengan martabat wanita. Umat Islam
menerima hak atas martabat wanita, walaupun orang yang menentang hijab
mengatakan bahwa hijab memenjarakan wanita dan dengan hijab kaum pria agar bisa
mengeksploitasi wanita, maka laki-laki menawan wanita dan memenjarakannya di
sudut rumahnya. Inilah yang akhirnya mengapa aurat, terutama wanita harus
dijaga dan ditutup.
Seperti dapat dilihat
dalam contoh, jika seorang pria meninggalkan rumahnya dengan telanjang, maka ia
akan dicerca, dipersalahkan dan barangkali polisi akan menangkapnya, bahkan
jika seorang pria meninggalkan rumahnya dengan mengenakan piyama saja atau
hanya dengan menggunakan celana dalam saja, maka setiap orang akan
menghentikannya, karena hal ini bertentangan dengan martabat sosial. Hukum atau
adat-istiadat menetapkan bahwa bila seorang meninggalkan rumahnya, maka ia
harus berpakaian lengkap. Apakah bertentangan dengan martabat manusia bila
diperintahkan agar ia berpakaian lengkap bila meninggalkan rumah?
Sebaliknya, jika
seorang wanita meninggalkan rumahnya dengan tertutup justru akan menghindarkan
adanya gangguan dari laki-laki yang tidak bermoral dan tidak mempunyai sopan
santun. Jika seorang wanita meninggalkan rumahnya dengan tertutup, hal ini
bukan hanya tidak mengurangi martabatnya sebagai manusia, akan tetapi justru
menambahnya. Ambil contoh seorang wanita yang meninggalkan rumahnya dengan
hanya muka dan kedua telapak tangannya yang terlihat dan dari perilaku serta
pakaian yang dikenakannya tidak akan mudah mendapatkan gangguan dari orang lain
kepadanya. Artinya ia tidak akan mengundang perhatian pria kepada dirinya. Ia
tidak mengenakan pakaian-pakaian yang mencolok atau berjalan dengan suatu cara
yang menarik perhatian orang kepada dirinya atau ia tidak berbicara dengan
suatu cara yang menarik perhatian.
Menutup aurat pada
hakekatnya adalah mengangkat martabat wanita secara umum. Fenomena buka-bukaan
adalah termasuk trend zaman sekarang. Fenomena tersebut cepat atau lambat akan
masuk ke daftar berbagai macam penyakit yang merambah pada diri manusia. Bangsa
Barat yang merupakan pelopornya juga menjelekkan hakekat dari fenomena penyakit
ini. Inilah mengapa sampai sekarang pembahasan aurat masih sangat dominan,
terutama di kalangan seniman, artis dan orang berusaha memamerkan keindahan
tubuhnya.
Bila melihat
disekeliling kita bahkan mungkin di kalangan keluarga kita sendiri, bahwa
berpakaian ketat bagi para wanita remaja dan dewasa sudah menjadi bagian hidup
kita. Mungkin benar mereka menutup aurat dan mengenakan hijab, tapi disisi lain
mereka juga mengenakan baju dan celana yang ketat. Kemudian bagaimana Islam
menyikapi fenomena seperti ini? Setidaknya Islam telah menerangkan kepada kita
bagaimana cara menutup aurat yang benar sesuai yang telah diajarkan. Menutup
aurat setidaknya mencakup hal-hal sebagai berikut:
a)
Menutup anggota seluruh
anggota badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan
قَالَ الْأَعْمَشِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْها قَالَ: وَجْهُهَا
وَكَفَّيْهَا
وَالْخَاتَم
Al-’Amash meriwayatkan dari Said bin Jubair dari Ibni Abbas: “Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali apa-apa yang nampak darinya”, Ibnu Abas menegaskan: “Wajah dan telapak tangan dan cincinnya”.
b)
Mengenakan baju yang
dapat menutup warna kulit dan tidak menampakkan bentuk tubuh
صنفان
من أهل النار لم أرهما قوم
معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس ونساء
كاسيات عاريات
مائلات
مميلات رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة لايدخلن الجنة ولا يجدن ريحها وان ريحها لتوجد من مسيرة
كذاوكذا ) رواه أحمد ومسلم في الصحيح .(
“Ada
dua golongan penduduk neraka yang belum aku melihat keduanya,yang pertama Kaum
yang membawa cemeti/Cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia, dan yang kedua adalah
perempuan-perempuan yang berpakaian tapi telanjang, cenderung kepada
kemaksiatan dan membuat orang lain juga cenderung kepada kemaksiatan.
Kepala-kepala mereka seperti punuk-punuk unta yang berlenggak-lenggok.Mereka
tidak masuk surga dan tidak mencium bau wanginya. Padahal bau wangi surga itu
tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian waktu [jarak jauh sekali]”.
c)
Wanita tidak menyerupai
Laki-laki dan sebaliknya, juga tidak menyerupai cara berpakaina orang kafir
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ
مِنْهُمْ .حسن
صحيح
“Rasulullah SAW bersabda.”Barangsiapa berpakaian seperti suatu kaum maka
ia masuk dalam golongan kaum tersebut”.
d)
Berpakaian bukan untuk
popularitas
عَنْ عُثْمَانَ
بْنِ أَبِي زُرْعَةَ، عَنْ مُهَاجِرٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ لَبِسَ
ثَوْبَ
شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ
Rasulullah SAW bersabda,”Barangsiapa mengenakan pakaian dengan niat ingin
terkenal maka Allah memberinya pakaian hina pada hari kiamat kemudian
membara dalam neraka”.
Aurat dengan segala
penutupnya, yaitu dengan mengenakan busana muslimah, wanita yang memakainya
akan segera dipersepsi dalam kategori Muslimah. Boleh jadi berbagai konotasi
dikaitkan dengan kategori ini, bergantung pada pengalaman dan latar belakang
psikososial pelaku persepsi busana fundamentalis, wanita shaleh, isteri yang
baik dan sebagainya.
Apapun konotasinya,
inti persepsinya tidak mungkin lepas dari kategori Muslimah. Dari persepsi itu,
orang kemudian mengatur perilakunya dengan pemakai busana Muslimah. Ia tidak
akan melakukan sexual harassment, ia tidak akan berani berbuat tak senonoh,
paling-paling gangguan kecil seperti ucapan asssalamu’alaikum yang dilontarkan
secara bercanda. Busana muslimah yang mempunyai fungsi menutup aurat juga
berfungsi sebagai penegak identitas. Dengan busana itu, seorang Muslimah
mengidentifikasikan diri dengan ajaran-ajaran Islam, karena identifikasi ini,
maka sangat mungkin ia akan terdorong untuk berperilaku sesuai dengan ajaran
Islam.
Dalam hubungan
interpersonal, busana Muslimah akan menyebabkan orang lain mempersepsikan
pemakainya sebagai wanita Muslimah dan akan memperlakukannya seperti itu pula.
Inilah mungkin maksud pesan dari al-Qur’an, busana Muslimah dipakai “supaya
dikenal” dan “sehingga mereka tidak diganggu”. Artinya dengan menutup aurat
kehormatan dan identitas diri akan terjaga, sehingga orang yang melihatnya akan
mempersepsikan bahwa ia adalah wanita Muslimah yang harus dijaga dan tidak
boleh diganggu.(Dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar